Apabila kita menjumpai kawan-kawan kita tertawa dengan smartphone, jangan heran, kita sedang menyaksikan betapa hebat dampak dari ‘disrupsi’, sebuah teknologi internet yang sengaja dikemas ke dalam proses produksi agar proses pengolahan barang dan jasa bisa lebih efisien, cepat, dan massal. Di situlah kita telah sampai pada gerbang raksasa bernama Revolusi Industri 4.0
Lihatlah lingkungan sekitar kita, betapa penggunaan teknologi robotik semakin menyita ruang kerja manusia, rekayasa intelektual telah mengganti tenaga pendidik yang profesional, belum lagi Internet of Things (IoT), nanoteknologi, hingga sistem yang disebut sistem komputasi awan (cloud computing) yang telah hampir sempurna merenggut peran manusia di muka bumi.
Sejarah panjang revolusi industri yang berlangsung sejak 1850 silam telah lama kita lewatkan. Sejarah berbicara, pada revolusi industri tahap pertama, produksi barang secara massal tercatat menggunakan mesin uap dan air sebagai bagian dari mekanisasi produk. Kemudian, pada tahap revolusi industri kedua, mekanisasi produksi ditekankan pada penggunaan alat-alat elektronik.
Memasuki abad 20, sampailah kita pada tahap revolusi industri yang ke tiga, sebuah keadaan yang disebut dalam lagu kasidah Nasida Ria sebagai ‘tahun mesin’ ini digambarkan berupa tahun harapan, penuh tantangan dan mencemaskan, apa-apa serba mesin, berjalan dan berlari menggunakan mesin, tidur berkawan mesin, makan dan minum dilayani mesin.
Revolusi Industri ketiga ini lebh spesifik kepada penggunaan teknologi dan otomatisasi di dalam mekanisasi produksi. Berbeda tipis dengan revolusi industri 4.0. Perbedaan itu hanya dalam hal penggunaan internet dan kecepatan produksi yang jauh lebih kencang dibanding revolusi industri ketiga. Sebuah keadaan yang menurut pencipta lagu-lagu Nasida Ria, bernama KH. Bukhari Masuri, kita sangat perlu mempersiapkan bekal ilmu dan keterampilan dan iman untuk menghadapinya.
Pada tahun 2016, World Economic Forum (WEF) mempublikasikan hasil risetnya di beberapa industri dengan judul The Future of Jobs, di sana dikatakan bahwa industri mulai beralih menggunakan rekayasa intelektual, mesin belajar (machine learning), transportasi otomatis, dan robotik sangat pintar sudah mulai mendominasi proses produksi hingga 2020 mendatang.
Sebuah pertanyaan mendasar, apakah yang menjadi target dari beberapa Industri yang disurvei oleh WEF itu? Mereka menginginkan penggunaan teknologi cloud dan mobile internet menjadi fokus model bisnis mereka di masa depan. Tak hanya itu, mereka juga merancang sebuah teknologi pemrosesan data dan penggunaan big data ke dalam proses produksi. Kelak, di sana pelaku industri akan mulai beradaptasi hingga 2025 mendatang.
Kita sedang berada di tahun 2019, itu artinya penggunakan rekayasa intelektual, machine learning, transportasi otomatis, dan robotik pintar sudah hampir 100% mendominasi kehidupan kita sehari hari. Lalu lima tahun mendatang kita akan menjadi penikmat atau korban teknologi pemrosesan data dan penggunaan big data ke dalam proses produksi.
Apakah hal ini tidak berdampak sesuatu? Lihatlah, barangkali dulu waktu kita kecil, kita bisa dengan mudah melihat bapak kita berjalan di belakang sapi atau kerbau di sawah untuk mengaduk dan meratakan tanah, berkat adanya revolusi industri yang maha dahsyat ini muncullah mesin traktor. Lihatlah ketika petani panen padi, mesin panen Combine sudah menggantikan posisi bapak, ibu dan sanak handai taulan kita yang sudah terlatih sejak kecil memanen padi, tangan lincahnya kini sudah tergantikan tangan hitam teknologi mesin.
Melihat sebagian kecil fenomena lingkungan desa di atas, bukankah hal itu menggambarkan bahwa ‘area’ perkotaan sudah lebih dulu menjadi lahan empuk para perancang revolusi industri ini? Bukankah desa adalah pertahanan terkuat sebuah bangsa? Maka, apabila masyarakat desa sudah menjadi konsumen produk revolusi industri, itu artinya racun revolusi industri telah merasuk ke sekujur tubuh sebuah bangsa.
Tanpa kita sadari, busur itu telah melesat dan menusuk jantung bangsa kita, sementara kita hanya menjadi penikmat dan pengekor belaka. Melihat pak tua tetangga kita kehilangan kerjaannya sebagai tukang ojek offline, kita justru gagap gempita menyambut ojek online.
Kita mau makan dan minim tinggal pencet tombol order, restoran-restoran semakin aneh, banyak kursi berjejer rapi tapi dipenuhi oleh manusia-manusia berseragam untuk memesankan menu orang lain. Kita semakin mudah mengetahui karakter orang lain hanya dengan melihat akun sosial media dalam fitur storynya, namun kita sendiri tak mengenali siapa diri kita sebenarnya.
Setiap perubahan pasti membawa dampak, dan kita tahu bahwa revolusi industri 4.0 bukan sekadar perubahan pola produksi semata. Tidak menutup kemungkinan permintaan tenaga kerja ahli dan keterampilan tinggi akan semakin membludak di masa depan. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tak begitu punya keterampilan? Akan menjadi penonton? Atau tergilas oleh perkembangan zaman?
Sementara revolusi industri 5.0 sudah melambaikan tangan kepada kita, peran-peran manusia berangsur tergantikan oleh kehadiran robot cerdas, tenaga kita tak ada apa-apanya dibanding tenaga robot, tangan kreatif dan kaki gesit kita telah diwakili robot, bahkan mereka bisa menjawab berbagai pertanyaan kita.
Ahlan wa sahlan revolusi industri 5.0, apakah kita akan tetap menjadi pengekor? Apakah kemanusiaan kita juga akan kalah dengan mereka? Na’udzubillah mindzalik.