Sejujurnya, melakukan perjalanan di Kota Jogja saat malam hari membuat saya waswas. Boro-boro menganggap perjalanan itu bakalan jadi perjalanan malam nan romantis di kota wisata, tak jarang saya justru malah merasa cemas. Maka tak berlebihan jika saya ingin seperti teman-teman dari kelompok pertama dan kedua, karena rasanya hidup akan jadi lebih mudah jika saya menjadi orang yang menggap Jogja “baik-baik” saja.
Teman-teman saya yang dulunya kuliah di Jogja pernah ketawa-ketiwi sambil main ke alun-alun yang penuh dengan jajanan kaki lima dan lampu kelap-kelip. Sementara saya baru bisa mengunjunginya ketika sudah menjadi litter box raksasa. Seandainya dulu saya kuliah di Jogja, tentu saya masih bisa menikmati keseruan yang dinikmati teman-teman saya saat main ke alun-alun.
Bahkan, seandainya saya adalah mantan pelajar yang masih menganggap Jogja romantis, saya tak perlu merasa kasihan dengan orang-orang yang dulu mencari uang di sana. Pokoknya saya melihat itu sebagai pemurnian kebudayaan. Titik.
Saya jadi sulit merasakan kenangan indah di Jogja
Sebagai orang yang langsung merasakan UMK Jogja yang nominalnya di bawah UMK kota kelahiran sendiri, saya kesulitan bernostalgia dengan Jogja. Seandainya saya seperti teman-teman yang bisa kuliah di Jogja, tentu rasanya akan sangat berbeda ketika membicarakan soal Kota Pelajar.
Bisa jadi yang saya kenang jika saya kuliah di Jogja adalah persahabatan yang erat dengan kawan dari penjuru Nusantara, kenangan memutari kota bersama pacar yang putus saat KKN, atau nongkrong di warkop dan kafe yang tak terhingga jumlahnya. Sayangnya, kenangan saya akan Jogja justru pendapatan minim, kos yang terlalu mahal untuk gaji segitu, hingga pertanyaan “KTP mana?” yang kedengarannya menyebalkan.
Saya kira jika saya bisa seperti teman-teman yang kuliah di Jogja, mungkin saya bisa menjadi pribadi yang lebih santai. Pandangan saya soal Jogja tidak akan ternodai oleh perkara remeh seperti sulitnya mencari duit, makin tak terjangkaunya harga tanah dan rumah, hingga takut diklitih. Saya ingin menjadi pribadi yang bisa hidup tenang dan rileks saat beririsan dengan kota yang berbudaya dan rajin menjaga citra itu.
Akan tetapi, seandainya dulu saya bisa kuliah di Jogja, kemungkinan saya menjadi salah satu dari teman-teman saya yang masuk dalam kelompok ketiga juga lumayan besar. Kalau dipikir lagi, masuk dalam golongan mereka yang paham sisi gelap dan tak mudah terbujuk romantisme Jogja tidak buruk-buruk amat. Buat apa saya sekolah tinggi-tinggi di Kota Pelajar kalau logika tidak dipakai?
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Mengurungkan Niat Kuliah di Jogja Adalah Keputusan Terbaik yang Pernah Saya Ambil.