Beberapa film berlatar Jogja berikut ini, begitu mudah untuk menunjukkan bahwa Jogja betul-betul romantis.
Besar di SMP 16 Yogyakarta, saya akrab sekali dengan dunia syuting film. Bukan, bukan karena jadi cast atau kru, melainkan ya nontonin artis-artis sedang syuting. Hal itu disebabkan, SMP saya terletak di jantung Jogja, tempatnya bangunan-bangunan padat sejarah, area Taman Sari, Kraton.
Jadi sudah biasa saya melihat artis yang terkenal sampai lumayan terkenal beradu akting di depan wajah saya. Banyak rumah tua nan antik dekat sekolah yang biasanya jadi langganan syuting film skala layar lebar hingga FTV yang judulnya unik-unik (contohnya, Cantik-cantik Kepergok Pakai Dana-is).
Kalau Dimas Prabu bilang Jogja itu keistimewaan dan sisi romantisnya masih diragukan, saya berani jamin bahwa Jogja itu istimewa. Ha, mbok tenan. Melalui studi observasi dan penelitian yang saya lakukan lama sekali… Satu jam, saya menemukan sisi istimewa kota ini dari beberapa film berlatar Jogja. Nggak percaya? Mari.
#1 Java Heat
Waktu saya ngepit mau pulang sekolah ke Bantul via Plengkung Gading, audio ledakan bikin saya berteriak “koko bako”. Lha gimana nggak kaget, suara ledakan itu mengingatkan saya kepada gempa. Jebul, tanpa dinyana, itu adalah rentetan syuting film Java Heat yang banyak bule-bulenya.
Pencurian permata milik Puteri Sultan, sekelompok polisi “nakal”, rentetan aksi baku tembak, chaos sepanjang jalan: kurang Jogja apalagi coba? Adegan demi adegan berlangsung menggambarkan seperti apa kata Adhitia Sofyan, “Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja.”
Yha sesuatu di Jogja-nya itu dengan apik dirangkum oleh film Java Heat. Kekerasan itu bukan sesuatu yang nggak istimewa. Daerah manalagi yang menyediakan kesempatan kepada warganya untuk deg-degan tiap keluar malam?
Klitih saja sangat diperhitungkan, sampai-sampai Java Heat layaknya sebuah ramalan, jika kekerasan jalanan ini nggak segera ditindak, pada akhirnya Jogja ketika malam ya penuh dengan baku tembak. Los Santos saja barangkali kalah gayeng ketimbang Jogja ketika malam.
Kata siapa UMR Jogja rendah? Enak saja. Coba lihat film Java Heat, deh. Lihat saja betapa makmurnya warga Jogja sampai-sampai berlian milik Puteri Sultan (Atiqah Hasiholan) saja ada yang mencuri.
Kata siapa Jogja itu penuh dengan ketimpangan? Lihat kehidupan Atiqah yang berperan ciamik, anggun, nan modis dan menggambarkan betapa sejahteranya…. Penghuni Kraton. Lho, maksud saya, penghuni Kraton saja sejahtera, apalagi rakyatnya. Kan kehidupan istana adalah representasi masyarakat.
#2 Aach… Aku Jatuh Cinta (iya, judulnya emang begini)
Katanya, ini katanya lho yha, Jogja adalah serpihan surga yang jatuh ke bumi. Sebelumnya saya nggak percaya, tapi setelah melihat film berlatar Jogja ni, betapa buagusnya Rumi (Riyanto, eh, Chicco Jerikho) dan anggunnya Yulia (Pevita Pearce), serta kombinasi latar Jogja yang syahdu. Saya jadi percaya Jogja itu printilan surga yang jatuh.
Film roman garapan Garin Nugroho ini rekomendasi sekali bagi kalian yang sedang jatuh cinta atau hendak mencari cinta. Dialog yang mengalir dan kekuatan cerita jadi pilihan utama. Namun, saya nggak hanya berbicara seputar teknik film lantaran saya nggak terlalu menguasai itu.
Latar cerita film ini memang menampilkan Jogja yang teduh, bangunan-bangunan kuno yang luhur, jalanan yang langgang, hingga manusia-manusia Jogja yang menampilkan keramahan. Benarkan apa kata saya, Jogja itu memang romantis. Kalian saja yang terlalu pesimis.
Ehmm, tapi masalahnya begini, latar film tersebut menceritakan Jogja tahun 70 sampai 90-an. Ya maklum, kalau film berlatar Jogja di tahun-tahun belakangan ini, yang ada Chicco Jerikho sibuk kejebak macet di Jalan AM Sangaji.
Bayangin aja betapa lucunya Mbak Pevita yang wajahnya merah padam karena kelamaan menunggu lampu merah Jalan Magelang kilometer 1. Yang ada judulnya bukan, Aach… Aku Jatuh Cinta, tapi Aacu… Aku Kena Macet.
Haaa nggak lucu kan sebagai film dihabiskan oleh set percakapan dalam mobil. Ini film layar lebar, Bung, bukan sinetron RCTI dan Indosiar.
#3 Ada Apa dengan Cinta 2
Sejatinya, saya nggak tahu menahu emangnya ada apa dengan Mbak Cinta (Dian Sastrowardoyo). Namun, setelah menonton film ini, kemungkinan Mbak Cinta ini “kenapa” ada dua: (1) terpesona dengan Kota Jogja atau (2) keselilitan daging sate klatak.
Kalau nomer dua, keselilitan daging di celah-celah untu-nya, Mbak Cinta tinggal pakai tusuk gigi. Masalah kelar. Namun, kalau nomer satu, ini bisa jadi analisis pendukung bahwa Jogja itu romantis, sekaligus film ini bisa jadi rekomendasi.
Jogja dipilih sebagai tempat liburan Cinta dan gengnya. Lihat saja, liburannya Mbak Cinta saja ke Jogja, lho. Harusnya ini jadi modal bagus buat akun-akun buzzer romantisasi untuk mengundang wisatawan agar mampir terus ke Jogja.
Padahal akun-akun seperti itu punya tanggung jawab moral buat menampilkan wajah Jogja yang sesungguhnya kan, ya? Eh, tapi kalau memang benar-benar romantis dan nggak ada kasus-kasus seperti klitih dan kemiskinan gitu ya apa mau dikata, kan?
Pada 2016, mungkin TikTok belum meledak seperti sekarang. Jika saja saat itu sudah ada TikTok, mbok yakin Mbak Cinta dan gengnya bakalan bikin konten TikTok, “Rekomendasi Wisata Hits Jogja yang Instagram-able Bangets Sampe Mo Meninggal”. Alurnya seperti ini: viral – banyak yang kunjungi – sudah.
Akan tetapi, saya bingung satu hal. Walau Jogja romantis, kenapa mood-nya Mbak Cinta tetap ngawu-ngawu sama Mas Rangga (Nicolas Saputra), ya? Kenapa bilang, “Apa yang kamu lakukan itu jahat”? Kenapa kok nggak hal-hal puitis seperti kalimat-kalimat adiluhung Fiersa Besari yang hujan, senja, dan kenang?
Ha mosok Jogja jahat to, Mbak? Coba kita analisis. Oh, mungkin Mbak Cinta datengnya ke tempat wisata pinggiran Jogja. Bukan ke pusat kota seperti Tugu yang selalu dapat jatah pemugaran tiap akhir tahun. Kan bisa, nih, Mbak Cinta bilangnya gini ke Mas Rangga, “Apa yang kamu lakukan ke aku itu nggatheli!”
BACA JUGA 40 Film Indonesia Favorit dalam Satu Dekade dan tulisan Gusti Aditya lainnya.