Pertanyaan yang saya jadikan judul di atas bersumber dari akun Twitter yang mengatasnamakan sebuah rumah ibadah milik kampus negeri terkemuka, sebut saja Masjid Salam ITB. Sekilas tampak tidak ada masalah. Namun, jika kita baca berulang, ada hal mendasar yang menjadi sumber huru-hara pada diskusi berikutnya. Yaitu anggapan bahwa childfree adalah sebuah tren yang begitu saja terjadi tanpa ada latar belakang, perdebatan, dan perkembangannya hingga hari ini.
Setidaknya oleh sang pencetus pertanyaan, perkara childfree ini bukanlah buah pikir manusia, selain sekadar kepopuleran yang akan surut dimakan zaman. Padahal pada praktiknya, orang-orang yang memutuskan childfree biasanya memiliki landasan pengambilan keputusan yang sangat rumit dan mengalami pergolakan batin. Terlepas dari boleh atau tidaknya seperti yang hendak dipertanyakan oleh pihak yang melempar diskusi ini. Akibatnya, karena sedari awal tidak dianggap sebagai buah pikir, childfree kemudian ditabrakkan secara paksa dengan tujuan utama pernikahan (setidaknya menurut admin akun Masjid Salman ITB) yaitu untuk memiliki keturunan.
Dari sepenggal cerita ini saja, sebenarnya kita sudah bisa menebak dengan jelas apa jawaban akhir dari pertanyaan besar di atas. Namun, mari kita berpura-pura belum paham dan mencoba mengupas satu per satu kejanggalannya. Tujuan pernikahan yang dimaksud oleh akun ini tentunya adalah tujuan pernikahan dalam institusi Agama Islam secara khusus. Akan tetapi, saking khususnya sampai-sampai yang digunakan di sini bukan tafsir ulama, tetapi pendapat anggota dewan pembina masjid, yang kemungkinan biasnya tidak dijelaskan secara spesifik oleh akun ini.
Di sini saya mau coba bandingkan dengan QS. Arrum ayat 20-24 (yang ayat 21-nya sering dibacakan dalam acara pernikahan). Melalui terjemahan Kemenag kita dapat memahami bahwa di sana memang disebutkan bahwa salah satu tanda kebesaran Tuhan adalah menjadikan manusia berkembang biak. Namun selain itu, ada setidaknya dua tujuan penting pernikahan yang disebut secara eksplisit yaitu mendapatkan rasa tentram dan saling berkasih sayang yang pada ayat berikutnya diberikan pula konteksnya. Oleh karena itu, pasangan dapat mewujudkan dua tujuan tersebut di dalam rumah tangganya. Jadi, apa pun yang dilakukan dalam rumah tangga hendaknya bertujuan untuk mewujudkan ketenteraman dan cinta kasih, bisa jadi termasuk atau tidak termasuk memiliki anak.
Dalam surah lain, Annisa ayat 9 juga menyebutkan dengan tegas larangan untuk meninggalkan keturunan yang lemah, yang mana hal ini juga sejalan dengan kekhawatiran orang-orang yang memutuskan untuk childfree. Keputusan childfree bisa didasari oleh banyak petimbangan. Salah satu yang paling umum saya dengar adalah karena kita melihat dunia sudah overpopulasi yang berpotensi membawa keburukan jika kita memaksakan untuk memiliki keturunan yang berakibat akan mendekatkan dia kepada kategori “lemah” baik secara ekonomi, sosial, psikologis, dan lain-lain. Lha, kalau kekhawatiran yang sedemikian ini diabaikan, apa nggak malah mengingkari tujuan pernikahan untuk menciptakan hubungan saling kasih sayang yang menentramkan? Bisa jadi, yang ada malah kekacauan akibat ketidakmatangan berpikir sebelum memutuskan untuk memiliki keturunan.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa Islam sebagai sebuah agama itu memiliki tujuan yang terangkum dalam maqashid syariah yang salah satu poinnya adalah “hifdz an-nafs” yaitu melindungi jiwa manusia dari berbagai ancaman dan bahaya. Kalau orang-orang yang memilih childfree itu memang dengan sadar memutuskan hal tersebut untuk menghindarkan “jiwa” yang nantinya akan jadi anak dari marabahaya, apa iya kita masih mau sebut mereka menentang hukum Islam?
Lagian ya, setiap fiqh itu ada ushul-nya. Janganlah buru-buru klaim ini boleh atau nggak, tanpa ada pertimbangan ilmiah yang jelas, filsafat hukum yang matang, dan kontesktualisasi yang sepadan. Pengambilan hukum itu tidak bisa kita dasarkan pada satu pendapat kering saja. Ada “mengapa” dan “bagaimana” yang sangat luas untuk dijadikan bahan pertimbangan sebelum kita tanya halal dan haramnya.
Sebenarnya, pernyataan dewan pembina masjid yang dijadikan landasan dalam twit ini sudah dibuka dengan pertanyaan yang cukup substansial yaitu “kenapa pernikahan harus menunggu aqil baligh?” Sayangnya, beliau jawab sendiri pertanyaan ini, dan langsung dijadikan poin utama oleh sang penulis artikel. Padahal, kosakata aqil baligh ini bagus sekali. Ia merujuk pada anggapan bahwa pada usia tertentu pertumbuhan akal manusia sudah dapat dikatakan sempurna sehingga dapat mengambil keputusan. Bisa jadi, sebab dari disyaratkan aqil baligh untuk melaksanakan pernikahan justru karena kita sebagai manusia dianggap bisa memberi keputusan yang paling tepat untuk keluarga yang kita bangun: apakah ingin memiliki keturunan atau tidak? Bukan hanya karena penis dan vaginanya sudah bisa digunakan untuk melakukan aktivitas reproduksi semata.
Terakhir, menyoal kesimpulan yang diambil oleh akun ini baik melalui Twitter maupun artikel websitenya bahwa childfree tidak diperbolehkan dalam Islam karena bertentangan dengan fitrah manusia. Saya cuma mau mengingatkan, selain bereproduksi, manusia itu punya fitrah yang namanya berpikir. Jadi, jangan juga dilupakan proses penting ini sebelum mengambil keputusan untuk memiliki anak atau tidak. Tuhan tidak saja memberikan tanda kebesaran berupa kapabilitas manusia untuk berkembang biak, tapi bahkan mendahulukan seruan kepada manusia untuk mempergunakan akalnya untuk memahami lingkungan sekitarnya, dirinya, dan agamanya. Dan akal itulah yang membedakan manusia dengan spesies lainnya, meskipun sama-sama memiliki organ reproduksi untuk berkembang biak.
BACA JUGA Biaya Membesarkan Anak Katanya 3 Miliar: Itu Matematika Manusia, Matematika Tuhan Bisa Berbeda dan tulisan Fatimatuz Zahra lainnya.