Tentu ini cerita tentang saya, yang selama ada Covid-19 benar-benar menjadi pengangguran yang terus mendapatkan gaji. Saya tidak bermaksud menyinggung orang-orang yang betul-betul menganggur yang segera akan mendapatkan jaminan dari pemerintah melalui kartu prakerja. Ini hanya soal curhatan kecil tentang betapa tidak mengenakkanya menjadi seorang penganggur secara tiba-tiba dan terus mendapatkan jaminan gaji.
Saya adalah seorang dosen yang mengampu materi-materi filsafat di salah satu perguruan tinggi di Indonesia, kampusnya rahasia dong. Seperti halnya kampus-kampus yang lain, kampus di mana saya mengajar juga diliburkan secara total, tidak ada aktivis apa pun di kampus, bahkan UAS pun diselenggarakan secara online, persis sama sebagaimana sistem perkuliahannya.
Sejak kampus diliburkan, seluruh sistem pengajaran dialihkan secara online, ada yang menggunakan sistem penugasan, menggunakan media pembelajaran melalui aplikasi Zoom, Whatsapp Grup, dan masih banyak lagi. Intinya, aktivitas perkuliahan, sebagaimana juga sekolah-sekolah, tidak benar-benar libur, hanya pindah tempat mengajar dan medianya pun berbeda secara tajam.
Satu hal yang saya rasakan, bahwa sistem perkuliahan semacam itu tidak benar-benar membuat saya merasa mengajar atau bekerja. Saya malah merasa seperti pengangguran yang berdiam saja di rumah dan sialnya terus mendapatkan transferan gaji.
Mungkin sebagian orang yang tak bisa merasakan apa yang saya hadapi akan berkata naif, sombong, atau berlebih-lebihan. Bukankah menjadi pengagguran yang dibayar itu sungguh mengenakkan dan menjadi impian banyak orang? Meski ini tak bisa dijawab sekadar enak dan tidak, saya cenderung memahami bahwa peristiwa semacam ini sungguh tidak enak dan sangat memalukan.
Jujur, selama musim liburan ini, saya tidak pernah meninggalkan tanggungjawab saya sebagai dosen. Mahasiswa tetap saya kasih tugas sesuai kapasitas kemampuan mereka, ada pula sistem kuliah atau diskusi melalui Whatsapp Grup yang memungkinkan setiap mahasiswa bisa dengan mudah dan leluasa berdiskusi dengan dosen.
Tapi, sekali lagi, ini tidak membuat saya meresa benar-benar bekerja. Malahan tampak seperti pengangguran yang berhari-hari hanya mengisi waktunya di rumah saja. Sialnya, saja justru merasa menikmati gaji buta di mana saya tak pantas menerima sesuatu yang tidak saya usahakan. Aneh bukan
Setelah saya berpikir panjang, mulailah sedikit ada titik terang. Bahwa rasa kepengangguran ini saya rasakan karena memang tidak merasakan aktivitas normal sebagaimana biasanya. Ini bukan berarti saya memiliki etos kerja yang tinggi, sama sekali tidak, malahan saya cenderung orang yang biasa-biasa saja dalam hal pekerjaan. Tapi, saya tak bisa membohongi kenyataan bahwa saya memang merasa betul-betul kehilangan aktivitas normal dalam hidup. Apa-apa yang biasanya saya kerjakan di luar, baik mengajar, menulis, atau aktivitas lainnya, nyaris semuanya hilang begitu saja. Mungkin banyak orang juga merasakan hal yang sama.
Intinya, bukan masalah apakah kita bekerja atau tidak dalam menghasilkan uang, tapi soal betapa banyak hal yang sekarang tak bisa lagi kita lakukan setelah datangnya Covid-19 ini. Kehilangan hal-hal yang sudah terlanjur biasa kita nikmati di luar rumah, terkhusus bekerja dan menyalurkan hobi, adalah sesuatu yang sangat tidak mengenakkan. Betapa kita dituntut untuk menjadi sesuatu yang bukan diri kita dan, entah sampai kapan suasana seperti ini akan benar-benar berakhir.
Di tengah suasana yang tidak pasti dan terus menuntut kita untuk tinggal di rumah saja seperti sekarang ini, saya menjadi berpikir bahwa boleh jadi bencana ini masih akan terjadi dalam waktu yang lama. Kita hanya dituntut untuk membiasakan diri dan sedikit merubah pola hidup yang bahkan kita sendiri tak mengharapkannya. Seperti kata Spongebob, “hidup kadang memang tidak adil, jadi biasakanlah dirimu”.
Tentu kita tak bisa menelan mentah-mentah ucapakan Spongebob di atas, yang dengan entengnya menyalahkan Tuhan. Kita yakin bahwa semua peristiwa yang tidak mengenakkan ini asalnya dari Tuhan dan pada akhirnya Tuhanlah yang akan memberi jalan keluar. Yang jelas, kita hanya perlu membiasakan diri untuk menghadapi situasi-situasi tersulit dalam hidup. Bukankah Tuhan tidak akan menguji umatnya kecuali mereka sanggup menghadapinya.
Ini bukan sebentuk pengkhotbahan yang sok memberi tahu. Ini adalah soal pengertian dan sejauh mana kita mampu memaknai hidup secara lebih positif di tengah berbagai masalah dan musibah yang sedang kita hadapi. Hidup adalah tentang memahami sekaligus memberi makna di setiap peristiwa yang kita jalani.
Menjadi pengangguran yang terus dibayar, atau terus saja tinggal di rumah mungkin sesuatu yang tidak mengenakkan, tapi satu hal yang penting bahwa kita harus betul-betul mengerti untuk apa semua itu kita lakukan. Bukankah tujuannya tak lain adalah ingin memberi rasa aman satu sama lain dan mengakhiri seluruh penderitaan hidup.
BACA JUGA Bapak dan Ibu Dosen, Anjuran Kampus Itu Kuliah Online Bukan Ngasih Tugas atau tulisan Rohmatul Izad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.