Sanden Bantul tempat terbaik buat warga kota menengah ke atas yang mendambakan slow living.
Pada tataran bahasa Indonesia, ada beberapa diksi yang indah untuk diucapkan dan juga didengar. Kata-kata seperti amerta (abadi), klandestin (secara rahasia), arunika (cahaya matahari yang baru terbit), dan niskala (abstrak) adalah beberapa contoh kecil dari banyaknya diksi indah dalam bahasa Indonesia. Membacanya pun sudah membuat saya merasa sejuk dan tentram di hati.
Begitu juga diksi-diksi indah macam contoh di atas juga dapat kalian rasakan indahnya pada salah satu wilayah yakni Sanden Bantul. Jikalau diksi-diksi tersebut menentramkan dan menyejukkan hati, demikian juga dapat ditemukan pada salah satu kecamatan di Bantul ini. Keindahan Sanden dapat menjawab mimpi slow living masyarakat urban.
Daftar Isi
Sanden Bantul jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang serba cepat
Hidup santai tanpa pekerjaan berat serta tinggal jauh dari perkotaan menjadi impian kebanyakan orang. Bisa tinggal di tempat yang jauh dari banyaknya karbon monoksida dengan banyak persawahan dan pepohonan dicari warga yang tiap hari sibuk 9 to 5.
Terletak di ujung selatan Bantul, membuat Sanden terpencil dan jauh dari peradaban kota. Apalagi jika ditempuh dari pusat Kota Jogja, kecamatan ini berjarak kurang lebih 25 kilometer menurut Google Maps. Jika kalian mengetikkan Sanden di Google Maps dan memilih tujuan Alun-Alun Paseban Bantul, akan terpampang jarak 11 kilometer jauhnya. Meski jauh dari kota, jangan salah. Sanden mampu mengabulkan mimpi siapa saja yang mendambakan slow living.
Seperti yang kita tahu, dalam beberapa waktu terakhir, Jogja digerus kemacetan dan kehidupan yang serba cepat. Melintasi jalanan di Kota Jogja sama halnya dengan bertempur dengan tentara lawan. Gocek sana, gocek sini, susul sana, susul sini, sudah menjadi sajian utama jalanan Jogja. Belum lagi kalau bertemu kendaraan lain yang ngawur saat macet dengan dalih ingin cepat pulang. Lha, memangnya yang pengin cepat sampai rumah cuma mereka?
Hal seperti itu tentu tidak akan kalian dapatkan jika tinggal di Sanden Bantul. Macet? Makanan apa itu? Kami warga Sanden hanya mengenal jalanan lenggang bebas hambatan. Paling pol macet cuma pas libur panjang. Itu pun tidak sampai macet yang mengular.
Baca halaman selanjutnya: Dekat dengan destinasi…
Dekat dengan destinasi wisata pantai
Mau healing atau refreshing? Tidak perlu menempuh waktu berjam-jam. Dalam hitungan menit, kalian bisa sampai pantai.
Berbeda dengan penduduk kota yang memerlukan setidaknya 45 menit untuk bisa sampai di pantai, sebagai warlok Sanden Bantul, saya merasakan betul nikmatnya tinggal di dekat pantai. Apalagi sebagai fresh graduate yang kadang bingung mencari pekerjaan, menenangkan diri dan pikiran di pantai sejenak merupakan keputusan tepat. Paling hanya perlu 10 menit untuk bisa ke pantai.
Bayangkan kalau kalian ingin slow living dan jalan-jalan tiap sore ditemani sunset di hamparan pantai, tentu tinggal di Sanden tidak buruk-buruk amat.
Hamparan sawah yang masih terjaga
Satu hal yang sering saya saksikan melalui media sosial, yakni masyarakat kota yang gumunan. Mereka gampang merasa takjub melihat hal-hal yang sebenarnya biasa saja bagi kami masyarakat rural. Salah satunya sawah.
Gimana nggak biasa, wong sawah tempat kami bekerja dan mencari nafkah, kok. Saban hari di sawah dari pagi sampai siang, nanti zuhur pulang dulu, baru lanjut lagi sampai sore. Konsep kerja kami memang 9 to 5 kayak orang kota. Bedanya, kerja kami outdoor.
Soal hamparan sawah ini juga masih terjaga di Sanden Bantul. Sejauh mata memandang, berpetak-petak sawah membentang di kiri kanan jalan. Bahkan, di sini ada bentang sawah dengan latar belakang gunung. Saya yakin, panorama tersebut pastinya akan membuat orang kota bahagia.
Syarat hidup slow living di Sanden Bantul
Kalau tidak salah, saya pernah menonton acara televisi bertajuk Tonight Show. Di salah satu episodenya, Vincent Rompies pernah mengutarakan niatnya usai pensiun dari televisi. Dia ingin hidup santai dengan berkebun dan menunggangi kuda.
Buat Pak Vincent, saya sarankan tinggal di Sanden Bantul saja. Di sini Anda bisa bikin perkebunan sendiri dan membuat kandang kuda di halaman rumah. Mungkin daerah Patihan bisa jadi pilihan karena lokasinya tidak terlalu jauh dari hutan dan masih ada area alas. Atau daerah Rojoniten boleh juga. Karakteristiknya sama seperti Patihan.
Tapi untuk mewujudkan mimpi seperti Vincent Rompies tentu ada syaratnya, ya. Tidak mungkin dong gaji UMR DIY ujug-ujug pengin slow living macam Vincent Rompies.
Saya tahu maksud dari slow living adalah hidup santai, tidak terburu, sederhana, dan menerima apa adanya. Tapi kita realistis saja. Biaya hidup dan harga kebutuhan pokok yang semakin melonjak naik tapi tidak dibarengi kenaikan gaji, kadang bikin stres kepala. Belum lagi kalau termakan narasi di TikTok. Misalnya slow living di Jogja sorenya jalan-jalan di Prawirotaman. Jajan di kafe yang harganya lumayan mahal, ah, sulit.
Makanya tingkat aman untuk menjalani slow living yang bener-bener slow, pemasukan kalian harus fast dan banyak. Kalau pemasukannya masih malu-malu masuk ke rekening, mending lanjut kerja keras bagai kuda.
Intinya, jangan coba-coba slow living di Sanden Bantul ala impian masyarakat urban yang tajir melintir jika gaji masih UMR DIY. Buat yang masih diupah UMR DIY, nerimo ing pandum riyen mawon nggih?
Penulis: Aliawan Ghozali Isnaen
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Nelangsa Tinggal di Sedayu Bantul, Jauh dari Mana-mana.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.