Sebagian besar orang yang saya temui akan mencecar saya dengan rentetan pertanyaan ketika mengetahui bapak saya menganut ajaran Syiah, saya Sunni, sedangkan kakak dan ibu saya Susi (julukan yang kami buat sendiri untuk orang yang mencampur ajaran Sunni Syiah dalam beribadah). Mulai dari tata cara beribadah sampai hubungan personal antaranggota keluarga tak luput dari rasa keingintahuan mereka terhadap saya.
Tak jarang juga pertanyaan-pertanyaan itu berkonotasi menguatkan stigma terhadap buruknya ajaran Syiah yang mereka dengar dari satu mulut ke mulut lainnya. Saya nggak bisa memuaskan setiap pertanyaan dengan jawaban cemerlang. Bagaimana pun pengetahuan saya tentang agama juga masih tipis. Tapi setidaknya saya bisa sedikit membagi cerita soal perbedaan kami, tentang Sunni Syiah yang bisa rukun dan tinggal serumah.
Bapak saya sudah menerapkan ajaran Syiah selama lebih dari 16 tahun. Awalnya, ibu dan kakak-kakak saya merasa risih dengan perbedaan di antara kami. Terlebih saat bapak mulai sering menjejali kami dengan ceramahnya yang terkesan membenarkan ajaran Syiah. Perbedaan ajaran dalam satu keluarga jadi sesuatu yang aneh pada saat itu. Rasanya seperti kami dipaksa untuk kembali mempertanyakan kebenaran ajaran yang telah kami praktikan secara turun-temurun karena masuknya ajaran baru dalam keluarga.
Di masa awal bapak saya mendalami ajaran Syiah, ia cenderung berperilaku “keras”, sampai-sampai saya dan kakak-kakak saya harus mengurung diri dalam kamar kala beribadah dengan cara Sunni. Cara ini juga kami lakukan untuk sekadar menghindari bertatap muka dengan bapak. Pasalnya, setiap bapak pulang kerja, suasana rumah seketika jadi mencekam dan kami harus menimbang dengan baik setiap tindakan dan ucapan yang akan kami lontarkan agar tak jadi soal.
Saya masih ingat tragedi yang terjadi saat Ramadan beberapa tahun lalu. Waktu itu saya masih SD. Selepas azan Magrib, saat saya dan kakak-kakak saya tengah berbuka puasa dan bapak baru pulang kerja, ia tiba-tiba marah besar. Tak perlu saya deskripsikan secara detail apa saja yang terjadi saat itu. Intinya, bapak marah karena menurut ajaran Syiah waktu berbuka puasa bukan ditentukan dari azan Magrib, tetapi saat langit sudah benar-benar gelap. Sontak kami berhenti mengunyah, mengambil air wudhu dan menunaikan salat Magrib. Ya, cara aman untuk kabur dari konflik. Padahal, kalau dipikir-pikir mau kabur dengan cara apa pun, toh puasa kami sudah batal saat itu.
Namun, seiring berjalannya waktu dan bapak mulai menua, emosinya saat melihat kami beribadah dengan cara yang kami anggap benar sudah mulai bisa ia sikapi dengan dewasa. Walaupun, terkadang ia masih saja berceramah kecil-kecilan dan sulit untuk kami bantah. Tapi, yang terpenting kami masing-masing bisa beribadah dengan nyaman.
Bertahun-tahun kemudian, kami pun mulai bisa menerima perbedaan itu. Bahkan, perbedaan ajaran yang dianut bapak berhasil membuat kami penasaran, sebenarnya ajaran seperti apa yang dipelajari dan dipraktikan bapak sampai rela meninggalkan ajaran yang ia anut sebelumnya untuk beralih ke Syiah. Kami mulai mencari tahu, mengikuti beberapa pengajian dan semacamnya untuk memuaskan hasrat penasaran kami. Ini kami lakukan tanpa paksaan.
Seiring bertambahnya wawasan kami tentang Syiah, kakak-kakak dan ibu saya mulai membuka diri dan bahkan ikut mempraktikkan beberapa ajaran Syiah yang menurut mereka “masuk akal”.
Bahkan, setiap 10 Muharram kami sekeluarga rutin mengikuti peringatan Asyura (memperingati kematian Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW) di suatu tempat tersembunyi di kampung yang tak jarang menjadi sasaran kritikan warga setempat. Tak jarang juga acara tiba-tiba berpindah lokasi atau bahkan dibatalkan lantaran tak mendapat izin RT atau warga sekitar.
Peringatan 10 Muharram Syiah yang disebut-sebuat diwarnai ritual melukai diri sendiri itu nyatanya tak terjadi pada kami. Di acara itu, kami hanya mendengar lantunan ayat suci Al-quran, dan ceramah yang disertai cerita sejarah kelahiran hingga meninggalnya Imam Hussein di padang Karbala. Syahdan, menutup acara dengan makan bersama, dan pulang ke rumah masing-masing dengan selamat tanpa mengalami cedera dan luka-luka.
Saya tidak memungkiri, memang di beberapa belahan negara lain, peringatan tersebut turut diwarnai aksi melukai diri sendiri. Tapi bahkan bapak saya pun tidak membenarkan ritual itu. Entahlah, barangkali itu Syiah versi berbeda. Toh, kelak di akhir zaman umat muslim bakal terpecah jadi puluhan golongan.
Ya, begitulah, sampai sekarang bapak saya masih Syiah, kakak-kakak saya Susi, dan saya Sunni. Perbedaan itu sudah tak lagi jadi soal. Yang terpenting, kami muslim dan terikat dalam hubungan keluarga. Toh, sesama muslim adalah saudara jadi kami saudara kuadrat.
Perbedaan itu juga mengajarkan saya untuk tidak menghakimi orang berdasarkan pendapat orang lain sebelum melihatnya dengan mata sendiri dan observasi lebih lanjut. Dan kalau perbedaan itu tidak membawa kerugian untuk saya, ya sudah, buat apa dipermasalahkan. Toh, setiap orang punya proses yang berbeda dalam mencari dan menemukan kebenaran.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Melihat Bagaimana Sinetron Indonesia Mencekoki Kita dengan Budaya Patriarki atau tulisan Husen Mulachela lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.