Sejarah mencatat, perjalanan kerajaan Majapahit nggak pernah lepas dari yang namanya pemberontakan. Bahkan sejak awal berdirinya saja, ketika Majapahit belum genap berusia tiga tahun, kerajaan yang dideklarasikan oleh Raden Wijaya itu harus menghadapi pemberontakan dari Adipati Tuban, I Arya Ranggalawe.
Ini menarik. Kok bisa-bisanya Ranggalawe memberontak kepada Raden Wijaya? Secara, Raden Wijaya sebelumnya sudah dianggap Ranggalawe sebagai saudara sendiri.
Usut punya usut, ternyata Ranggalawe merasa kesetiaan dan pengabdiannya kepada Raden Wijaya telah dicederai. Ia merasa kecewa setelah segala bentuk pengorbanannya seolah nggak pernah dianggap oleh Raden Wijaya.
Andil Ranggalawe paling besar adalah membantu Raden Wijaya dalam merintis kerajaan Majapahit, yang mana harus dilalui dengan berperang melawan dua pasukan sekaligus: pasukan Jayakatwang dari Kerajaan Kediri dan pasukan Mongol.
Biar temen-temen tahu duduk perkaranya, coba kita urai dulu benang merahnya.
Jadi, jauh sebelum Majapahit berdiri, di Jawa sudah bercokol kerajaan pilih tanding bernama Singasari yang didirikan oleh Ken Angrok (Ken Arok) sejak 1222 setelah berhasil menggulingkan Kerajaan Kediri pimpinan Tunggul Ametung.
Nah, kayaknya perseteruan antara dua kerajaan tersebut terus berlangsung sampai saat Singasari dipimpin oleh Prabu Kertanegara. Pada 1292, di mana kerajaan Kediri pimpinan Prabu Jayakatwang berambisi besar menggulingkan Singasari.
Waktu itu, Prabu Kertanegara tengah menggencarkan ekspansi wilayah ke tanah Melayu, sehingga kekuatan militer dalam istana agak melemah. Lebih-lebih waktu itu prajurit andalan sang prabu, Dyah Kebo Anabrang, juga turut serta dalam ekspedisi tersebut.
Ya sudah, kesempatan emas tersebut pun dimanfaatkan Prabu Jayakatwang untuk menghabisi Prabu Kertanagera berikut keluarganya. Tapi, salah satu sanaknya, yaitu Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura yang kebetulan waktu itu dipimpin oleh Adipati Arya Wiraraja, yang tidak lain adalah ayah dari Ranggalawe.
Selama di Madura, Raden Wijaya diperlakukan dengan sangat baik oleh Adipati Arya Wiraraja. Bahkan sang adipati lah yang kemudian membantunya menyusun strategi, gimana caranya biar Raden Wijaya bisa melakukan serangan kepada Prabu Jayakatwang, merebut kembali kejayaan trah Rajasa (Singasari).
Adipati Arya Wiraraja menyarankan agar Raden Wijaya berpura-pura tunduk kepada Prabu Jayakatwang dan meminta izin untuk membuka hutan di sekitar sungai Brantas untuk dijadikan sebagai desa.
Hla kok untungnya Prabu Jayakatwang nggak curiga sama sekali. Oleh Prabu Jayakatwang, Raden Wijaya dikasih izin untuk membuka hutan tersebut. Mungkin karena penyerahan diri Raden Wijaya dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada Prabu Jayakatwang, dan lebih-lebih ia beralasan bahwa pembukaan hutan tersebut nantinya dialokasikan untuk menghimpun dukungan terhadap Prabu Jayakatwang. Jadi ya wajar saja, alih-alih curiga, Prabu Jayakatwang malah antusias dengan wacana Raden Wijaya tersebut.
Padahal, pada praktiknya—dan memang itulah yang sudah direncakanan sedari awal—dari desa tersebut Raden Wijaya ditemani oleh Ranggalawe mengumpulkan sisa-sisa pengikut Singasari dan menyusun strategi untuk menyerang balik Prabu Jayakatwang.
Untungnya lagi, momentumnya kok ya pas dengan kedatangan pasukan Mongol (Dinasti Yuan) pimpinan Ike Mese (Ji-Ku-Mosu) yang diutus Khubilai Khan untuk menyerang Jawa.
Sebenarnya, mereka mau balas dendam atas perlakuan Prabu Kertanegara yang sudah mengiris kuping utusan Mongol bernama Meng Qi pada periode sebelumnya. Tapi, karena Prabu Kertanegara sudah nggak ada dan yang berkuasa atas Jawa waktu itu adalah Prabu Jayakatwang, ya sudah maka Prabu Jayakatwang lah yang jadi sasaran.
Momentum tersebut nggak disia-siakan oleh Raden Wijaya. Dia mengajak Mongol bersekutu untuk menggulingkan Prabu Jayakatwang. Singkat cerita, Prabu Jayakatwang berhasil ditumpas.
Nah, lagi-lagi, keberhasilan itu nggak bisa lepas dari peranan seorang Ranggalawe. Sebab dialah yang turut terlibat dalam proses negosiasi ketika hendak menjalin persekutuan dengan pasukan Mongol. Ia juga yang turut bertarung habis-habisan saat melawan pasukan Kerajaan Kediri.
Bahkan ketika Raden Wijaya memberi instruksi untuk membantai pasukan Mongol—yang sebelumnya diajak bersekutu—Ranggalawe tetep sendika dhawuh dan tumbal nyawa demi memuluskan cita-cita sahabatnya tersebut.
Setelah dua pertempuran besar beruntun tersebut dan menuai kemenangan dengan sangat gemilang, Raden Wijaya yang bernama asli Nararrya Sanggrama Wijaya kemudian mendeklarasikan Kerajaan Majapahit, sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai raja pertama dengan menyandang abhiseka (gelar kebesaran) Kertarajasa Jayawardhana. Persisnya pada 1293. Kertarajasa Jayawardhana sendiri kurang lebih berarti, raja Jawa yang berkuasa dan berjasa mengembalikan serta memberi kesejahteraan pada bumi Jawa.
Setelah pengukuhan tersebut, Raden Wijaya langsung membentuk kepatihan (kementerian), termasuk Panca Ring Majapahit (5 pejabat sentral Majapahit). Dan dari sinilah ketegangan antara Ranggalawe dengan Raden Wijaya bermula.
Begini, semula Ranggalawe tentu berharap ia bakal menduduki jabatan penting dalam tubuh Majapahit. Secara, jasa-jasanya terhadap Raden Wijaya jelas sangat besar. Raden Wijaya sudah diselamatkan oleh ayah Ranggalawe dan bahkan dibantu menyusun rencana pemberontakan terhadap Prabu Jayakatwang. Ranggalawe juga sekali pun nggak pernah nggak terlibat dalam gerakan-gerakan yang dilakukan Raden Wijaya.
Menimbang hal tersebut, harusnya Ranggalawe layak menduduki jabatan di Panca Ring Majapahit, atau paling nggak ya jabatan kepatihan di bawahnya lah. Apalagi pada waktu itu memang jabatan-jabatan kepatihan diserahkan kepada siapa saja yang berkontribusi dalam proses berdirinya Majapahit. Tapi, ternyata Ranggalawe hanya dilimpahi jabatan sebagai adipati Tuban.
Puncak kekesalannya adalah ketika ia tahu salah satu jabatan dalam Panca Ring Majapahit, yaitu Rakryan Mahapatih Sanagara atau Patih Amangkubhumi, justru dilimpahkan kepada Dyah Nambi. Padahal, Dyah Nambi nggak begitu tampak andil dan batang hidungnya di masa-masa pergolakan menumpas Prabu Jayakatwang dan memukul mundur pasukan Mongol.
Ranggalawe sempat melayangkan protes sih, ke Raden Wijaya. Tapi, jawaban dari sang prabu malah membuat hatinya makin tertohok.
Kata Raden Wijaya, jabatan Panca Ring Majapahit atau kementerian di bawahnya terlalu sentral untuk diisi oleh orang berwatak keras dan grusa-grusu seperti Ranggalawe. Terlalu banyak proyeksi dan kebijakan-kebijakan yang harus dipikir dengan terukur dan perencanaan yang matang dalam tugas kepatihan, apalagi jabatan Patih Amangkubhumi. Dan Ranggalawe dianggap nggak punya kredibilitas dalam konteks tersebut.
Akhirnya, karena merasa dikhianati, pada akhir 1295 Ranggalawe menghimpun pasukan dari Tuban dan Madura untuk menyerang keraton utama Majapahit di Trowulan. Namun, pemberontakan tersebut berhasil dibereskan dengan mudah oleh pihak Majapahit.
Perlawanan Ranggalawe pada masa itu memang diprediksi bakal sulit. Sebab Majapahit diperkuat oleh Dyah Kebo Anabrang, prajurit andalan mendiang Prabu Kertanegara yang baru pulang dari eskpedisi Melayu dan langsung mengabdikan diri kepada Raden Wijaya.
Benar saja, dalam pertempuran ini, nyawa Ranggalawe tumpas di tangan Dyah Kebo Anabrang, dan mengakhiri perlawanan mencari keadilan yang ia lakukan.
BACA JUGA 3 Pengetahuan Dasar Tentang Terminal Bungurasih yang Wajib Diketahui dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.