FIFA dan UEFA resmi melarang partisipasi tim nasional dan klub asal Rusia untuk berlaga di berbagai kompetisi internasional, termasuk Piala Dunia dan Liga Eropa. Dua federasi sepak bola terbesar di dunia itu beralasan bahwa langkah tersebut diambil sebagai bentuk solidaritas terhadap warga Ukraina. Sebuah langkah yang dinilai sangat bernuansa politis dan populis.
Keputusan ini jelas mengundang kekecewaan banyak penikmat sepak bola. Apalagi negara-negara Eropa, Afrika, dan Asia yang selama ini dekat dengan isu konflik Timur Tengah. Dari Asia Tenggara sendiri, langkah FIFA mengundang kontroversi dari publik Vietnam dan Indonesia yang selama ini memposisikan diri berada di pihak Palestina. Pertanyaan yang paling sering muncul: Jika Rusia “iya”, mengapa Israel “tidak”?
FIFA dan UEFA dituding menggunakan standar motor untuk merespon huru-hara Eropa Timur. Kejadian pada 2016 kembali diangkat. Pada saat itu, Glasgow Celtic, klub asal Skotlandia, terkena sanksi denda sebesar 45 ribu poundsterling, atau setara dengan 900 juta rupiah. Hal itu disebabkan oleh Green Brigade—salah satu grup pendukung Celtic-memasang spanduk dan mengibarkan bendera Palestina ketika klub kesayangan mereka bertanding melawan Hapoel Be’er-Sheva di babak lanjutan play-off Liga Champions.
UEFA beralasan bahwa sepak bola tidak memiliki ruang untuk mengutarakan sentimen politik, ideologi, agama, atau sentimen-sentimen lain “bernada provokatif”. Di mata mereka, sepak bola bukan media untuk mewadahi “hal yang bukan olahraga”. Tentu saja, pernyataan itu sama elastisnya dengan pasal karet UU ITE Negara Mordor.
Konsistensi FIFA dan UEFA akan hal itu semakin dipertanyakan setelah perlakuan mereka terhadap sepak bola Rusia. Ujian terbesarnya, adalah bagaimana dua federasi tersebut bakal merespon isu-isu serupa di masa depan. Sejarah memang membuktikan bahwa sepak bola tidak bisa dilepaskan dari politik. Namun, kejadian ini jelas mengubah dinamika sepak bola modern. Jika mereka diam saja ketika publik sepak bola Eropa ramai-ramai mengibarkan bendera Ukraina, bukan tidak mungkin aksi-aksi serupa akan memenuhi stadion di masa depan. Mengibarkan bendera dan spanduk dukungan untuk Palestina, misalnya.
Sebagai awam, saya menilai langkah pencoretan FIFA dan UEFA terhadap Rusia akan datang cepat atau lambat. Mengingat besarnya sentimen publik terhadap invasi ke Ukraina, langkah-langkah itu tidak bisa dihindari. Jujur saja, awalnya ekspektasi saya sangat tinggi karena FIFA masih berusaha memastikan kalender internasional berjalan dengan lancar, terlepas dari alotnya negosiasi dengan negara-negara yang menolak bertanding melawan Rusia. Tapi ya begitu, yang namanya federasi sepak bola bukanlah tempat untuk menaruh ekspektasi bukan?
Tidak, tidak, saya bukannya tidak setuju dengan sanksi FIFA dan UEFA terhadap Rusia. Hal yang sayangkan adalah betapa sembrononya kebijakan ini diartikulasikan kepada publik. “Tidak elegan” adalah penilaian yang tepat menurut saya. Banyak cara lain yang bisa ditempuh FIFA dan UEFA untuk merespon situasi ini tanpa harus meninggalkan kesan sebagai toa kepentingan Barat. Cara-cara yang saya maksud adalah sebagai berikut.
Pertama, menunggu dan atau melobi Rusia untuk mengundurkan diri secara sukarela. Hal ini bisa dimengerti kok. Sentimen masyarakat Eropa terhadap Rusia sedang jeblok-jebloknya. Bukan tidak mungkin, sentimen itu bisa berubah menjadi kekerasan yang tidak diinginkan. Keselamatan pemain tentu saja dipertaruhkan.
Kedua, FIFA dan UEFA boleh mencoret Rusia dan mengumumkan keputusan itu secara terang-terangan, dengan berbagai catatan. Misalnya, memberikan sanksi kepada negara yang sebelumnya menolak bertanding. Kalau takut dibacoti netizen, sanksi yang dijatuhkan bisa berupa sanksi simbolis saja, dengan menjatuhkan denda misalnya.
Kita tahu bahwa biaya perang itu mahal harganya. Kita juga tahu bahwa tidak semua orang Rusia, termasuk atlet, mendukung perang. Fyodor Smolov, striker gaek Dinamo Moscow, misalnya, mengunggah gambar hitam dengan caption “No to War” plus bendera Ukraina. Kapten timnas Rusia, Artem Dzyuba, juga mengungkapkan hal yang sama. Sayangnya, mereka juga ikut menanggung konsekuensi dari aksi ngawur Presiden Putin. Dan pedihnya hal itu tidak bisa dihindari.
Oh iya, Arab Saudi baru-baru ini menyerbu Yaman kan? atau bagaimana dengan Israel yang baru-baru ini meroket Suriah kan? Apakah FIFA akan menjatuhkan sanksi kepada mereka yang kontraproduktif dengan perdamaian dunia? Ya, kita nggak usah berharap terlampau tinggi.
Penulis: Nurfathi Robi
Editor: Rizky Prasetya