Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Saya Buta Navigasi 4N (Ngalor-Ngidul-Ngetan-Ngulon): Emang Kenapa Sih?

Nursyifa Afati Muftizasari oleh Nursyifa Afati Muftizasari
15 Oktober 2019
A A
navigasi

navigasi

Share on FacebookShare on Twitter

Beberapa waktu yang lalu saya membaca salah satu artikel di mojok.co yang membuat saya banyak merenung. Artikel tersebut berjudul Kenapa Orang Jogja Dikenal Jago Navigasi?.

Pada artikel tersebut, dijelaskan bahwa orang Jogja sangat paham arah mata angin dan biasa menggunakannya sebagai patokan ketika menjelaskan arah jalan. Mengapa bisa dengan mudah paham betul arah mata angin? Artikel menjelaskan bahwa mereka dididik langsung oleh alam, biasa menggunakan Gunung Merapi sebagai patokan arah Utara dan arah lainnya menyesuaikan.

Sebagai warga Kabupaten Karanganyar, Solo, saya pun menyadari bahwa kebiasaan tersebut juga lumrah di daerah saya. Untuk patokan, mungkinkah mereka juga menggunakan gunung? Jika di Jogja ada Gunung Merapi, di Karanganyar ada Gunung Lawu yang juga tampak jelas. Saya belum pernah dengar tentang ini, tapi ini juga masuk akal.

Dua tahun di Jakarta dan tiga tahun di Bogor sebelum menginjak Sekolah Dasar di Karanganyar, membuat saya terbiasa mengikuti cara Jakarta dan Bogor dalam berbagai hal, salah satunya dalam menjelaskan patokan arah. Istilah kanan dan kiri sekiranya cukup untuk menjelaskan arah jalan, terlebih untuk saya yang saat itu masih kecil.

Dua hari setelah resmi menjadi siswa SD, saya bertanya pada salah satu teman, di mana rumah dia. Dia pun menjelaskan dengan kata-kata yang aneh bagi saya.

“Omahku ki soko kene ngetan, tekan perapatan belok ngalor, terus tekan pertelon belok ngulon.” (Rumahku dari sini ke timur, sampai perempatan belok ke utara, lalu sampai pertigaan belok ke barat.)

Alih-alih paham, saya hanya memasang tatapan bingung. Ngetan, ngalor, ngulon… tunggu sebentar, apa maksudnya? Saya masih belum fasih berbahasa Jawa saat itu. Saya pun bertanya apa maksudnya. Dengan sabar dia menjelaskan wetan/etan itu timur, lor itu utara, kulon itu barat. Ditambah satu istilah lagi, kidul yang berarti selatan. Sedangkan awalan “n” kurang-lebih berarti “menuju ke”.

Setelah itu, saya masih bingung. Ke mana arah Timur, Utara, dan Barat? Saya tidak paham navigasi. Saya tahu istilah Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Tapi hanya sebatas tahu namanya, tidak tahu arahnya. Guru TK belum mengajarkan itu. Orang tua saya pun belum.

Baca Juga:

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

Teman saya jadi ikut bingung, merasa aneh. Dengan polos dia bertanya mengapa saya bisa tidak paham arah mata angin, padahal itu sering muncul di perbincangan sehari-hari. Saya kemudian menjelaskan, juga dengan sangat polos, bahwa saya lebih familiar menggunakan patokan “kanan-kiri” saat menjelaskan lokasi. Penggunaan mata angin adalah hal baru yang bagi saya sangat rumit.

Dalam bahasa Jawa, untuk menunjukkan patokan arah, hal yang sangat familiar yakni menggunakan istilah mata angin ngetan, ngulon, ngalor, dan ngidul. Atau, bahasa halusnya yaitu ngetan, ngilen, ngaler, ngidul. Saya sejak dulu sering menyebutnya “4N”. Semua berawal dengan “N”, sehingga sering kali muncul guyonan meme yang mengatakan andai kompas diciptakan orang Jawa, mungkin jadi membingungkan, semua bertulis huruf “N”.

Sama seperti orang Jogja, orang Karanganyar pun demikian. Sebagai pendatang, saya mengalami kesulitan beradaptasi. Karena semua berawalan huruf N, saya sering terbolak-balik. 4N terlalu susah dihafal, terdengar sangat mirip bagi saya, sehingga saya sempat mencoba untuk membiasakan diri menggunakan arah mata angin berbahasa Indonesia. Utara, Selatan, Timur, dan Barat.

Tapi ternyata, tetap saja sudah. Di mana Utara, di mana Selatan? Mungkin saya bisa paham jika di tempat yang familiar. Namun ketika berpindah lokasi, niscaya saya akan merasa bodoh lagi. Hingga akhirnya saya tetap lebih suka menggunakan cara saya, fokus pada dua istilah yang sederhana, kanan dan kiri. Lagi pula, bagi saya, kita sedang di kota, bukan di hutan, mengapa mempersulit percakapan?

Meski sering dianggap “aneh”, saya rasa itu tak terlalu mengganggu. Saya masih bisa bernavigasi di jalan raya tanpa paham mata angin. Saat saya menginjak SMP, saya bertemu dengan teman senasib. Ah, betapa bahagianya~

Saat SMA, sekolah saya membagi wilayah kekuasaannya menjadi dua bagian, Gedung Selatan dan Gedung Utara. Dua bagian tersebut dipisah oleh jalan gang. Sejak saat itu, saya jadi tidak terlalu buta arah. Utara dan Selatan dengan mudah saya hafal lokasinya, ketika berada di gedung SMA. Lalu ketika di luar SMA, tetap saya anggap gedung SMA saya sebagai patokan, seakan SMA adalah pusat kompas saya.

Utara dan Selatan sudah paham, otomatis Timur dan Barat pun paham. Sedangkan untuk istilah 4N, saya punya cara sendiri untuk menghafal. Saya selalu ingat kata kidul, Nyi Roro Kidul adalah penunggu laut selatan. Oke, kidul berarti Selatan. Kidul berpasangan dengan lor, berarti lor adalah Utara. Dengan begitu, wetan dan kulon berarti Timur dan Barat. Oke, saya sanggap saya sudah cukup pintar!

Saya akhirnya bisa menjadikan 4N sebagai patokan saat menjelaskan lokasi. Dengan penuh kebanggaan, saya mulai percaya diri menggunakan “Navigasi 4N” saat menjelaskan arah jalan. Oh sungguh, itu saya anggap sebagai pencapaian penting dalam hidup saya. Saya jadi bersyukur sekolah di SMA yang gedungnya terpisah jalan.

Namun, hal tersebut ternyata hanya berlaku untuk radius yang sangat sedikit. Ketika sepuluh kilometer menjauh dari SMA, terlebih jika keluar wilayah Karanganyar, saya bingung lagi. Ah, sudahlah! Saya menyerah. Saya kembali ke cara awal, kanan-kiri. Cari aman saja, dibanding justru membuat orang lain tersesat.

Saat kuliah, saya kembali dipertemukan dengan Tanah Sunda. Bagus sekali, tidak ada 4N di sana. Justru, saya sering dengar istilah, navigasi terbaik adalah navigasi punten.” Maksudnya, jika kita tidak tahu arah, sebaiknya kita bertanya pada orang lain.

Ah, hal tersebut kurang berlaku di Karanganyar. Jika saya bertanya, mungkin justru makin tersesat, karena sok paham 4N tapi akhirnya bingung. Tapi saya jadi punya tips bernavigasi di wilayah yang kental 4N-nya. Jika ingin bertanya, carilah orang yang memiliki tampang senasib, buta 4N. Maka kemungkinan dia akan menjelaskan dengan cara sederhana. Silakan dicoba.

Membaca artikel mojok.com yang tadi saya sebut, membuat saya merenungi 4N cukup panjang. Saya menyadari bahwa hingga kini saya masih buta “Navigasi 4N”. Tidak jarang saya mendapat protes, “kowe ki wong Jawa, kok ra mudeng ngetan-ngulon-ngalor-ngidul? Kok isa seumur uripmu ra mudeng arah?” (Kamu itu orang Jawa, kok tidak tahu utara-selatan-timur-barat? Kok bisa seumur hidupmu tidak paham arah?)

Sekian. (*)

BACA JUGA Cerita Unik tentang Tata Krama Ketika Tanya Jalan ke Orang atau tulisan Nursyifa Afati Muftizasari lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 16 Oktober 2019 oleh

Tags: buta arahGeografiJogjanavigasitradisi jawa
Nursyifa Afati Muftizasari

Nursyifa Afati Muftizasari

Lahir di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Mahasiswa Universitas Padjadjaran. Ikuti saya di instagram @afa_mufti.

ArtikelTerkait

ppkm darurat rakyat jogja harus memaklumi sultan perihal lockdown mojok

Rakyat Jogja Wajib Memaklumi Sultan yang Inkosisten Perihal Lockdown

22 Juni 2021
Jalan Batikan Umbulharjo, Jalan Lurus yang Mematikan: Siang Hari Teduh, Malam Hari Dipenuhi Gondes Mabuk Kebut-kebutan

Jalan Batikan Umbulharjo, Jalan Lurus yang Mematikan: Siang Hari Teduh, Malam Hari Dipenuhi Gondes Mabuk Kebut-kebutan

12 Juni 2025
kenapa UMP Jogja rendah titik kemacetan di jogja lockdown rekomendasi cilok di Jogja Sebenarnya Tidak Romantis Jika Kamu Cuma Punya Gaji UMR dawuh dalem sabda pandita ratu tugu jogja monarki mojok

Jogja, meski Monarki, Tetap Butuh dan Harus Dikritik

12 Februari 2021
Jalan Daendels, Penghubung Jogja-Purworejo yang Mirip Neraka. Jangan Lewat Sini kalau Nggak Mau Celaka

Jalan Daendels, Penghubung Jogja-Purworejo yang Mirip Neraka. Jangan Lewat Sini kalau Nggak Mau Celaka

22 Februari 2024
Kemacetan Jalan Pintas Monjali ke Jalan Palagan Sleman, Bukti Nyata Jogja Salah Urus

Kemacetan Jalan Pintas Monjali ke Jalan Palagan Sleman, Bukti Nyata Jogja Salah Urus

28 Februari 2024
Gudeg Sagan Gudeg Jogja yang Ramah bagi Lidah Wisatawan (Unsplash)

Gudeg Sagan: Gudeg Jogja yang Ramah bagi Lidah Wisatawan

4 November 2025
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

2 Desember 2025
Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

1 Desember 2025
3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

4 Desember 2025
Suzuki Karimun Wagon R Boleh Mati, tapi Ia Mati Terhormat

Suzuki Karimun Wagon R Boleh Mati, tapi Ia Mati Terhormat

1 Desember 2025
4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang Mojok.co

4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang

29 November 2025
Malang Nyaman untuk Hidup tapi Bikin Sesak Buat Bertahan Hidup (Unsplash)

Ironi Pembangunan Kota Malang: Sukses Meniru Jakarta dalam Transportasi, tapi Gagal Menghindari Banjir

5 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana
  • Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.