Saya menemukan sebuah petisi viral (sudah ditandatangani lebih dari 49 ribu orang) yang isinya adalah penolakan terhadap RUU-PKS. Dalam petisi tersebut, alasan penolakan RUU ini banyak yang terdengar sangat relijius. Mengingat pentingnya isu ini, saya pikir penting untuk menjelaskan bahwa alasan penolakan itu sangat tidak berdasar karena RUU-PKS ADALAH RUU YANG ISLAMI.
Salah satu kontra-argumen yang mendasar dari petisi itu menyatakan bahwa RUU-PKS akan melegitimasi praktik zina, dan dengan demikian tidak dapat dibenarkan secara Islami.
Respon saya terkait argumen itu adalah: Mungkin si pembuat petisi dan pendukungnya belum membaca draf rancangan RUU terkait, karena kalau mereka membacanya, maka akan jelas bahwa yang ingin dihapuskan adalah “KEKERASAN SEKSUAL”—dan MENGHAPUSKAN KEKERASAN SEKSUAL TIDAK SAMA DENGAN MELEGITIMASI ZINA.
Jadi begini, definisi zina dalam Fikih itu tergantung kepada dua aspek: Pertama, apakah ada tali legalitas? Kedua, apakah ada persetujuan kedua pihak untuk bersenggama?
Dalam hukum Islam, zina adalah senggama yang dilakukan DI LUAR 3 konteks legal (pernikahan, kumpul kebo bersama budak-budak perempuan, dan relasi seks antara pemilik dan budaknya) dengan PERSETUJUAN kedua belah pihak. Karena zina termasuk dalam pelanggaran hak-hak ketuhanan, pelakunya dihukum hadd (bisa cambuk/rajam tergantung pendapat ulama).
Tuduhan zina hanya bisa dijustifikasi melalui 4 saksi mata berintegritas tinggi yang melihat secara langsung bahwa ada penis yang memasuki vagina. Tuduhan yang tidak memenuhi prasyarat tersebut disebut sebagai Qadhf dan sang penuduh harus dihukum secara hadd juga.
Namun, dalam hukum Islam juga ada yang namanya Istikrah ‘ala al-Zina (Zina yang dipaksa). Inilah klasifikasi hukum Islam untuk berbagai bentuk kekerasan seksual, mulai dari perkosaan dan berbagai kekerasan fisik lainnya. Prinsip Istikrah ‘ala al-Zina ada dua: Pertama, sang perempuan dan laki-laki tidak berada dalam konteks hubungan legal yang dijelaskan di atas. Kedua, tidak ada persetujuan dari perempuan untuk bersenggama.
Soal hukuman, pelaku kekerasan dalam Istikrah zina dikenai dua hukuman. Hukuman pertama adalah ganti rugi kepada korban. Kedua, hukuman hadd karena dia telah melakukan zina. Korban dalam hal ini harus dilindungi dan diberi ganti rugi. Itu hukum fikih yang terbentuk dari abad ke-8 sampai abad ke-12 Masehi, tentunya tidak sempurna karena belum ada pemahaman soal HAM. Tapi, apa kita tidak malu dengan manusia-manusia di abad ke-8 yang sudah mengadvokasi soal hak-hak korban sementara kita di abad 21 malah menghukum korban?
Maka, jika pendukung dan penulis petisi itu benar-benar ingin mengikuti hukum Islam. Mereka harusnya mengikuti klasifikasi Istikrah zina yang merupakan tindakan kriminal di mata Islam.
Bagaimana dengan zina yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat? Seperti yang sudah dijelaskan, zina bisa dihukum hanya jika saksi-saksi memenuhi syarat-syarat di atas. Dengan demikian, razia di hotel-hotel atau kost-kostan tidak memenuhi syarat-syarat kesaksian itu dan digolongkan sebagai Qadhf.
Dengan kata lain, justru mereka yang melakukan razia zina lah yang harus dihukum secara hadd. Selama Anda tidak melihat hubungan organ intim secara langsung, dan selama integritas moral Anda sendiri sebagai “saksi” tidak terbukti baik, maka Anda lah yang harus dihukum.
Lalu bagaimana soal perkosaan dalam pernikahan? Di sinilah fikih tidak bisa memberi jawaban karen fikih yang masih digunakan hingga saat ini adalah produk hukum suatu era di mana perempuan secara literal merupakan anggota masyarakat kelas dua. Namun, fikih juga memiliki mekanisme untuk menjawab tantangan zaman. Melalui Ijtihad, bahtsul masa’il, qiyas, dsb. Fikih dapat berevolusi sesuai dengan permasalahan yang muncul di konteks dan era tertentu.
Evolusi fikih untuk melindungi perempuan dalam konteks domestik harus dilakukan karena hal itu merupakan prinsip Qur’ani juga. Hubungan domestik dalam al-Qur’an dijelaskan dalam prinsip saling menyayangi dan melindungi.
Beberapa hadis juga menyebutkan tindakan Nabi yang melindungi perempuan-perempuan yang menjadi korban KDRT. Bahkan dalam satu hadis, Nabi mengizinkan seorang perempuan untuk bercerai dari suaminya karena pernikahannya dilakukan tidak atas kehendak sang perempuan.
Intinya, RUU PKS adalah hal yang sangat Islami karena “Kekerasan seksual sebagai aksi kriminal” sejalan dengan prinsip Istikrah zina dalam fikih. Pun, perlindungan hak-hak perempuan selaras dengan pesan-pesan Qur’ani, dan perilaku Nabi dalam sirah dan hadis. Lalu siapa di sini yang tidak Islami? Ya mereka yang menentangnya.
BACA JUGA Menjawab Release KAMMI Pusat yang Menolak RUU PKS atau tulisan Laily Fitry lainnya. Follow Twitter Laily Fitry.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.