Selera musik, kok, diperdebatkan? Ya, mau gimana lagi kita hidup di dunia yang penuh debat, debat, debat. Apalagi dengan adanya media sosial. Salah satu kaum yang pada akhirnya dibenci tersebut ialah kaum music snob. Singkatnya, kaum music snob ini selalu merasa musik mereka lebih tinggi kastanya dibanding penikmat musik lain, walau kadang soal referensi belum banyak juga. Tapi, judge mereka sering memancing keributan di dunia maya.
Kaum snob kebanyakan berkutat pada musik edgy. Kalau kata Hai Magazine, kaum edgy ini kaum yang merasa seleranya paling anti mainstream. Walau kata Fico di final SUCI 3 silam, “Bro anti mainstream itu udah mainstream bro,” heuheu. Tapi gitulah perdebatan soal selera, kalau men-jugde selera orang dikata snob, kritis dibilang elitis, menikmati musik pop mainstream dibilang nggak punya selera. Perdebatan semacam ini bahkan sampai hari ini masih sering saya temui di beragam media sosial. Parahnya, kadang perdebatan semacam ini turut membawa si pelaku seninya, bukan cuma si oknumnya. Katakanlah Bhaskara .Feast alias Hindia yang saat ini sering dicap, “Tuhannya anak edgy,” parah.
Namun, perdebatan antara sesama penikmat hingga menjurus ke pelakunya sendiri masih kalah seru dibanding persaingan selera musik Jawa. Seperti halnya persaingan musik mainstream, persaingan antar pendengar musik Jawa kadang juga dipengaruhi persaingan lintas generasi. Kalau kata Bryan Barcelona di Podcast Bergumam, musik jawa sendiri dibagi 4 zaman, yaitu keroncong, campursari, koplo, hingga pop Jawa.
Saya sendiri besar melewati tiga zaman tersebut: campursari, koplo, dan terakhir pop Jawa. Dan tentu masih merasakan sisa-sisa musik keroncong dari para tetua yang masih tersisa. Artinya, saya melewati tiga masa ditambah sisa-sisa nafas musik lawas. Soal rivalitas, penikmat musik Jawa tidak seperti perdebatan musik mainstream yang lebih berkutat pada dunia maya, persaingan mereka persaingan nyata. Rivalitas tersebut telinga dibalas telinga, melalui speaker yang diputar kencang-kencang.
Saya yang lahir dan besar di desa dengan kultur musik Jawa yang kental, tentu merasakan imbas persaingan ini. Belum lagi jika tetangga berbeda generasi, persaingan keempat sub-genre tersebut akan terasa keras. Persaingan tersebut bahkan sudah dimulai semenjak matahari masih malu-malu di timur, speaker kencang adalah fase selanjutnya bebunyian di desa setelah ayam berkokok.
Saya memiliki tetangga yang menguasai speaker di rumah mereka masing-masing dengan generasi yang berbeda. Tetangga sebelah kiri besar di masa-masa kejayaan musik koplo, tetangga depan rumah yang lebih tua menggemari campursari, dan tetangga sebelah kiri yang masih SMP melawan dengan musik pop Jawa ala Denny Caknan. Belum lagi dari kejauhan terdengar sayup-sayup musik keroncong dari kakek yang muda di masa musik tersebut. Tidak ada yang lebih pelan, semuanya kencang, saya sampai bingung harus memihak ke mana. Atau kadang ketika bapak saya turut ikut dalam persaingan, mau tidak mau saya terkungkung dalam selera bapak saya.
Sentimen antar generasi jelas ada, bagi si muda, musik-musik keroncong dan campursari bikin ngantuk, “Halah-halah, lagune marai ngantuk” kata si muda. Pun bagi si tua, musik-musik baru dianggap kurang nyeni, atau dianggap melanggar pakem lama Jawa. Persaingan semacam ini juga terjadi dalam lingkupan “seatap”. Seperti warung mi ayam di depan kos, yang kebetulan dikelola oleh dua generasi yang berbeda. Si mas mi ayam selalu tampak lesu ketika si bapak memutar lagu-lagu Jawa lawas. Kemudian, ketika si bapak bosan, sang anak membalas dengan musik woyo-woyonya, barulah si mas mi ayam tampak lebih bersemangat, dan si bapak tampak sedikit sinis.
Lebih seru lagi jika persaingan dilakukan oleh generasi yang sama, pasti ada satu orang yang berusaha mencekoki temannya dengan musik kesukaannya. Dari sinilah si penikmat dengan speaker anti nyeprek menang. Lebih lagi, saya jarang menyaksikan penikmat musik Jawa memutar lagunya melalui earphone. Mau di pos, di rumah, pokoknya kudu kenceng. Persaingan lebih seru ketika ada acara semacam lomba 17-an, di mana speaker milik karang taruna pasti diperebutkan oleh banyak orang. Lebih gila lagi, teman saya pernah punya ide untuk beli seperangkat sound system dan memutarnya kencang-kencang agar sekampung turut mengikuti selera koplonya, lebih spesifik OM New Pallapa dengan ketipung khas Cak Met-nya.
Rivalitas antar penikmat musik Jawa memang keras, tapi yang patut diacungi jempol persaingan mereka fair. Kalau tidak mau kalah, ya harus beli seperangkat speaker untuk ikut persaingan. Telinga dibalas telinga, tanpa perlu berkoar panjang di media sosial.
BACA JUGA Dari ‘Buka Sitik Jos!’ hingga ‘Semongko’: Senggakan Adalah Unsur Penting Dangdut Koplo Jawa dan tulisan Dicky Setyawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.