Sebuah pusaka kuliner sambal terasi “bersembunyi” di samping UIN Jakarta, tepatnya di warung tenda Pak Kumis. Sambalnya sungguh bikin kangen.
Jika sebelumnya saya turun dari Transjakarta di Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah atau UIN Jakarta, langsung masuk ke dalam gang, hanya berjalan beberapa langkah saja, saya sudah sampai di kosan. Kali ini saya harus menyebrang Jalan Ir. H. Juanda Ciputat, jalan yang terkenal dengan kemacetannya yang padat merayap di kala jam-jam sibuk. Lalu menyusuri Jalan Pesanggrahan untuk sampai di kosan baru saya yang terletak di Gang Solo.
Jalan Pesanggrahan merupakan jalan kecil di samping Kampus 1 UIN Jakarta, hanya dipisahkan oleh tembok. Meskipun jalan kecil, tetapi nyatanya Jalan Pesanggrahan merupakan surganya kuliner bagi mahasiswa. Berbagai macam jajanan yang tidak ada di dalam kampus, tersedia di sini. Tentu saja dengan harga yang ramah di kantong. Tak melulu soal kuliner, di Jalan Pesanggrahan juga terdapat banyak warung fotokopi.
Terdapat sebuah pintu kecil yang menghubungkan antara kampus dengan Jalan Pesanggrahan, pintu tersebut diberi nama “Pintu Doraemon”. Sampai sekarang tidak ada yang tahu pasti perihal asal nama pintu tersebut. Tetapi, banyak mahasiswa meyakini bahwa nama tersebut diambil dari fungsinya yang menghubungkan antara bagian dalam dengan luar kampus.
Daftar Isi
Pak Kumis di samping UIN Jakarta
Hari itu, Senin (13/3/2023) saya dari Pasar Senen Jakarta Pusat, ada keperluan di sana. Saya berjalan cepat menelusuri Jalan Pesanggrahan.
Perjalanan dari Pasar Senen menuju Ciputat memakan waktu lama. Belum lagi kemacetan yang menyertai. Sudah begitu, di sepanjang perjalanan dengan Transjakarta, saya berdiri. Maka tidak mengherankan apabila perut keroncongan meminta untuk segera diisi.
Meskipun perut meminta untuk segera diisi, tetapi nyatanya kuliner di Jalan Pesanggrahan tak menggugah selera. Hingga kemudian saya melewati sebuah tenda sederhana di UIN Jakarta bertuliskan “Pak Kumis”. Aneka nasi goreng, ayam geprek, lele geprek, tahu, tempe, ampela ati tersedia di sana. Jika menengok ke ujung banner sebelah kanan atas, ada kertas A4 berlaminating bertuliskan “Paket Rp10.000 Ayam Geprek Nasi+Lalap Sambel”.
Saya memesan paket 10 ribu dengan menu telur dadar dan sate usus. Untuk minumnya, saya memesan air putih. Dan, saya terpukau dengan sambal terasi racikan warung tersebut. Sejak saat itu saya menjadi pelanggan setia warung tersebut. Bisa dikatakan setiap malam saya selalu datang ke warung tersebut. Tetangga kosan saya Dody (34), Masruri (36), Rijal (36), Ahdi (24) juga sering ikut nitip.
“Masnya mahasiswa baru?” Tanya Ibu Purwanti.
“Nggak, Bu, Saya sudah lama di Ciputat, sudah hampir 4 tahun. Dulu ngekosnya di Gang Haji Nipan, di seberang jalan raya. Baru beberapa hari saya pindah di Gang Solo.”
“Ohh, pantesan. Belum pernah lihat sebelumnya.”
Pemilik warung ajaib di UIN Jakarta itu
Pemilik warung tersebut adalah sepasang suami istri. Suami bernama Pak Herman (57), asli Pemalang. Sementara sang istri bernama Ibu Purwanti (58) aslinya dari Wonogiri. Tidak ada karyawan yang membantu, tapi mereka sama sekali tidak kewalahan melayani pembeli. Pak Herman bertugas di penggorengan dan Ibu Purwanti bertugas melayani pembeli.
Ciri khas yang melekat pada Pak Herman adalah berkumis dan berkacamata. Ibu Purwanti berambut poni pendek, raut wajah ramah terlihat jelas. Saya menduga penamaan Pak Kumis, diambil dari ciri khas berkumis, dan setelah saya konfirmasi ternyata memang benar demikian. Dan saya rasa, sambal terasi mereka adalah ciri khas yang tidak akan kamu temukan di warung lain.
Berawal dari nasi goreng
Malam itu (Senin, 31/7/2023) suasana Ciputat tidak panas seperti biasanya. Azan Magrib juga baru berkumandang. Tetangga kosan, Rijal (36), seperti biasa berkata di depan pintu “Nitip dong,” lalu saya menjawab “Sabarlah, salat dulu.” Sebuah kode untuk melarisi Pak Kumis dan sambal terasi di samping UIN Jakarta.
Meminjam motor Beat hitam milik Masruri, saya melaju dari kosan menuju Pak Kumis di samping UIN Jakarta. Lalu-lalang kendaraan di Jalan Pesanggrahan kali ini tidak seramai biasanya. Maklum, sedang libur kuliah. Perlu diketahui, di malam hari, beberapa titik di Jalan Pesanggrahan memang gelap. Lampu jalan nyalanya tidak seberapa.
Sesampainya di Pak Kumis, saya langsung disambut oleh Pak Herman yang sedang menggoreng ayam. Ibu Purwanti sedang menata nasi dan ayam di piring untuk muda-mudi. Sementara, itu 5 orang yang sepertinya rombongan, baru saja meninggalkan tenda.
“Sabtu nggak jualan, Pak?”
“Iya, kemarin lagi benerin meja.”
Saya memesan paket ayam 10 ribu, ayam 10 ribu tambah tahu tempe, telur dan ati dengan tambahan tahu. Cekatan, Pak Herman langsung menggoreng pesanan saya. Sementara itu, Ibu Purwanti menyiapkan nasi, lalapan, dan sambal terasi. Setelah lauk selesai digoreng, Ibu Purwanti menatanya. Sembari menunggu pesanan siap, saya mengobrol dengan Pak Herman.
Pak Herman bercerita bahwa sebelumnya hanya menjual nasi goreng. Lokasinya hanya beberapa langkah dari warungnya saat ini, masih dekat UIN Jakarta. Pada 2015, bermodalkan nekad, dia memberanikan diri untuk membuka warung tenda dengan beragam pilihan menu.
“Sebelumnya saya berjualan nasi goreng sejak 1991. Saat itu harganya 500 perak. Pada 2015, saya memberanikan diri untuk membuka warung tenda dengan beragam pilihan warna,” ujarnya.
Keinginan untuk mendirikan warung tenda sebenarnya sudah sejak lama dia impikan. Namun, saat itu, dia belum berani mewujudkan. Warung tenda pasti membutuhkan modal yang tidak sedikit dan harus memiliki karyawan. Akhirnya, dengan modal nekat, dia memberanikan diri untuk membuka warung tenda dibantu istrinya di samping UIN Jakarta.
“Dulu, pas awal-awal, pernah ngajak 2 orang untuk bantu-bantu, tetapi cuma bertahan 2 hari saja, nggak betah. Sampai sekarang, cuma dibantu sama istri,” imbuhnya.
Menu favorit: sambal terasi
Ada berbagai macam pilihan menu di Pak Kumis samping UIN Jakarta. pilihan paket 10 ribu yaitu nasi ayam geprek, nasi ati ampela+tahu, nasi telor dadar+kepala ayam, nasi telur dadar+sate usus.
Kemudian, ada menu nasi goreng dengan harga mulai dari Rp14 ribu sampai Rp18 ribu, kwetiau goreng Rp14 ribu, lele+nasi Rp15 ribu, dan lain sebagainya. Kemudian ada berbagai jenis minuman tersedia, ada teh, kopi, susu, Nutrisari. Untuk air putih dan teh tawar hangat, gratis saja dan bisa minum sepuasnya.
“Kebanyakan yang beli mahasiswa, tetapi kalau sekarang karena libur, mahasiswa yang beli nggak banyak. Yang menjadi menu favorit mahasiswa itu telur sama sate telur tahu. Orang itu pada suka dengan rasa sambalnya. Kalau sehari itu 12 liter nasi, ayam kadang 5 atau 7 ekor,” terangnya.
Pak Kumis memasang harga murah untuk membantu mahasiswa. “Kalau mahasiswa kan tahu sendiri dari orang tua, ini kan lingkungan mahasiswa jadi standarlah harganya, jadi jangan mahal-mahal. Saya dari dulu nggak mahal-mahal, soalnya kan mahasiswa tahu sendiri kiriman dari orang tua, belum cari duit sendiri istilahnya, masih mengandalkan orang tua,” ujarnya.
Warung tersebut buka dari pukul 5 sore hingga 10 malam setiap hari, kecuali Minggu. “Hari Ahad libur, capek, istirahat,” tutur Ibu Purwanti.
Rasa sambal terasi yang tertinggal di samping UIN Jakarta
Awalnya saya mengira tampilan dan rasa sambal mirip sambal khas Lamongan. Ternyata dugaan saya salah. Setelah saya cicipi, rasanya berbeda. Lidah Jawa Tengah saya rasanya tidak asing dengan sambal tersebut. Mirip sambal rumahan, perpaduan cabe, terasi, tomat, terasa sangat pas.
“Ayam, tahu, tempe sama saja, tetapi sambalnya yang berbeda, kami tetap menjaga kualitasnya, walaupun cabe mahal, tomat mahal, takaran sambal tidak ada yang dirubah, pernah tomat itu kilo harganya Rp18 ribu, tetapi takaran harus tetap. Tadi ada 2 rombongan datang ke sini, pertama 6 orang, kedua 5 orang, dulu mahasiswa sering makan di sini, katanya tadi kangen dengan sambalnya, pesan telur,” kata Pak Kumis.
Seorang pelanggan bernama Ahdi Nadhiva (24) mengatakan bahwa yang membedakan Pak Kumis dengan warung lainnya adalah dari segi harga dan rasa sambal.
“Rp10 ribu itu kalau dibandingkan dengan makanan-makanan di warung lain itu belum dapat. Istilahnya komposisi lauk semewah itu dengan rasa seenak itu. Soal harga sangat terjangkau dan sangat membantu buat teman-teman, setidaknya kita bisa menyisihkan uang Rp10 ribu buat makan itu,” ujarnya.
“Sambal terasi mereka itu rasanya cocok buat di mulut, rasanya lebih ke rasa pedas asam, mengingatkan saya pada warung yang ada di depan rumah saya,” ungkap Ahdi. Hal senada juga diungkapkan oleh Rijal (36). Cita rasa sambalnya sangat enak dan rasanya pas di mulut.
“Menurut saya rasanya itu nggak terlalu asin, nggak terlalu pedas, paslah rasanya. Sambal Pak Kumis punya ciri khas yang berbeda dengan sambal-sambal lain, itu yang membedakan. Kemudian untuk harganya terjangkau banget bagi mahasiswa, apalagi bagi saya pekerja harga segitu murah banget,” ujarnya.
Bagi mahasiswa dan kaum pekerja, terkadang, kebahagian mereka terasa sangat sederhana. Bagi kami, menemukan warung makan yang enak dan bersahabat saja sudah berkah tersendiri. Dengan begitu, segala rasa yang dihidangkan, akan menjadi awet dalam ingatan. Seperti Pak Kumis di samping UIN Jakarta dan sambalnya yang sungguh magis.
Penulis: Malik Ibnu Zaman
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 4 Rekomendasi Tempat Makan Portugal di Sekitar UIN Jakarta