Perhelatan tahun politik 2024 sebenarnya sudah dimulai dari sekarang. Para politisi berlomba-lomba mencari simpati rakyat melalui apa pun yang dirasa bisa menarik simpati. Lihat saja bagaimana Giring dengan girang menyatakan bahwa dirinya mencalonkan diri sebagai presiden 2024, padahal penentuan capres nggak bisa secepat orang lari karena kebelet berak, eh ini langsung pasang banner aja. Seolah tidak belajar dari kesalahan Cak Imin yang juga pakai strategi politik seperti itu buat nyalon di tahun 2019, eh taunya gagal juga. Soal Ridwan Kamil, nanti bakal kita bahas lebih lanjut.
Suka tidak suka, pandemi ini memang saya pikir punya tendensi untuk dijadikan panggung politik. Manusiawi atau tidak, emang sejauh amatan saya sebagai rakyat jelata, itulah yang terjadi. Tentu hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa hal, contohnya saja kok masih ada-adanya media yang berbondong-bondong untuk melakukan survei soal elektabilitas calon-calon yang digadang-gadang bakal nyapres, maksudnya ya nggak sekarang juga gitu, di mana nyawa lebih dipertaruhkan dibanding suara.
Begitu banyaknya pejabat yang memasang muka atau nama mereka atas bantuan untuk menanggulangi penyebaran Covid-19, memang mereka pikir dengan memasang muka dan nama bisa menangkal penyebaran ya? Ra mashoook. Dan, yang paling menjijikan tentu saja para pejabat yang berlomba “menarik simpati rakyat” dengan dalih “menekan angka penyebaran” melalui embel-embel di sosial media.
Nah, tentu saja yang paling dianggap berhasil “menekan angka penyebaran” adalah Provinsi Jawa Barat. Sebagai seorang warga Bandung yang hampir selalu mengikuti gerak-gerik Ridwan Kamil sebagai gubernur populis Jawa Barat, tindakannya ini memang seolah-olah ada keinginan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Meski nama beliau nggak masuk dalam survei sebagai orang yang punya potensi nyapres, justru dari sini kelihatan banget usahanya buat nyari simpati. Bahkan yang saya amati, beliau ini udah kelihatan mau banget jadi presiden sejak beliau jadi Wali Kota Bandung. Berikut tanda-tanda yang saya amati.
Peci sebagai simbol politik
Kita masih ingat ketika Path masih ngetrend di Indonesia, pernah ada suatu hal yang menggelitik dari salah satu penggunanya. Dalam peringatan Konferensi Asia-Afrika Ke 60, saat Jokowi bertemu dengan Kang Emil di Bandung, muncullah seorang pengguna Path yang bilang bahwa ada turis yang mengira bahwa presiden Indonesia adalah dia yang pakai peci, ganteng, mengenakan kacamata, berwibawa, dan terlihat pintar. Tentu saja hal itu merujuk pada Ridwan Kamil, bukan Jokowi, sebab Jokowi sewaktu itu tidak menggunakan peci.
Hal ini bikin saya heran, kok ya ada turis asing yang beranggapan kayak gitu? Maksudnya sebelum beliau masuk ke Indonesia nih, bukannya selalu ada muka presiden ya? Minimal ya jangan asal bicara gitu loh.
Terlepas dari pemahaman turis yang mungkin emang beneran nggak tahu, ada semacam penggiringan opini publik bahwa yang cocok jadi presiden adalah dia yang selalu menggunakan peci, terlihat pintar, dan berwibawa seperti Kang Emil. Tentu saja ini dibuat-buat untuk meraih simpati rakyat, dan ya, komentarnya lebih banyak mengarah ke sana. Mana ada yang mengaitkan Kang Emil dengan Sukarno, halaaah.
Menarik simpati kaum milenial dengan berbagai gimik
Apa yang pernah dilakukan Jokowi ketika naik motor atau bersepatu sneakers buatan lokal, juga ditiru oleh Ridwan Kamil buat meraih simpati “milenial”. Saya agak benci menggunakan term “milenial”, soalnya kayak istilah yang sering dipakai boomer. Beliau seperti berusaha untuk membuat para warganet berkomentar, “Wah presiden idaman!” atau “Nah ini nih, Presiden aing gaul pisan.”
Di beberapa kesempatan postingan juga, beliau selalu menyempatkan diri membalas komentar-komentar warganet buat sekadar guyon atau membahas hal-hal yang cukup serius, meskipun akhirnya ya guyon juga.
Identitas yang coba dibangun Ridwan Kamil ini memang mengarah ke pencalonan presiden, yang mana beliau dianggap “mendengarkan dan menjawab aspirasi rakyat” dengan berbalas komentar di Instagram. Padahal mah kan bisa aja itu cuman gimik. Lihat aja nanti kalau beliau udah nyapres atau bahkan jadi presiden gimana tabiatnya, saya yakin sih sama saja dengan presiden yang sekarang.
Menarik simpati fans K-Pop
Nah, ini sebenarnya yang paling menarik. Aktivisme dan usaha fans K-Pop dalam menaikkan tagar emang nggak usah dipertanyakan. #ReformasiDikorupsi atau #MosiTidakPercaya adalah rentetan tagar yang jadi trending di Twitter berkat bala bantuan dari para fans K-Pop.
Kebudayaan populer Korea Selatan yang sedang diminati anak-anak “milenial” punya kekuatan besar sehingga bisa naikin tagar ngalahin buzzeRp. Mereka yang bisa dibilang bakal jadi potensi suara pemula di tahun 2024 nanti, dimanfaatkan berbagai politisi, termasuk Ridwan Kamil untuk menarik simpati.
Kita tentu pernah melihat bagaimana beliau pernah joget-joget lagu K-Pop di acara Mata Najwa dengan gubernur lainnya. Coba deh tengok postingan Instagram beliau yang banyak menyinggung soal K-Pop.
Jadi saran saya sih Kang, supaya lebih bisa mendulang suara, jangan ngadain konser dangdut, datengin bintang K-Pop aja, wah dijamin menang Kang.
Menarik simpati buruh dan mahasiswa
Ini yang baru saja terjadi kemarin saat demo 8 Oktober 2020. Ridwan Kamill dianggap sebagai satu-satunya gubernur yang berdialog dengan massa aksi saat mereka berdemo menuntut penolakan UU CIiptaker.
Kalau kita cermati lebih dalam, bahasa yang digunakan Ridwan Kamil sangatlah birokratis. Dia tidak secara terang benderang menyatakan bahwa dia dan Pemprov Jabar menolak Omnibus Law, tapi dia “menerima perwakilan buruh yang menyampaikan keberatan” atas pasal di UU Cipta Kerja yang “dianggap” merugikan buruh. Ridwan Kamil juga “mengirimkan surat penyampaian aspirasi buruh”. Jadi seolah-olah dia hanya sebagai pengirim surat bukan orang yang juga turut andil dalam memutuskan kebijakan. Tukang pos juga bisa itu mah.
Kang Emil menekankan bahwa dia meminta Bapak Presiden buat menandatangani Perpu Pengganti UU tersebut. Hal ini mengingatkan saya dengan apa yang dilakukan Jokowi dan narasi yang dibangun saat beliau jadi gubernur dan mau maju nyapres. “Dengan terpilihnya Jokowi, Jakarta akan lebih mudah untuk ditata.” Dan lihat sendiri apa hasilnya? Hehehe. Nah, skema ini coba dibuat oleh Ridwan Kamil, jadi kalo pait-paitnya presiden nggak ngeluarin Perpu, otomatis dia bilang, “Itu bukan keputusan saya. Keputusan ada di tangan presiden.” Kelihatan banget kan supaya orang-orang komentar, “Wah kalau gitu Bapak aja nanti presidennya.”
Tentu saja itu menjengkelkan, apalagi melihat komentar di postingan itu yang banyaknya malah muji-muji Kang Emil dan memberi tanggapan bahwa beliau adalah pemimpin yang amanah dan cocok jadi presiden. Halaaah.
Dari tanda-tanda yang saya amati, ada kecenderungan blio nyapres sih. Meski harapan untuk memegang janji dan omongan orang yang bakal nyapres itu sukar sekali, tapi ya seandainya dia jadi presiden, setidaknya Indonesia bakal dijadiin taman yang asri.
Saya saranin sih, buat yang udah kelewat simpati sama Ridwan Kamil dengan dalih, “Setidaknya beliau berdialog dengan aksi massa.” jangan terlalu percaya-percaya amat kalau nggak mau kecewa. Jangankan politisi, manusia itu sendiri aja udah punya tabiat buat saling memanfaatkan dan membuat kecewa satu sama lain. Jadi, pilihan ada di tangan anda.
Sumber gambar: Wikimmedia Common
BACA JUGA Film ‘The Devil All the Time’, Agama dan Pergumulan Setan di Tubuh Manusia dan tulisan Ananda Bintang lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.