Wisuda Hanya Sebuah Seremoni, Rayakan Secukupnya Tak Perlu Berlebihan

Wisuda Hanya Sebuah Seremoni, Rayakan Secukupnya Tak Perlu Berlebihan

Wisuda Hanya Sebuah Seremoni, Rayakan Secukupnya Tak Perlu Berlebihan (Unsplash.com)

Bagi sebagian mahasiswa, wisuda adalah ujung perjalanan getir akademik. Sehingga perlu dirayakan sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan diri melewati jalan getir itu. Tapi terkadang beberapa mahasiswa cenderung merayakannya secara berlebihan. Padahal wisuda bukanlah akhir perjalanan hidup yang menunjukkan bahwa kita sudah menang sepenuhnya.

Berdasarkan pengalaman saya, banyak teman yang heboh menyiapkan buket bunga, menyewa studio foto, konvoi, makan-makan besar, sampai me-repost story Instagram ucapan selamat dari orang lain sampai jadi titik-titik untuk merayakan kelulusan ini. Bahkan banyak mahasiswi rela bangun pukul 02.00 WIB untuk merias dirinya agar cantik memesona saat prosesi wisuda.

Padahal kalau dipikir-pikir, wisuda kan cuma memindahkan tali topi toga dari kiri ke kanan. Prosesnya hanya sebentar, barangkali cuma 5-6 detik. Tapi persiapannya berhari-hari dan menunggunya berjam-jam.

Tanpa wisuda, kalau skripsinya lulus ya tetap lulus

Seharusnya wisuda hanya ajang merayakan kelulusan seorang mahasiswa. Wisuda cuma jadi salah satu simbol kecil bahwa kita sudah lulus kuliah. Tanpanya, kalau skripsi kita lulus, ya kita tetap akan lulus dari kampus. Kelulusan kita nggak akan dibatalkan. Tanpa prosesi wisuda, kita akan tetap mendapatkan ijazah dan dinyatakan sebagai sarjana. Makanya saya rasa nggak perlulah kita berlebihan merayakannya.

Lebih heboh dari kualitas akademik

Setelah saya menelusuri lebih lanjut, kebanyakan yang heboh saat wisuda cenderung mahasiswa yang “bandel” dalam kehidupan akademiknya. Kadang, nggak sedikit juga dari mereka yang lulus lebih dari 8 semester, entah karena kesibukan pribadi, organisasi, atau rasa malas yang kepengin terus dituruti.

Lantaran “sulit lulusnya”, maka tak heran kalau saat lulus dan wisuda jadi yang paling heboh. Mosok merayakan cuma sekadarnya, wong lulusnya sudah setengah mati? Makanya para mahasiswa ini memilih berpesta pora di dunia nyata dan dunia maya. Saat lulus, mereka seakan jadi si paling sarjana.

Kecenderungan ini menjadi berbeda untuk mahasiswa yang kuliahnya relatif biasa-biasa saja. Mereka nggak memposting berlebihan seremoni wisuda. Satu atau dua postingan rasanya cukup untuk mengungkapkan kebahagiaan mereka di hari itu. Bahkan beberapa teman saya justru memilih nggak ikutan karena merasa prosesi ini nggak terlalu penting.

Berlomba memasang foto paling mentereng sebanyak-banyaknya

Saat hari wisuda tiba, setiap orang merasa punya kewajiban untuk berfoto sebanyak-banyaknya dan memposting foto sebanyak-banyaknya pula di media sosial. Seakan-akan mau menunjukkan bahwa mereka adalah si paling sarjana. Padahal ya nggak harus berlebihan gitu juga.

Saya merasa risih ketika melihat postingan mentereng orang-orang yang wisuda. Apalagi kalau saya kenal dengan beberapa teman yang cukup lama menyelesaikan studinya. Alhasil saya jadi suka ngebantin, “Lulusnya sulit, hebohnya berhari-hari.” Sejujurnya, foto wisuda yang diposting berlebihan dan bahkan diposting berhari-hari ini berpotensi bikin risih orang lain, lho.

Nggak berempati pada yang belum lulus

Selain bikin jengkel orang awam, postingan dan perayaan wisuda yang berlebihan juga bikin resah para mahasiswa semester tua, lho. Saya sering kali dicurhati mahasiswa semester tua yang sengaja me-mute status WA dan Instagram teman-teman yang wisuda. Mereka merasa “makan ati” ketika melihat teman seangkatan merayakan kelulusan dengan toga sementara dirinya masih berkutat dengan dosen pembimbing yang sulit.

Saya pribadi nggak melarang kalau ada orang yang memposting foto wisudanya, tapi tolong lah jangan terlalu berlebihan. Kasihan lho teman-teman lain yang masih belum lulus. Cukup posting sekali dua kali saja, nggak perlu menjadikan status WA dan IG Story jadi titik-titik dengan foto pakai toga. Toh wisuda bukan akhir dari segalanya.

Awal perjalanan menghadapi kehidupan yang kejam

Sekali lagi saya ingatkan, wisuda ini bukan akhir dari segalanya, sehingga kurang bijak kalau kita berbahagia berlebihan. Prosesi ini justru menjadi awal dari perjalanan hidup seseorang yang harus menghadapi peliknya kehidupan kerja. Dunia kerja tak selamanya indah. Kita akan berhadapan dengan sulitnya mendapat pekerjaan, kejamnya tragedi orang dalam, seramnya pergunjingan dunia kerja, dan peliknya gaji pertama.

Maka apabila di antara kalian ada kaum-kaum heboh di wisuda, bertobatlah. Rayakan kemenangan ini secukupnya sambil mempersiapkan tahapan selanjutnya.

Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Unpopular Opinion: Prosesi Wisuda TK hingga SMA Itu Biasa Aja, Ngapain Resah?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version