Sampai Kapan Mau Jadi Barista?

barista

“Gantung apronmu, pensiunlah menjadi barista, dan jelajahi pekerjaan baru!”

Kalimat itu memenuhi kepala saya beberapa bulan terakhir sebelum akhirnya tekad bulat itu dibuat. Ya, setelah enam tahun menjadi seorang barista, saya memutuskan untuk berhenti.

Ada beberapa faktor yang membulatkan tekad saya, dan perlu digarisbawahi bahwa gaji sebagai barista tidak menjadi faktor sama sekali kenapa saya memilih berhenti. Jika ditanya apakah gaji barista cukup untuk hidup, jawabannya adalah tergantung di kedai kopi mana barista itu bekerja. Menjadi barista di Starbucks tentu saja sangat bisa untuk dijadikan pegangan hidup. Pun beberapa kenalan saya yang memang niat untuk berduit banyak dengan menjadi barista, sanggup memberanikan diri bekerja di luar negeri seperti Kuwait maupun Dubai. Lantas jika gaji bukan menjadi alasan, kenapa saya berhenti?

Salah satu alasan yang mungkin akan menjadi kontroversi dari saya adalah terkait passion. Ya, itu adalah kata yang paling seksi selama beberapa tahun terakhir ini. Saya memiliki pandangan bahwa passion sangat berhubungan dengan emosi, dan emosi seseorang bisa berubah dari waktu ke waktu. Itu benar-benar terbukti pada diri saya, yang sejauh ini ternyata telah memiliki passion yang berganti seiring perjalanan hidup.

Semasa kuliah di bidang Sistem Informasi, passion saya adalah ngoding. Saya bakal betah ngoding dari pagi sampai malam tanpa henti demi membuat program. Pada waktu itu, saya merasa menjadi programmer adalah masa depan saya, toh terbukti dari beberapa proyek menghasilkan duit yang saya kerjakan di masa lalu. Sampai akhirnya, saya tertarik dengan dunia kopi. Mendalami dunia kopi membuat saya menemukan adrenalin baru. Ternyata saya baru menyadari, bahwa selain ngoding, saya juga menyukai membuat kopi dan segala seluk beluk tentangnya. Itulah awal mula saya terjun ke dunia barista dan sedikit demi sedikit melupakan passion saya terkait pemrograman. Pada saat itu, saya merasa menjadi barista adalah masa depan menjanjikan untuk saya.

Pada masanya, saya adalah barista yang sangat idealis. Yah, semacam tipe barista yang bakal dihujat warga Twitter karena ngotot kopi harus diminum tanpa gula. Bertahun-tahun saya menjadi tipe orang semenyebalkan itu, sampai akhirnya perubahan industri kopi menampar wajah saya keras-keras. Di Jogja khususnya, tren kedai kopi berubah dari yang dulu sebagian besar mengusung konsep manual brewing, menjadi konsep industrial yang mengedepankan kopi susu ala-ala. Tidak bisa lagi saya ngotot ngopi harus tanpa gula. Seiring waktu, saya berubah menjadi barista yang—mungkin—lebih bijaksana.

Akan tetapi idealisme itu masih ada. Saya tetap ngotot bahwa saya bisa menjadi barista sampai umur tiga puluhan atau bahkan sampai tua sekalipun. Ya, saya akan terus menggeluti passion saya tersebut. Barangkali beberapa orang kagum dengan saya, menganggap bahwa saya adalah orang yang sungguh memaknai hidup dan menikmati pekerjaan. Ya, saya pada masa itu memang demikian. Bahkan, saya pernah menjawab ketika ditanya, “Apabila semua pekerjaan memiliki gaji sama, kamu mau menjadi apa?” dan tentu saja jawaban saya adalah menjadi barista.

Dengan kecintaan luar biasa itu pula, saya pernah dengan tegas menolak untuk mengambil jabatan lain yang lebih bergengsi dan bergaji tinggi di kedai kopi tempat saya bekerja. Alasan saya adalah karena memang cinta menjadi barista. Padahal setelah saya pikir saat ini, dulu saya hanya terlampau nyaman dengan keadaan dan terlalu dungu mengerjakan hal yang belum pernah saya coba.

Dengan segenap kecintaan yang saya miliki, pertanyaan kapan saya akan berhenti menjadi barista rasanya tidak akan pernah terjawab. Sampai akhirnya, seiring berjalannya waktu, saya menemukan hal lain untuk dikerjakan, dan saya menyukainya. Hal itu adalah menulis, entah berbentuk esai ngawur seperti di Terminal Mojok atau berbentuk liputan feature untuk rubrik SUSUL di Mojok. Lucunya, menulis adalah kawan lama bagi saya yang sempat terlupakan ketika saya menggeluti dunia pemrograman. Bedanya, jika saya dulu menulis fiksi yang lumayan oke karena berhasil menerbitkan dua novel di sebuah penerbit ternama, kali ini saya justru menulis nonfiksi.

Passion saya terbagi, antara menjadi barista, atau menjadi seorang penulis. Ditambah, saya juga mulai merintis media kecil-kecilan yang juga sudah menghasilkan uang lumayan banyak sehingga saya bisa membeli sekitar 10 koin BNB di harga 7 jutaan. Keduanya menyenangkan, antara menjadi barista maupun penulis. Pun keduanya sama-sama menghasilkan uang yang lebih dari cukup untuk hidup. Sampai pada akhirnya saya tidak bisa lagi menjalani dua kehidupan sekaligus. Passion saya menjadi lebih condong ke menulis. Pun pikir saya, waktu enam tahun sudah lebih dari cukup untuk menekuni apa yang saya senangi menjadi barista. Pada titik itu, ketika passion saya lebih berat ke aktivitas menulis, saya memutuskan untuk melepas pekerjaan sebagai barista.

Barangkali apa yang saya tulis di atas tadi adalah alasan yang susah relate dengan sebagian besar orang yang berprofesi sebagai barista. Alasan saya terlampau personal. Akan tetapi itu hanya alasan pertama saya. Saya memiliki alasan lain, yang barangkali bisa relate dengan sebagian besar barista di negeri ini. Alasan itu adalah, jika saya terus menjadi barista, di mana saya akan berakhir?

Saya sudah berumur 27 tahun, dan jika sewaktu-waktu kedai kopi tempat saya bekerja bangkrut, harus berpindah ke kedai kopi lain. Kalau idealisme masih mampu membuat saya bertahan, maka usia adalah tembok tinggi penghalang idealisme tersebut. Rasional saja, sebagian besar kedai kopi pasti hanya menerima barista yang usia maksimalnya 25 tahun. Ada beberapa yang masih menerima usia 27 tahun, tetapi hanya bisa dihitung dengan jari. Lebih sedikit lagi yang menerima sampai usia maksimal 30 tahun. Dan lucunya, semakin dewasa seseorang, ekspektasi pendapatan juga wajarnya akan meningkat, sementara berapa dari kedai kopi yang menerima barista maksimal usia 30 tahun yang mau menggaji layak? Jawabannya bisa saja mendekati nol.

Saya bisa saja bekerja menjadi barista sampai usia 30-an atau bahkan lebih jika saja kedai kopi tempat saya bekerja bakal bertahan selamanya. Nyatanya, hanya sedikit kedai kopi yang bisa bertahan lebih dari lima tahun. Maka, kalau saya nekat menjadi barista sampai usia 30-an dan kedai kopinya bangkrut, bagaimana nasib idealisme saya tadi?

Sebagian barista pasti menyadari apa yang saya bahas barusan. Beberapa dari mereka, bahkan saya juga dulu, pasti berandai-andai untuk memiliki kedai kopinya sendiri, sehingga bebas menjadi barista sampai lansia. Ya, jagalah impian untuk membuka kedai kopi tersebut. Lupakan bahwa untuk membuka kedai kopi itu butuh duit banyak. Sangat banyak jika mau bersaing di Jogja. Sangat banyak jika kita hanya barista medioker yang nggak dikenal dan sok-sokan mau buka kedai kopi. Sangat banyak jika mau bertahan lebih dari dua tahun. Intinya, mau bikin kedai kopi itu siap-siap saja duitnya nggak balik karena keburu bangkrut dan bubar jalan. Perlu dipahami bahwa pandai membuat kopi nggak lantas membuat kita pandai berbisnis kopi.

Maka dari itu, untuk orang seperti saya, menjadi barista sampai di atas usia 30 tahun bukanlah pilihan. Terlalu banyak hal buruk yang bakal terjadi. Ah, beberapa orang akan menganggap saya sebagai pesimistis dan terlalu mengkhawatirkan masa depan, tetapi biarlah, toh saya lebih mengkhawatirkan masa depan dan mencari antisipasinya daripada terbuai idealisme semu.

Bagi sebagian barista yang usianya sudah 25 ke atas, barangkali berhenti dan mulai bekerja sesuai ijazah S1 masing-masing mungkin akan dilakukan. Mas-mas barista gondrong bakal memotong rambut mereka dan melamar di perusahaan-perusahaan yang lebih menjanjikan untuk masa depan, menggantung apron mereka dan hanya sesekali di akhir pekan kembali ke kedai kopi. Bukan untuk bekerja, namun sebatas untuk melepas penat dari rutinitas pekerjaan kantor. Sayangnya, saya bukanlah tipe mas-mas seperti itu. Silakan anggap saya bodoh, tetapi bekerja di kantor dengan jam kerja tetap dan rutinitas itu-itu saja tampak sangat mengerikan bagi saya.

Saya tidak bisa dikekang. Atau, saya merasa tidak bisa dikekang. Mungkin itu juga kesalahan saya lainnya, bahwa saya terlalu mementingkan ego dalam hal mencari uang. Bahwa saya terlalu khawatir merasa tidak nyaman jika mengerjakan apa yang saya tidak sukai. Maka dari itu menjadi jurnalis lepas sekaligus mengurus media yang saya rintis menjadi pilihan yang sangat menyenangkan untuk dijalani.

Kalau suatu saat saya mendadak kehilangan minat menjadi jurnalis, setidaknya saya masih memiliki media yang saya rintis. Kalau kemudian ditanya apa jadinya jika media yang saya rintis bangkrut? Well, harusnya itu masih terjadi lima tahunan lagi mengingat saya lumayan mempersiapkan keuangan untuk bisnis tersebut. Dan jika itu terjadi, harusnya 10 koin BNB yang saya miliki sudah berada di harga puluhan juta, syukur-syukur kalau ratusan juta. Kalau nggak gimana? Well, saya masih bisa hidup menjadi programmer lepas yang menawarkan jasa di Fiverr atau semacamnya.

Tetapi, kembali harus diingat bahwa semua itu adalah sudut pandang saya. Saya menemukan exit point sebagai seorang barista, dan itu bukanlah hal terpenting untuk kalian semua, terutama para barista. Hal terpenting untuk kalian semua renungkan adalah sama seperti judul artikel ini, yaitu sampai kapan mau menjadi barista? Selamanya? Well, selamat berjuang.

Sumber Gambar: Pixabay

Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version