Saya hidup dan bermukim di dalam gang. Banyak sekali ketidaknyamanan ketika memiliki rumah di dalam gang. Misalnya saja kerap kali direndahkan, akses masuk yang sempit, juga tidak bisa masuk mobil. Namun, ketika beberapa kali menginap di rumah teman yang begitu besar di pinggir jalan, membuat pandangan saya berubah. Setelah mendengar curhatan teman sebagai ahlul bait, ternyata tinggal di dalam gang tidak terlalu buruk juga.
Rumah dua lantai tipe 250 yang dia tinggali terlalu luas hanya untuk tiga orang saja. Ayahnya, ibunya, dan kawan saya sendiri. Terkadang kalau bisa memilih, ia lebih memilih tinggal di rumah biasa saja dengan pemukiman yang lebih hangat. Dia pun menuturkan bahwa hidup dengan rumah besar di pinggir jalan tidak selalu enak sebagaimana yang seringkali orang anggap.
Memang dia memiliki kehidupan nyaman di rumah besar, akses jalan yang sangat mudah, dan orang merasa iri padanya. Namun, dari pengakuannya sendiri, terdapat beberapa penderitaan abadi selama memiliki rumah besar di pinggir jalan.
Daftar Isi
Suara kendaraan adalah gangguan utama bagi penghuni rumah di pinggir jalan
Banyak yang berspekulasi bahwa memiliki tempat tinggal di pinggir jalan itu enak karena akses jalan yang sangat mudah. Tidak perlu mempersulit ojol untuk menemukan lokasi tujuan. Mau ke mana-mana mudah karena langsung ke jalan besar, tidak perlu melintasi jalan yang sempit.
Itu betul. Tapi, realitas lebih nyata ketimbang angan-angan yang paling buruk sekalipun.
Nyatanya, teman saya malah merasakan penderitaan abadi karena sering kali terganggu suara berisik kendaraan lalu-lalang. Belum lagi daerah teman saya tersebut banyak kendaraan bermotor yang menggunakan knalpot brong. Kebetulan kamar teman saya berada di ujung tepat bersebelahan dengan jalan raya. Memang ketika saya menginap pun rasanya tidak nyaman akibat bisingnya suara kendaraan.
Itu baru menginap barang sehari-dua hari, bayangkan kalau hidup di situ. Bisa sih. Bisa gila maksudnya.
Capek beres-beres rumah
Rumah dengan ukuran kurang lebih seluas 16×25 m itu perlu tenaga ekstra untuk dibersihkan. Belum lagi terdapat halaman depan dan taman mini di pinggir rumah. Teman saya menceritakan ketika beres-beres rumah dan halaman, capeknya benar-benar setengah mati.
Walaupun sudah menyewa orang untuk bantu-bantu tetap saja area rumah yang terlalu luas itu sangat menguras tenaga ketika dibereskan.
Pertanyaannya, apakah karena rumahnya gede? Iya, tapi nggak karena itu doang. Rumah di pinggir jalan selalu punya satu masalah klasik, terlepas gede atau nggak, yaitu gampang kotor. Penyebabnya ya tentu saja karena debu jalanan yang tak mungkin dihalau begitu saja.
Sering jadi target kejahatan
Karena posisi rumah benar-benar berada di depan jalan, rumah kawan saya ini sering kali menjadi target dari kejahatan. Entah berapa kali pencuri berusaha untuk membobol garasi rumahnya. Alhasil, pernah satu unit sepeda motor listrik keluaran terbaru raib begitu saja. Belum lagi barang-barang jika lupa tidak dimasukkan ke rumah, ada saja orang yang bisa mengambilnya melewati pagar.
Karena suasana sekeliling rumah yang sepi, pos jaga yang jarang terisi, benar-benar memudahkan pencuri untuk beraksi.
Tidak punya “tetangga”
Ketika saya tanya kepada teman saya tersebut apakah kenal seseorang di sekitar rumahnya, dia jawab tidak ada. Padahal sebenarnya ya ada tetangga di sebelah rumahnya, tapi tidak tidak seperti memiliki tetangga karena tak pernah bertegur sapa. Berbeda dengan tempat tinggal saya di gang. Walaupun akses jalan yang sempit, tapi rumah saya dikelilingi oleh tetangga yang sangat dekat.
Jika ada masalah, misal ada yang meninggal, tetangga biasanya gotong royong untuk mengurusnya. Sehingga suasana sekitar selalu terasa hangat.
Sungguh kondisi yang sangat berkebalikan. Tidak adanya tetangga membuat semuanya menjadi serba sendiri. Kawan saya bertutur bahwa orang-orang di sekitar rumahnya sudah terlalu sibuk urusan masing-masing sehingga membuat suasana sekeliling rumah menjadi begitu sepi.
Kesepian yang mematikan
Terakhir saya berkunjung ke rumah teman tersebut, yaitu ketika ayahnya meninggal. Ketika saya bertakziah, kawan saya menuturkan bahwasanya karena rumah yang terlalu luas dan sepi, tidak ada yang tahu bahwa ayahnya sudah meninggal. Ayah kawan saya mengidap penyakit jantung. Rupanya ketika ia merasa kesakitan, penghuni rumah sedang tidak berada di dekatnya. Akhirnya ketika ditemukan sudah dalam kondisi tidak tertolong. Begitu sepinya memiliki rumah yang begitu besar dan berada di pinggir jalan, sampai-sampai sepinya itu berbuah kematian.
Sampai pada akhirnya, terpampang jelas di depan rumahnya bahwa rumah tersebut dijual. Begitulah penderitaan abadi yang dirasakan oleh kawan saya yang memiliki rumah besar di pinggir jalan. Nyatanya yang menurut kita enak belum tentu enak sampai kita benar-benar merasakannya.
Penulis: Handri Setiadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Derita yang Akan Kamu Rasakan jika Punya Rumah di Pinggir Jalan Raya