Sesudah kepulangan HRS ke tanah air, ingar bingar pemberitaannya masih saja terasa hingga sekarang. Tak hanya itu, berbagai efek yang timbul karena kepulangannya juga masih santer diberitakan. Kehebatan dan keberanian HRS terus disebut-sebut, terutama oleh para pengikutnya. Pendeknya, kepulangan HRS ibarat kembalinya sang pahlawan dari pengasingan, bersiap memimpin peperangan melawan kezaliman.
Ekspose kehebatan HRS itul membuat banyak orang abai bahwa sejatinya ada sosok lain yang lebih hebat. Padahal sebelum kepulangan HRS, orang ini juga meramaikan jagat maya. Apakah karena sosok tersebut saat ini sedang mendekam di penjara sehingga orang-orang tak lagi menyebut namanya? Atau karena bangsa ini memang pelupa? Wallahualam. Yang jelas, sosok yang saya maksud di sini tidak lain adalah…
jeng jeng…
Gus Nur atau Sugik Nur Raharja. Nah, Anda baru ingat juga, kan?
Mengapa saya berani mengatakan Gus Nur sejatinya jauh lebih hebat dari HRS? Para pengikut HRS boleh-boleh saja menggugat pernyataan saya. Tetapi setidak-tidaknya, empat hal ini menjadi alasan dan pertimbangan kuat saya membuat klaim di atas.
#1 Proses menjadi “ulama”
Banyak orang sudah tahu HRS lama belajar agama. Bahkan sejak belia, ia dididik ilmu agama oleh ayah-ibunya dan para ustaz dari kalangan habaib di masjid tempatnya mengaji. HRS bahkan pernah pula belajar fiqih dan ushul fiqih di King Saud University, Arab Saudi . Sementara Gus Nur, menurut pengakuannya sendiri, sama sekali tak pernah belajar ilmu agama. Bahkan dulunya ia mantan preman, maling, dan bajingan.
Di sinilah letak kehebatan blio. Meski tak pernah belajar agama, Gus Nur juga bisa jadi ulama sebagaimana HRS, bahkan punya banyak pengikut pula. Makin hebat karena pengikut keduanya semua sama-sama militan.
Coba dipikir. Sangat wajar jika HRS bisa jadi ulama dan memiliki banyak pengikut, lha memang dari dulunya sudah dididik untuk itu kok. Tapi Gus Nur, blio bisa jadi ulama tanpa melalui proses berbelit-belit. Ibaratnya, HRS jadi ulama lewat jalur reguler, sementara Gus Nur menempuh jalur akselerasi.
#2 Berani
Meskipun sama-sama pemberani, Gus Nur jauh lebih pemberani dibanding HRS.
Ambil saja satu contoh. Sejauh yang saya tahu, HRS hanya berani menghina Gus Dur sebagai orang yang buta mata dan buta hatinya. Sementara Gus Nur malah berani menghina NU. Ibarat bus, katanya, NU itu sopirnya mabok, kondekturnya teler, kernetnya ugal-ugalan, penumpangnya dangdutan, buka-buka aurat, isi busnya PKI, liberal, dan sekuler. Orang ini nyalinya emang nggak umum. Lha gimana, Gus Dur itu cuma satu kiai, satu ulama. Sedangkan NU organisasi yang dihuni banyak kiai, banyak ulama, jadi jelas jauh lebih besar daripada Gus Dur yang seorang diri. Kalkulasi dampak omongannya akan jad matematika dasar saja.
Pun demikian dengan sekeras-kerasnya kritik. HRS tidak pernah misuh-misuh sebagaimana blio. Iya, memang HRS sering pula mengumpat, semacam bilang bangsat, kutil babi, dan terakhir lonte untuk ngata-ngatain Nyai Nikita Mirzani. Tetapi, sekasar-kasarnya HRS, blio nggak pernah bilang jancuk, dobol, picek, jaran, asu, dan menyebut seluruh penghuni bonbin lainnya seperti Gus Nur. Artinya, dalam urusan ngata-ngatain orang, sosok blio jauh lebih bermental Blitzkrieg. Eh, Kamikaze ding.
#3 Inovatif
Blio jelas jauh lebih inovatif ketimbang HRS. Bahkan saking inovatifnya, Gus Nur layak disebut sebagai mujaddid, ‘pembaharu’. Mengapa demikian? Blio berani mendobrak tradisi yang mewajibkan tafsir Al-Qur’an harus berpijak pada ilmu dan metode tertentu, juga melandaskan tafsirnya pada kitab-kitab tafsir atau mengikuti pendapat para mufassir terdahulu.
Dalam menafsirkan Al Quran, setidaknya ada dua metode dasar. Pertama, metode bil ma’tsur atau bil riwayah, yaitu menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan sunnah, ayat dengan perkataan sahabat, atau ayat dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in. Kedua, metode bil ra’yi, yaitu menafsirkan berdasarkan logika mufassir, tetapi tetap melandaskan tafsirannya pada ayat-ayat Al-Qur’an. Jika menyimak ceramah-ceramah HRS, termasuk dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, tampak sekali bahwa HRS masih on the right track pada dua metode di atas, tidak sekali pun keluar rel.
Sebaliknya, Gus Nur berani keluar dari pakem itu semua. Lebih hebat lagi, blio malah menemukan metode tafsir sendiri, yaitu metode bi nafsihi. Dengan metode ini, Gus Nur sanggup menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan caranya, menurut seleranya.
Contoh konkret keberanian Gus Nur dibanding HRS adalah dalam menafsirkan Q.S. Al-Fathir ayat 28 tentang definisi ulama. Menurut Gus Nur, ulama tidak hanya sebatas manusia, tetapi juga layak disematkan pada siapa dan apa saja. Mulai ular, ayam, kambing, sampai gunung sekalipun bisa jadi ulama. Gus Nur memang benar-benar luwak luar biasa. Nah, apakah Anda pernah mendengar tafsiran begini dari HRS? Nggak pernah kan? Bisa jadi, Gus Nur inilah yang sosok mufassir post-modern. Levelnya jauh melebihi santri post-modern sebagaimana julukan Pak Hidayat Nur Wahid pada Pak Sandiaga Uno saat pilpres dulu.
#4 Maqam
Yang terakhir terkait derajat atau maqam. Sejauh ini, meskipun merupakan keturunan Kanjeng Nabi Muhammad saw., pangkat HRS paling banter “cuma” sebagai Imam Besar FPI. Di satu sisi, Gus Nur yang mantan preman malah sudah menjadi khalifah. Setidak-tidaknya predikat itu muncul melalui keterangan istrinya sendiri. Dalam sebuah video berdurasi 1:27 detik, istri Gus Nur mengatakan:
“Saya istri Gus Nur, mengajak para habaib, ulama, aktivis, tokoh masyarakat, kaum muslimin di mana pun berada, mari kita kawal kasus Gus Nur karena Gus Nur bukan koruptor, bukan teroris, bukan bandar narkoba. Gus Nur adalah khalifah, yang ingin tegaknya keadilan di negeri tercinta ini. Takbiiirrr!!!”
Nah, loh. Gus Nur sudah jadi khalifah. Saya sih percaya saja. Analoginya, sebagai suami, siapa sih yang paling bisa memahami saya luar dalam selain istri saya sendiri? Pun demikian sebaliknya, adakah yang lebih memahami sang istri selain suaminya sendiri?
Terbukti kan, Gus Nur emang jauh lebih hebat ketimbang HRS. Silakan kalau Anda nggak percaya. Paling tak pisuhi, kapok.
BACA JUGA Rumus Mencari Arti Namamu di Al-Quran ala Gus Nur dan tulisan Muhammad Makhdum lainnya.