Apakah kamu adalah salah satu orang yang beranggapan kalau otak kayaknya lebih moncer pas bikin kerjaan atau tugas kuliah di coffee shop atau kedai kopi modern? Nggak heran, banyak orang lebih suka menyelesaikan pekerjaan mereka di kafe langganan meski harus mengeluarkan sekian rupiah ketimbang kudu bergelut dengan tumpukan garapan di kantor atau rumah.
Akui saja, bisa melewati satu hari produktif itu menjadi suatu pencapaian yang dapat memuaskan ego. Nyatanya, korelasi antara performa kerja dan coffee shop tersebut bukan sekadar isapan jempol atau sugesti, melainkan ada penjelasannya, bahkan secara ilmiah, lho!
Daftar Isi
#1 Ogah rugi
Alasan pertama yang paling umum adalah enggan untuk merugi. Jelas, menjatuhkan pilihan work from coffee shop membutuhkan usaha yang nggak sepele, di luar biaya isi perut dan ongkos transportasi. Mustahil juga kalau niat ke kafe tanpa memikirkan penampilan yang pantas dilihat di tengah-tengah banyak pasang mata. Segala pengorbanan tersebut akan sia-sia belaka jika nggak dibayar dengan penyelesaian tanggungan hari itu.
Bagi orang yang penuh pertimbangan, latar belakang ini menjadi alasan kuat bagi mereka untuk mau nggak mau harus mampu menuntaskan daftar pekerjaan di hari yang sama. Ya biar nggak rugi.
#2 Serasa punya banyak penonton
Datang seorang diri ke tempat umum memang bukan lagi menjadi hal yang aneh. Akan tetapi, perasaan seperti menjadi pusat perhatian karena berani pergi sendiran kerap kali masih menghinggapi. Ibaratnya, orang-orang lain di sekitar kita seolah menjadi penonton yang siap mengamati setiap gerak-gerik yang kita lakukan. Suka nggak suka, akhirnya kita harus jadi sibuk supaya nggak salah tingkah karena merasa dipelototi.
Faktanya, secara nggak langsung, perasaan diawasi yang timbul dari perspektif personal ini dapat meningkatkan kinerja seseorang. Apalagi bila kita dikelilingi oleh sekumpulan orang yang terlihat sangat termotivasi, semangat, dan asyik tenggelam dalam kesibukan kerja mereka masing-masing. Kondisi demikian akan mendorong seseorang untuk berkompetisi menjadi pribadi yang lebih produktif dibandingkan orang-orang lain di sekitarnya.
#3 Minim gangguan
Dulu, di awal-awal dicetuskannya WFH, banyak pencari cuan yang menyambut baik usulan ini. Bekerja dari rumah seakan membawa angin segar untuk melepaskan diri dari kepenatan dan rutinitas kantor. Saat itu, WFH terdengar mengasyikan. Orang mungkin berpikir bisa lebih rileks sembari tetap produktif.
Sialnya, WFH nggak seindah angan-angan semula. Banyak gangguan datang silih berganti ketika WFH diterapkan. Misalnya saja, hasrat beberes rumah atau resah mendengar rengekan anak. Dijamin, fokus ambyar seketika.
Percayalah, talenta multitasking adalah mitos. Alih-alih dapat menghemat waktu karena mengerjakan beberapa to do list sekaligus, tindakan ini malah nggak efisien. Sebab, otak memerlukan waktu sekitar setengah jam untuk berkonsentrasi kembali setelah mengalami distraksi. Belum lagi, rata-rata seseorang akan kehilangan kurang lebih 25 menit setiap beralih aktivitas. Inilah yang menyebabkan metode WFH nggak lagi dianggap efektif dan efisien.
Lain halnya jika menggarap kerjaan di kafe. Tujuan orang datang ke tempat tersebut hanya ada satu dan sangat jelas, yaitu menyelesaikan tugas. Adanya kejelasan target, membuat tindakan seseorang menjadi lebih terarah sebagaimana anak panah yang melesat menuju pusat papan sasaran. Ditambah lagi, interupsi yang terjadi tidak terlalu intens seperti jika di rumah. Maka lumrah saja, momentum yang senantiasa terjaga ini menjadikan seseorang lebih fokus dan produktif dalam bekerja.
#4 Suasana baru
Walaupun kantor memang diciptakan sebagai wadah bagi karyawan untuk bekerja, rutinitas yang dihadapi sering kali malah membuat pikiran makin ruwet. Sesuatu yang rutin biasanya memicu kebosanan. Efeknya, kemampuan individu untuk berpikir inovatif menjadi macet dan menemui kebuntuan sehingga pekerjaan terbengkalai. Bukan karena malas, tetapi karena nggak ada gagasan yang muncul.
Hambatan kerja ini bisa diatasi dengan mengalihkan seseorang pada suasana anyar. Mengerjakan kerjaan di coffee shop, contohnya. Lingkungan kerja yang baru dan nggak dibatasi kubikel inilah yang menjadi faktor timbulnya ide segar. Ditambah lagi, percakapan random dari pengunjung coffee shop nggak jarang justru memancing kreativitas yang berguna dalam pekerjaan. Jika ide mengalir lancar, pekerjaan pun jadi lebih cepat terselesaikan, kan?
#5 Intensitas suara yang pas
Pernah mendengar ada tipe orang yang kudu menyalakan televisi tanpa ditonton ketika mengerjakan tugas? Pokoknya ada suara buat nemenin aja. Ternyata, terdapat penjelasan logis atas fenomena ini, Gaes.
Menurut suatu penelitian, orang memerlukan keributan kecil dengan kisaran suara sebesar 70 desibel untuk menstimulasi otak dan memunculkan inspirasi. Nah, suasana di coffee shop dirasa mendekati kebutuhan tersebut sehingga banyak orang merasa lebih terbantu menggarap kerjaan mereka ketika berada di sana.
Sementara itu, intensitas suara yang terlalu rendah, yaitu sekitar 50 desibel, akan membuat seseorang jenuh atau mengantuk. Di sisi lain, intensitas suara 85 desibel dianggap terlalu tinggi sehingga nggak sesuai untuk mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan.
Kalau menilik alasan yang terakhir ini, mungkin kita akan memaklumi kasus yang viral belakangan di mana ada seorang pengunjung kafe—yang berusaha menyelesaikan pekerjaannya—menegur sekumpulan anak muda yang dirasa terlalu berisik. Ya, bisa jadi suara mereka sudah mencapai atau melebihi batas 85 desibel.
Sekarang sudah paham, kan, kenapa kita merasa lebih sat set kalau ngerjain tugas di coffee shop? Sesekali menempuh cara tersebut memang mungkin akan berdampak positif pada performa kerja kita. Namun kalau terus-terusan dijalani, perilaku ini sama saja akan menjadi sebuah rutinitas yang rentan menimbulkan kebosanan. Yang lebih penting, terlalu sering ke coffee shop dengan alasan merampungkan pekerjaan juga nggak sehat buat isi dompet.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Mengerjakan Skripsi di Coffee Shop Itu 100 Persen Gaya-gayaan, Nol Persen Ngerjain Beneran.