Persetan dengan kapitalisme. Tahu gitu gue dukung sosialisme, soalnya bakal lebih dihargai sama tuan gue. Jangan mentang-mentang gue murahan cuma di pasar dan toko kelontong, kalian jadi seenaknya. Gini-gini gue lebih berani ketimbang sandal branded yang kalian beli.
Hey, kalian manusia. Sekali aja imajinasikan kalau gue yang sandal Swallow ini juga teman sekaligus bodyguard kaki kalian. Coba lihat betapa hebatnya gue~
Sebelum itu kenalin dulu gue ini sandal Swallow dan panggil aja gue Swo. Yha biar kayak oppa Korea lah, namanya keren dikit. Gue ini bisa dikatakan paling loyal sama majikan. Mau dipake apa aja rela demi kesenangan dan keselamatan majikan.
Kesialan-kesialan yang sering gue alami juga demi keselamatan bersama. Gue cuma pengin, tuan tuh sedikittt aja lebih memanjakan gue. Masak si Eiger, Carvil, dan teman branded-nya aja yang dimanja dan dijaga. Sedangkan gue, dibiarin aja udah kayak anak pungut. “Beli-rusak-buang” ndasmu.
Pagi-pagi aja nih, gue udah diajak ke pasar sama ibu majikan, namanya Bu Tuti. Sampe di sana masyaAllah baunya sedap sekali—mana lumpur di mana-mana lagi. Dengan pedenya Bu Tuti jalan di keramaian pasar dengan lumpur yang bau. “Nyekk-benyekkk” suara lumpur diinjak. Gue rela tiduran jadi alas jalan Bu Tuti. meskipun badan gue jadi kotor, bau, dan berlumpur. Semua itu demi Bu Tuti mendapatkan belanjaan yang dia pengin.
Sepanjang pasar gue cuma bisa ketemu sama kloningan gue—sesama Swallow bisa disebut Swo1, Swo2, Swo3. Dah kaya monyet aja dikloning. Sumpah dua jam di pasar nemenin Bu Tuti, pengin mati rasanya nahan semuanya. Lagian ini ibu-ibu ke pasar cuma beli telur sama garam aja lama minta ampun. Tentu saja, yang buat lama adalah ngerumpi sama temen sosialitanya.
Sampai rumah, gue dicuci ala kadarnya. Lumpur masih nempel, bau pula. Terus, gue masih mengemban tugas suci, nemenin anaknya main seharian. Sebut aja Tono, periang suka bergaul. Tiap hari selepas gue dari pasar, si Tono kerjaannya main mulu, mana gue harus nemenin lagi.
Gue tuh suka heran sama teman-temannya Tono, ngajak main jauh-jauh amat, sih. Jalan ke kampung sebelah tuh nggak dekat, loh. Jauhnya minta ampun, panas aspal lebih sakit daripada panasnya omongan tetangga.
Seperti yang kalian duga seandainya sandal dipake terus-menerus tanpa henti, maka akan semakin tipis permukaannya. Apalagi sandal terbuat dari karet. “Jadi, kalau gue andaikata orang, bisa dibayangin tubuh gue setipis apa. Mungkin bisa sampai keliatan organ tunggal dalamnya.”
Ini sih belum sakit. Gue rela badan gue tipis kayak tisu cuma buat ngebahagiain Tono yang asyik main. Tapi, tolong, jangan ditambah dengan tertusuk paku di jalan, gue nggak tega kalau kaki Tono kena paku. Cukup sampai di gue aja pakunya. Meski rasanya kena paku tuh udah kayak ketembak pistol.
Siang hari, Tono pulang ke rumah untuk istirahat, makan, dan tidur siang. Gue cuma dianggurin aja di depan rumah, sementara paku yang tadi masih nyangkut di tubuh gue. Gue yang dari depan rumah dengan luka cukup parah bisa melihat betapa riangnya itu sandal branded di rak sepatu. Ini sih udah seperti ada kelas di masyarakat, ada bangsawan dan ada proletar. Dan gue termasuk proletar.
Sore hari abangnya Tono, namanya Tora, ini sadar akan kehadiran gue yang terluka dengan tusukan paku serta tipis. Ia lalu segera mencabut paku—membuangnya dan membersihkan. Gue seneng dengan akhlak baiknya si Tora.
Btw gue udah lama nemenin keluarga cendana, ya hitung-hitung udah semingguan, lah. Selagi dulu masih dibungkus rapi di toko, gue suka dapat wejangan. Sesepuh Swallow dan kloning bilang, “Eh, Swo, umur kite ini nggak panjang sebenarnye, paling-paling seminggu udah koit, atau lamaan sedikit seminggu lebih sehari. Keberadaan kita cuma dianggap sebelah mate aje,” ucap sesepuh Swallow dengan nada khas betawi.
“Loh, kok bisa? Kan kita juga sama-sama sandal. Harusnya kita juga layak dapat kasih sayang, jangan mau enaknya aja,” balas gue.
“Masalahnya kalau kita udah tipis, berlubang, putus itu udah nggak ada harapan lagi buat hidup,” balasnya.
Ingat wejangan itu, benar aja tanpa gue sadari nih Tora ternyata mau ngebunuh gue. Bawa-bawa silet, nyasat badan gue, buat kata-kata manja lah “I Love you” sebelah doang—satunya “I Love You Too”. Anjir apa-apaan sih nih Tora nyasatin kek gitu sakit. Udah tau tipis badan ini gara-gara kena aspal, masih aja disasat pakai silet.
“Hayooo, ngapain kamu Tora bawa-bawa silet, buat apa?”
Selang beberapa menit kemudian….
“Tora kamu apain tuh sandalnya?” tanya ibu.
“Kagak, Bu, Tora cuma buat tanda aja biar nggak ilang nih sandal,” dengar perkataan Tora seperti itu tenyata buat gue bahagia. Betapa sayangnya Tora ini sama gue sampai-sampai ditandai atas hak kepemilikannya.
Magrib tiba, ayah Tora pulang, sebut aja Pak Toni. Biasanya selepas ngantor Pak Toni beres diri siap-siap pergi ke masjid. Karena sudah waktu magrib, ke masjid lah Pak Toni. Lagi-lagi tinggal “slep” pakai gue. Ya, hitung-hitung nemenin tuan salat sekalian jaga di luar.
Sepanjang rakaat berlangsung, gue perhatiin kayaknya ini sandal yang dibawa ke masjid kloning gue semua. Dari Swo 2, Swo 3, Swo 4, dst. Hal serupa pernah terjadi tadi pagi di pasar. Nasib kloningan Swallow di sini kok menyedihkan—ada yang tambal sulam lehernya pake peniti, ada yang terkoyak kulitnya, bahkan ada yang terpotong setengah bagian tubuhnya. Menyedihkan sekali nih kloning gue.
Situasi makin menjadi-jadi, panik menyoalkan kehidupan yang tak kunjung usai dialami. Hujan tiba, halaman masjid banjir. Nasib sial dialami kami para bodyguard kaki alias sandal. Insiden ini menghanyutkan teman sekaligus kloningan gue ke selokan terbawa ombak hujan. Gue pun sempat terseret, tapi alhamdulillah masih bisa selamat. Ternyata, yang nahan gue dari hujan ialah sandal bakiak.
Gue sangat berterima kasih banget sama bakiak yang udah nolongin gue. Oh iya, bakiak ini temen gue satu kelas, kelas sosial ploretar. Kehidupannya flat nggak ke mana-mana, paling seneng di hidupnya cuma pas lagi event 17 Agustusan aja: Lomba balap bakiak.
Salat telah usai waktunya Pak Toni pulang ke rumah. Lantaran di luar masih hujan, banyak orang yang buru-buru pulang “wesh” suara gerakan tergesa-gesa. Semua yang dilakukan dengan terburu-buru itu tidak baik. Benar aja ternyata Pak Toni dengan acuhnya menggunakan sandal yang salah. Sengaja atau tidak sengaja, tindakan Pak Toni menyeset hati gue paling dalam. Dia memilih bodyguard yang lebih muda, sehat, dan perawan.
Tinggal gue sendiri masih di halaman masjid dengan situasi: menipis, berlubang, penuh sayatan silet. Betapa teganya keluarga cendana mecampakkan diri gue. Karena sudah tidak ada orang lagi di masjid, akhirnya malam itu juga gue dipungut sama pemulung. Besoknya jadi alas rem sepeda dengan cara memotong tubuh gue yang tipis jadi dua bagian. Tiap hari gue harus diinjak untuk menghentikan laju roda sepeda. Lantaran tubuh gue yang menipis khawatir akan mencelakakan nyawa, akhir perjalanan hidup gue berakhir di tong sampah.
Benar juga apa yang dikatakan sesepuh Swallow, umur kami nggak panjang. Paling seminggu atau paling lama seminggu lebih sehari. Usai sudah kehidupan gue yang singkat dan menyedihkan ini. Tapi, gue hidup nggak sia-sia, setidaknya bisa bermanfaat untuk tuan sekalian meskipun itu menyakitkan buat gue.
Untuk lu, sandal branded Eiger, Carvil, dan konco-koncone, nasib lu enak beruntung! Cuma ditaruh di rak sepatu. Sekali pakai tempatnya yang elite—gunung lah, mal lah, luar negeri lah. Nggak kayak gua, sial terus selaku kelas proletar.
BACA JUGA Suara dari Aktivis Sandal Swallow dan tulisan Rela Satria Utama lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.