Sandeq merupakan perahu yang lahir dari pertemuan pengetahuan, kearifan tentang laut dan perahu serta keyakinan keagamaan suku Mandar. Perahu ini lahir dari tiang keyakinan dan pahat kearifan lokal Suku Mandar dalam mengarungi kehidupan.
Suku Mandar mayoritas tinggal di sepanjang pesisir pantai Sulawesi Barat. Masyarakatnya identik dengan laut. Saking cintanya terhadap laut, banyak di beberapa pesisir pulau Nusantara ini dihuni oleh mereka—seperti di Bawean dan Lombok tak luput dari domisili mereka.
Sandeq—perahu ini ramping, mengandalkan layar dan kecepatan angin untuk mengarungi lautan. Memang tak sebesar dan tersiar bak Pinisi suku Bugis-Makassar, tetapi beberapa prosesi pembuatan dan bagian perahu tak kalah dalam maknanya.
Ada beberapa jenis Sandeq, namun jenis tradisonal yang menarik untuk dinjelimeti, karena mulai dari cara pembuatan dan bahagian perahu semuanya ‘mentes-mentes dan berisi’—filosofis. Tanda filosofisnya, pembuatan perahu dimulai dan diakhiri dengan kekhusyu’an ma’baca atau doa selamat dan syukuran. Berserah memohon kelancaran usaha kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan lantunan ayat-ayat suci, bershalawat dan barzanji.
Menu wajib dalam ma’baca adalah loka (pisang), sokkol (ketan), cucur (kue kucur), dan telur serta hidangan untuk para tamu. Makna pengharapan lokal Mandar (ussul) dari pisang adalah bentuk sisirnya yang menyerupai tangan ketika berdoa, sokkol kerekatan bahan ketan adalah pengharapan melekatnya rezeki untuk mereka. Cucur dengan rasa manisnya, semoga usaha rezeki mereka selalu berhasil manis dan telur, ndog gludug menyimbolkan kebulatan tekad.
Acara ma’baca ini juga ramai, melibatkan saudara, tetangga dan masyarakat sekitar, bersedekah tentu intinya. Dipimpin oleh tokoh agama (annangguru), ma’baca juga melibatkan pembuat perahu (pande lopi), dan calon awak perahu, yang dengan merendahkan hati dan fikiran meminta kepada Allah segala kebaikan tentang perahu Sandeq; keselamatan dan kebaikan rezeki.
Selain khusyu’ juga semarak dan meriah, karena ada sesi rebutan makanan, bagi warga, seperti telur dan hidangan ma’baca lainnya. Rebutan makanan ini merupakan diantara momen riang yang ditunggu, terutama bagi anak-anak.
Sebelum kemeriahan ini, pemilik perahu sowan ke annangguru untuk menanyakan hari yang baik untuk memulai pengerjaan perahu. Menurut mereka, semua hari baik, tetapi ada hari tertentu yang lebih tepat untuk melaksanakan sesuatu.
Ketika sudah mendapat hari yang baik, maka pande lopi akan memulai pekerjaanya, bersamaan dengan prosesi ma’baca tadi. Prosesi mattobo yakni memasang papan sambungan dari lambung perahu, memasang tiang layar dan mapposi’ membuat pusar/pusat perahu, merupakan prosesi inti.
Setiap prosesi selalu diawali dengan Bismillah, Shalawat dan bacaan khusus atau baca-baca, sebuah kekayaan pengetahuan lokal yang tak ternilai. Pemahaman keagamaan yang menyatu dalam sendi kehidupan.
Seperti halnya mahluk hidup, bagian perahu Sandeq juga bernama paccong (kepala perahu), berbentuk limas segi tiga. Bahan paccong bukan kayu sembarang, tetapi kayu yang berasal dari pohon yang berbuah, seperti pohon Nangka, Mangga dan Pohon Durian. Ussulnya semoga perahunya selalu membuahkan hasil tangkapan yang melimpah.
Selanjutnya, layar segi tiga perahu Sandeq yang melakat pada pallayarang (tiang layar). Layar segi tiga merupakan simbol keharmonisan hubungan antara manusia-alam dan Tuhan, sedangkan pallayarang merupakan simbol pokok keyakinan suku Mandar, yakni Alif. Hal ini merumuskan bagaimana hubungan antara manusia-alam-Tuhan harus bersandar pada tegaknya keyakinan.
Posi lopi (pusar/pusat perahu) adalah bagian perahu berikutnya. Posisinya berada di lambung perahu tepat di bawah tiang layar. Kayu Benalu sebesar jari kelingking yang didalamnya diisi jarum, minyak, lumut sumur dan kerak nasi. Ussul-nya adalah pengharapan keselamatan dan rezeki. Seperti halnya pusat diri manusia yang harus suci dan bersih, begitupula perlakukan suku Mandar terhadap pusar Sandeq-nya. Prosesi pemasanganya dengan ma’baca dan biasa pula dilakukan tengah malam dengan lantunan Barzanji yang mengiringi.
Bagian paling belakang, guling atau kemudi. Posisinya bersandar pada sanggilang tommoane dan sanggilang towaine atau sanggar kemudi laki dan perempuan.
Hal ini sesuai dengan konsep gender lokal Mandar yang disebut siwaliparri, penghargaan dan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dalam membangun dan mengarahkan perahu kehidupan.
Bukan soal selera, warna sandeq selalu putih. Bagi suku Mandar, sandeq adalah alat pencari rezeki, maka haruslah bersih nan-suci. Mereka menyakini, manfkahi anak-istri harus dengan sarana dan cara ‘putih’. Sebuah prasayarat sarana pencari rezeki yang kian langka, tetapi bukti nyata sublimasi nilai agama yang larut menyatu, meskipun dalam perahu.
Inilah yang membuat suku Mandar begitu berani mengarungi ketidakpastian lautan kehidupan. Keberanian yang bersandar pada nilai ke-Islam-an dan keyakinan pokok Alif , tegak bersih nan suci.
Tentang ini, kita ingat pada sosok Baharuddin Lopa. Pendekar Hukum dari Mandar yang dicatat dengan tinta emas dalam sejarah penegakan hukum Indonesia. Dari sosoknya, ‘tegak dan bersih dalam hidup’ adalah rekaman indah dan teladan bagi generasi Suku Mandar dan juga anak bangsa tentunya. Semoga.