Setiap orang yang hidup di kota-kota besar sangat akrab sekali dengan cuitan itu. Safety Can Be Fun, serupa mantra melakukan hal sebebas-bebasnya untuk kebutuhan biologis secara aman. Itulah jargon jualan pengaman bagi kita untuk gitu-gituan dengan doi. Namun apakah tidak ada cerita di balik itu? Mari kita coba belajar mengurai.
Kemarin teman saya gabut banget, semua terasa hambar dan seperti menunggu kematian menjemput. Semua anak muda pasti merasakan hal begituan ketika realita jungkir balik dari yang pernah dibayangkan, atau paling tidak sedang mengalami kesunyian hidup dan di koyak-koyak sepi. Nah, karena dia gabut, ia hanya ingin berkunjung ke Sarkem (red: Pasar Kembang).
Di malam bulan puasa ke Pasar Kembang? Ya biasa aja sih—tapi saat ia memintaku menemaninya, saya membayangkan semua orang lagi curi-curi waktu untuk mendekat dengan Tuhan dan ia malah menjauh. Aku pikir ia terlampau cari perhatian dengan-Nya. Beberapa menit kemudian sampailah kami di sana setelah sempat muter-muter karena mau masuk pintu yang mana—bingung.
Setelah ketemu, kita lewat pintu barat, kami masuk ke gang yang akrab di telinga para pelancong yang berdatangan ke Kota Istimewaku. Kami berhenti di tempat pembayaran, kawanku sedikit usil bertanya.
“Saya hanya lewat mas.”
“Iya mas, harus bayar.”
“Lewat doang lo mas.”
“Iya, 5000 doang.”
Penjaga memungkasi obrolan kami dengan sibuk main Whatsapp saling kirim voicenote gitu.
Akupun ke belakang berapa centi dari loket penjaga—mengambil berapa helai tembakau yang kusiapkan kalau aku sampai gabut nanti di gang itu. Setelah kita sepakat masuk, kita berjalan di bawah lampu-lampu yang dominan warna merah. Selama berjalan aku hanya menikmati temaram lampu dan saut-sautan para perempuan yang sedang berada di dunia fantasi—realitas yang begitu lain dari kehidupan biasanya yang kami lewati sehari-hari.
Tak lupa ada beberapa pengunjung yang masuk ruangan secara tegas—juga ada yang ragu-ragu. Semua berjalan dengan kehendak diri masing-masing. Kami pun lewat cepat sekali tanpa berhenti—hanya sesekali berbicara namun jalan kembali hingga sampai di ujung gang. Tiket seharga 5.000 tidak terasa, semacam membayar tukang parkir yang hanya duduk santai di ujung parkiran dan menyuruh kita bayar 2.000.
Kemudian ingatan itu mengendap—kami juga tidak kecewa dengan peristiwa itu—karena misi kawan saya hanya berkunjung dan pulang, begitupun saya. Tapi bila di runut bagaimana orang-orang mengingat peristiwa itu jikalau gang Sarkem di tempat umum seperti lapak-lapak penjual Malioboro atau angkringan di sepanjang jalan tugu? Ingatan masa akan menghakimi kami sebagai orang yang tidak baik.
Begitulah cara masa mengingat dan menghakimi. Makanya slogan Safety Can Be Fun menjadi tawaran terbaik bagi kami yang gabut. Apalagi dengan hari ini yang semakin hari obrolan kita semakin nyaman untuk mengatakan siapapun boleh puasa dan—di waktu yang sama—juga dipersilahkan tidak berpuasa. Memang hakikat manusia bebas sebebasnya, tapi perlu juga bagimana bebas itu diartikan bebas dari atau bebas untuk yang tentu nantinya menyentuh jalan berbeda secara perspektif.
Pun dengan demikian, saya merasa berat hati saat makan siang hari di tempat terbuka. Saya sesekali tidak puasa, tapi entah mengapa untuk memamerkan diri untuk terlihat tidak puasa membuat tidak nyaman. Bukan sebagai kita yang bebas dan sedang melakukan kebebasan kita, melainkan bagaimana kita punya tepa slira (tenggang rasa) kepada orang lain.
Jadi benar mungkin ada benarnya slogan di atas, lebih baik kita main aman agar kita nyaman. Bagi saya, tidak ada enak-enaknya makan di ruang terbuka saat puasa—lebih baik sembunyi-sembunyi di dalam ruangan, halaman belakang, kamar mandi—yang intinya tidak pamer-pamer amat. Biarlah yang memilih warung makan blak-blakan itu perempuan-perempuan yang dapat tiket untuk tidak puasa.
Karena saya masih yakin betul, bagaimana orang mengingat saya gara-gara hal kecil dalam hidup saya—yang sebenarnya tidak parah betul jika diukur dari kacamata warga negara—yaitu main ke Dolly. Memang saya ke Dolly sudah lebih lama terjadi—ngopi-ngopi dulu gitu di salah satu warung pinggir jalan, dan sekarang sudah tutup—namun ingatan orang-orang terdekat saya tentang hal itu masih menempel, begitupun dengan puasa. Sudahlah, jangan sombong, puasa atau tidak puasa dirimu diukur dari seberapa kamu tenggang rasa dengan orang lain.