Utang piutang itu bukan hal sepele, loh! Perlu dipelajari dengan matang supaya kita punya dasar yang kuat saat dewasa nanti.
Beberapa hari lalu, saya bersama salah seorang staf saya berkunjung ke rumah salah seorang anggota koperasi (sebut saja nasabah kalau di bank). Namanya Pak Sukin. Menurut data kolektibilitas di kantor, Pak Sukin (bukan nama sebenarnya) memiliki track record angsuran yang cukup jelek. Hampir selama setahun ini beliau sama sekali tidak pernah mengangsur.
Saya baru dua kali kunjungan ke rumah beliau. Kunjungan pertama diterima cukup baik sambil memperkenalkan diri. Nah, yang kedua ini agak berbeda (dan membuat jantung berdegup kencang). Bagaimana tidak? Ketika saya memberikan pemahaman agar segera melunasi angsuran, beliau langsung naik darah. Padahal, nada dan penyampaian saya ke Pak Sukin saya rasa sudah sangat halus.
“Njenengan ini masih muda, lebih muda dari saya. Nggak usah sok menasehati saya. Kalau mau gelut, ayo gelut. Saya masih punya tenaga, Mas,” jawab beliau dengan nada keras diikuti dengan gerakan menggebrak meja. Sontak kami berdua kaget, khususnya saya sendiri karena sebagai aktor penyulut kemarahan beliau.
Saya diam saja. Tidak membalas ucapan atau tindakan. Walau saya muda, memilih tubuh lebih besar, dan bisa bela diri, saya tidak mau melawan orang yang sudah sepuh. Selain itu, saya juga berusaha menjaga nama baik perusahaan dan keluarga Pak Sukin, serta menjaga kondisi lingkungan agar tetap kondusif. Bayangkan kalau ada ribut-ribut di depan rumah beliau, pasti akan banyak warga yang berkerumun di depan rumahnya. Dan itu membahayakan jiwa kami berdua.
Sepulang dari rumah anggota, saya langsung memikirkan soal utang piutang. Tentu persoalan ini akan kita temui setiap hari dan selama kita hidup. Entah kita menjadi pihak yang berutang, atau pihak yang memberi utang. Harusnya, persoalan utang piutang bisa dijadikan sebagai mata pelajaran di kurikulum pelajaran Indonesia. Ya, cocoknya, sih, untuk bangku SMA. Mengapa demikian? Pasalnya, utang piutang itu menyangkut kehidupan kita secara langsung dan melibatkan dua atau lebih orang.
Saya sudah bekerja di koperasi simpan pinjam swasta selama empat tahun lebih. Sudah banyak peristiwa persoalan tentang utang piutang anggota. Mulai dari anggota ribut dengan keluarga anggota sendiri, kabur entah ke mana (seperti dia yang pergi tanpa kabar), sampai pada puncaknya yaitu penyelesaian lewat pengadilan.
Untuk itu, sudah waktunya menyisipkan materi utang-piutang ke dalam pembelajaran di sekolah. Kalaupun tidak menjadi mata pelajaran tersendiri, ya ada sub materi di beberapa pelajaran.
Misalnya dalam pendidikan agama. Bagaimana menurut Fiqih para alim ulama atau imam-imam terdahulu tentang utang piutang. Kemudian pengetahuan tentang riba. Dengan menghadirkan beberapa pandangan maupun teori tentang riba oleh beberapa ulama terdahulu dan sekarang. Saya sering menemui beberapa anggota menggunakan “tameng” masalah bunga bank adalah riba. Namun, sudah tahu riba, kok, masih mau-maunya berutang di bank maupun lembaga keuangan lainnya? Giliran terlambat lama angsuran, pakai alasan “riba” sebagai salah satu benteng pertahanannya. Ini yang membuat kami sebagai collector jadi gemas.
Lalu bisa juga disisipkan dalam pelajaran Sosiologi dan Antropologi. Beberapa kasus terkait utang-piutang sampai melibatkan beberapa orang hingga terputusnya silaturahmi. Bahkan parahnya sampai terjadi pembunuhan. Nah, dalam pelajaran ini, utang piutang dibuat sebagai studi kasus hubungan antar manusia.
Bisa juga dengan materi mengutamakan pembayaran utang di atas segala-galanya. Jika pembayaran utang dilakukan sesuai dengan waktu dan perjanjian, akan terjalin kerja sama yang harmonis di antara dua insan. Namun, jika sekali saja telat pembayaran utang alias meleset dari janji, kepercayaan akan luntur. Ini yang perlu dipahami oleh semua orang. Bukan masalah uang saja tentang utang piutang, tapi juga masalah ikatan cinta persaudaraan antar umat manusia yang terlibat.
Selain itu, bisa juga diberikan materi tentang mengontrol emosi ketika penagihan. Emosi di sini bukan masalah marah-marah dan lain sebagainya. Bukan. Namun, bagaimana cara menjaga perasaan orang yang berutang ketika ditagih. Misal yang ditagih meleset janji bayar utangnya pasti ada sesuatu hal yang dihadapi. Mungkin gajian telat, baru sembuh dari sakit, atau hal-hal urgent lainnya. Kalaupun alasan itu mengada-ada, bisa dengan cara lainnya. Ya begitulah menagih utang, harus berlatih seni cara menagih yang baik dan benar.
Dan yang terakhir adalah dalam pelajaran Ekonomi. Di situ akan dilatih bagaimana membuat program ekonomi secara sederhana ketika terpaksa berutang maupun memberikan utang. Ada dasar penilaian ketika akan memberi utang, yang dalam istilah lembaga keuangan disebut dengan 5C. Character (karakter calon pengutang), Capital (modal untuk membayar utang), Capacity (kemampuan membayar utang), Condition of Economy (kondisi keuangan terbaru), dan Collateral (apabila menggunakan barang sebagai jaminan, nilainya bisa masuk atau tidak sesuai pokok yang dipinjam).
5C itu benar-benar dibutuhkan dalam proses utang piutang. Setidaknya memberikan gambaran ketika akan berutang maupun memberi utang. Yang berutang bisa mengukur kemampuannya sendiri kapan dan bagaimana melunasi utangnya. Yang memberi utang bisa menilai karakter dan lain-lain dari calon pengutang. Begitu juga dengan kekuatan ekonomi yang dimilikinya saat ini sebelum memberikan utang. Semua itu demi menjaga kesehatan jasmani, rohani, dan mental kedua belah pihak.
Begitu pentingnya untuk diadakan pelajaran utang piutang di sekolah. Alasan sederhananya adalah utang-piutang akan kita temui sepanjang jalan kehidupan kita. Mengingat pada usia remaja adalah masa-masa pubertas. Kebanyakan dari mereka masih dalam kondisi yang labil. Maka, dibutuhkan pengetahuan dasar yang kuat supaya hal ini tidak menimbulkan masalah yang serius saat dewasa nanti.
Seperti yang dilakukan Pak Sukin. Dia yang notabene sudah sepuh menyepelekan pembayaran utang sampai beberapa purnama lamanya. Hal ini bisa menjadi beban keluarganya karena masih ada tanggungan dalam keluarga Pak Sukin. Apalagi sistem lembaga keuangan masih mengenal istilah “denda” per hari jika terlambat. Jika ingin melunasi, otomatis akan menambah biaya yang dikeluarkan oleh Pak Sukin sendiri.
Untuk itu, pengetahuan tentang utang piutang menurut saya sangat penting sekali. Apalagi hidup di negara dengan masyarakatnya sangat majemuk dan berbagai latar belakang. Hal ini demi keberlangsungan masa depan yang lebih baik. Toh, utang piutang akan selalu kita temui. Entah sekarang atau nanti.
BACA JUGA Utang Itu Sensitif, Sampai-sampai Orang yang Minjemin Duit Jadi Sangat Menyebalkan dan tulisan Hepi Nuriyawan lainnya.