Teruntuk kalian yang lahir di tahun :
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Selamat, kalian akan segera tergabung dalam Komunitas Quarter Life Crisis!!1!111!1 Waspadalah! Waspadalah!
Tabrakan antara impian dengan realitas seringkali membuat kita mengalami krisis. Mengutip kata-kata penulis kondang, Andrea Hirata, pada novelnya yang berjudul Sang Pemimpi yakni “bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.” suatu saat nanti akan berubah arah menjadi “bermimpilah, agar Tuhan bisa tertawa.”
Realistis, sikap Itulah yang acapkali digaungkan oleh sebagian besar pikiran kaum yang tergabung dalam komunitas quarter life crisis.
Quarter life crisis (QLC) atau krisis usia seperempat abad merupakan sebuah kondisi atau periode yang terjadi pada diri seseorang ketika memasuki tahap pendewasaan, yang biasa ditandai dengan terjadinya krisis emosional yang melibatkan perasaan seperti perasaan kecemasan, kesepian, kesedihan, kebingungan, isolasi, tak termotivasi, frustasi, bahkan depresi serta merasa terjebak dalam ketakutannya sendiri.
Pada umumnya, hal ini dialami oleh sebagian besar kaum yang memasuki usia 20-an, baik itu di awal, di tengah, maupun di akhir dekade ketiga dalam kehidupan orang tersebut. Namun, ada juga beberapa orang yang mengalami krisis ini pada usia 18-an. Dan tidak jarang pula perasaan-perasaan yang dialami pada periode krisis tersebut masih terus dirasakan hingga memasuki usia 30-an.
Lantas, bagaimana jadinya kalau quarter life crisis menerpa kewarasan sobat misqueen Twitter yang hobinya adalah rebahan?
Rakyat Twitter punya keunikan perilaku tersendiri dalam berinteraksi. Si kreatif tukang sambat, tukang bacot, tukang pamer kemiskinan, pecinta rebahan yang diilhami bakat berupa kekreatifitasan yang mendarah daging, mampu memberikan ke-khas-an perilaku tersendiri saat mengalami krisis pada usia seperempat abad. Selain memberikan keunikan perilaku bagi orang-orang yang melihat, sobat misqueen Twitter juga punya kelebihan dalam dirinya sendiri yang mampu membantu mereka menghadapi kewarasan di saat-saat krisis.
Rakyat Twitter yang pada dasarnya adalah pecinta rebahan, akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri ketika sedang mengalami periode krisis tersebut. Tidak banyak orang yang mampu bertahan dalam kerebahan yang hakiki tanpa mempermasalahkan kepala pening akibat kebanyakan tidur, dan tidak banyak pula orang yang mampu beradaptasi dengan kesedihan dan kesepian yang langsung mengobrak-abrikmu seketika saat kita mulai masuk ke dalam kenyamanan kasur. Sang pecinta rebahan, jelas sudah nyaman dengan hukum yang berlaku pada negeri kasur ajaib.
Atau bisa jadi yang terjadi malah sebaliknya, ketika orang lain yang terjerat krisis diri mulai antusias untuk menepi, si pemilik semesta rebahan, malah muak dan merasa frustasi melihat rutinitas yang membuat dirinya berlumut dan mati dimakan kutu hingga akhirnya mereka mulai beranjak keluar dari zona nyamannya untuk mencari suasana baru.
Belum pula ditambah dengan skill bacot dan sambatnya yang merupakan poin plus tersendiri bagi rakyat Twitter yang tentu saja sangat-sangat membantu proses penyembuhan dalam quarter life crisis. Karena tahu sendiri kan perasaan negatif yang terpendam tak tertuang hanya akan memperparah rasa kesakitan. Daaannn … jackpot! Rakyat Twitter mampu menuangnya dalam bentuk tweet-tweet humor yang ironi. Bahkan, saking seringnya muncul tweet-tweet ironi dan semacamnya yang begitu kreatif, saya curiga, apakah seluruh rakyat Twitter sebenarnya merupakan aliansi orang-orang setengah dewasa yang sedang dirundung the darkness of quarter life crisis?
Periode quarter life crisis yang dialami rakyat Twitter juga terbantu oleh tingkah mereka yang suka pamer kemiskinan. Membayangkan melihat kekayaan dan kesuksesan teman-teman lain yang berseliweran di Instagram story saat sedang mengamini krisis hanya akan memperburuk kewarasan, namun tentunya sobat misqueen twitter tidak akan terpengaruh dengan itu semua karena, apa itu kekayaan, apa itu kemewahan? Hal yang paling patut dibanggakan bagi rakyat Twitter adalah jiwa-jiwa kemisqueen-an yang meronta-ronta. heuheu
Menurut seorang peneliti dari University of Greenwich, Dr Oliver Robinson, dalam quarter life crisis, terdapat empat fase yang seringkali dilalui seseorang. Yang pertama, orang tersebut akan mengalami perasaan terjebak dan frustasi dalam suatu situasi, entah itu identitas, pekerjaan, pertemanan, percintaan, relasi, keuangan, maupun dalam hal-hal lainnya. Kedua, yakni dimana seseorang mulai bisa menghandle pikirannya dan mulai menginginkan perubahan yang selanjutnya akan terjadi proses memotivasi diri, menyembuhkan diri, dan merupakan langkah awal menuju kebangkitan. Fase ketiga merupakan fase di mana motivasi berhasil menggerakkanya untuk bangkit dari keterpurukan, bahkan ia mampu menertawakan kebodohannya pada masa-masa kelam tersebut. Pada fase keempat ia akan berkomitmen untuk bangkit dan belajar dari pengalaman di masa-masa gelap.
Begitu pula fase-fase yang dialami rakyat Twitter, setelah periode menangis-nangis di kamar dan tweet galau kreatifnya yang mempesona dan berseliweran di timeline pada fase pertama, fase selanjutnya adalah terciptanya tweet maupun retweet tentang ironi yang dibalut humor khas Twitter. Humor yang tercipta biasanya digunakan untuk self-healing, media penyembuhan dengan cara menertawakan diri. Setelah berlalunya periode tersebut, bisa-bisa akan muncul thread berjudul How I Dealing With My Quarter Life Crisis.
Meskipun sobat misqueen Twitter punya cara unik dalam menghadapi quarter crisis of life, namun tetap saja, menurut riset yang didapatkan dari The Guardian, perasaan tidak aman, terjebak, kecewa, kesepian, dan depresi yang dilalui dalam masa-masa quarter life crisis diakui menghambat kehidupan 86% generasi milenial. Sobat twitter yang kebanyakan juga berasal dari generasi milenial tentunya termasuk kedalam golongan 86% tersebut. Meskipun sebagian besar milenial memandang periode quarter life crisis sebagai hal yang sangat mengganggu dan mereka ingin cepat-cepat mereka lalui, namun dalam tulisan yang bertajuk Why Millenials Need Quarter life Crisis, Caroline Beaton menyatakan bahwa quarter life crisis bisa menjadi pengingat bagi millenial untuk terus berjuang maju dalam hidupnya. Atwood dan Scholts juga berargumen bahwa quarter life crisis menjadi titik awal bagi seseorang untuk dapat melakukan pencarian jati diri. Setelah melakukan evaluasi yang terjadi pada periode kedua quarter life crisis, mereka dapat menentukan apa yang sebenarnya ingin dia cari, dia capai, dan dia perbaiki dalam hidupnya. (*)
BACA JUGA Lagu Entah Apa yang Merasuki “Demokrasi” Kita dan Efek Suara Gagak atau tulisan Helda Pebita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.