Menjadi orang tua zaman sekarang ini memang lah banyak tuntutan. Selain dituntut memahami ilmu pengasuhan, orang tua juga dituntut untuk paham ilmu kesehatan anak. Mengapa?
Di masa pandemi ini (atau pascapandemi?) tantangan seputar kesehatan anak meningkat. Contohnya anak saya, dalam satu semester ini sekolah tatap muka dan sudah beberapa kali ia batuk pilek, beberapa kali demam. Padahal sebelumnya dia termasuk yang jarang sakit. Dan saya yakin banyak orang tua di luar sana mengalami yang sama.
Lebih greget lagi, batuk pilek di masa ini bisa berlangsung lebih lama dibanding dulu-dulu. Jika dulu seminggu dua minggu sudah sembuh, sekarang bisa sampai tiga minggu bahkan sebulan. Duh! Kalau kita benar-benar buta soal kesehatan anak, bisa berkali-kali lipat pusing dan paniknya.
Karena itu, tuntutan untuk memahami ilmu kesehatan anak menjadi semakin penting. Supaya orang tua tidak panikan dan bisa memberi tindakan yang tepat.
Akan tetapi, setelah memahaminya pun tak lantas lancar-lancar saja pemirsa. Ada beberapa risiko yang sangat mungkin dialami oleh orang tua ketika ingin bertindak sesuai teori seputar kesehatan anak. Apa saja risikonya? Monggo disimak biar nggak kaget.
#1 Dibilang sok tahu
Begini, ketika anak sakit batuk dan pilek, sering kali tidak perlu obat. Mengapa? Karena batuk dan pilek yang merupakan common cold itu bisa sembuh sendiri. Antibodi si anak yang akan mengalahkan si virus. Ini hanya masalah waktu, banyak minum, dan istirahat. Sayangnya, ketika Anda menjelaskan seperti itu kepada orang lain, dan Anda bukanlah dokter, sangat mungkin Anda akan dicap “sok tahu”.
#2 Dibilang tidak peduli/sayang anak
Setelah dibilang sok tahu, Anda juga mungkin akan dicap tidak peduli pada anak. “Anaknya sakit, kok nggak diobatin. Kasian anaknya batuk-batuk gitu.” Ucapan semacam itu mungkin terlontar dari orang yang merasa paling peduli pada anak. Dan tentu saja kepedulian itu patut kita hargai. Tetapi, kepedulian tanpa dibarengi ilmu yang benar, ya bisa membahayakan–dan menyebalkan.
#3 Konflik dengan pasangan
Nah, ini bisa jadi risiko yang paling bikin pegel hati kita. Mengapa bisa memicu konflik dengan pasangan? Terkadang, kita memahami sesuatu yang baru, dan pasangan kita (suami/istri) belum paham, dan dikasih tahu pun tidak kunjung paham. Maka buntutnya jelas bisa jadi pertengkaran.
Contoh sederhana, ketika membawa anak ke dokter, kita memahami bahwa dokter tidak selalu memberi obat. Jika memang dirasa tidak perlu obat, tidak diberi resep obat. Namun, pasangan kita rupanya masih punya mindset kalau habis dari dokter ya harus dapat obat, baru bisa sembuh. Inilah mindset yang perlu “diobati”.
Lain cerita kalau pasangan tertanya tipe yang “terserah kamu saja, kamu yang lebih paham”, nah, ini tidak jadi tengkar, tapi jadi agak sebel saja.
#4 Diceramahi orang tua
Konflik bisa terjadi tidak hanya dengan pasangan, tetapi juga dengan orang tua kita (termasuk mertua). Ini malah lebih ruwet. Pasalnya, orang tua kita punya pengalaman membesarkan anak dengan caranya sendiri yang menurutnya terbaik. Jadi, ketika kita membesarkan anak dengan cara yang berbeda, maka siap-siaplah diceramahi.
“Ah, dulu kamu ya baru lahir langsung ibu kasih bubur, sehat-sehat aja!” seperti itu misalnya. Bagaimana merespons pernyataan itu? Well, tidak usah direspons daripada jadi durhaka. Hehehe.
Sebagai orang tua yang melek masalah kesehatan anak, kita memang perlu pandai-pandai dalam menerapkannya. Tidak grasak-grusuk, tidak harus membuat semua orang setuju atau paham dengan tindakan kita. Yang terpenting adalah anak sehat, selebihnya sudah bukan tanggung jawab kita.
Penulis: Vidiyani Utari Tampi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Stop Nyinyirin Tumbuh Kembang Anak Orang Lain, Kondisi Tiap Anak Berbeda-Beda!