RX King dan jathilan lebih menarik daripada dugem
Pyramid Cafe mungkin tidak merasakan gempuran dari klub malam utara Jogja. Toh jarak mereka jauh dan persaingannya tidak seketat itu. Tapi pesaing utama dari Pyramid Cafe adalah jathilan!
Sebenarnya tidak hanya jathilan sih. Dangdutan, koplonan, bahkan RX King menjadi musuh utama si klub malam.
Menurut saya, Pyramid Cafe gagal dalam melihat tren di muda-mudi Jogja. Tidak semua doyan hiburan eksklusif ala klub malam. Terutama warga Bantul yang lebih menyukai hiburan malam yang sifatnya lebih “merakyat.” Tidak harus berbau budaya Jawa, asalkan inklusif. Toh yang suka dugem juga akan pergi ke utara Jogja. Sirkel pertemanan mereka juga ada di sana kan.
Hiburan itu tidak ditemukan di lantai dansa klub malam. Tapi di tengah lapangan desa yang terbuka. Tidak juga ditemukan di turntable, tapi di sela-sela electone. “Put your hands up” tidak akan lebih menarik daripada senggakan penabuh kendang. Musik EDM masih kalah enak dibandingkan Hiphop ala NDX AKA. Mobil LCGC dengan subwoofer kalah sangar dengan RX King pakai karbu Ninja. Dan botol beling minuman keras kalah hangat dengan jeriken berisi ciu.
Ini bukan perkara ndeso, tapi kultural
Apakah Bantul se-ndeso itu? Ya memang demikian. Tapi ini yang membuat Bantul menjadi Bantul yang sejati. Model hiburan rakyat yang inklusif lebih dicintai daripada kekinian yang dipaksakan. Terlepas dari stigma negatif gondhes, muda-mudi Bantul tidak butuh hiburan eksklusif (dan mahal) ala klub malam. Buktinya, Hari ini jathilan tetap ramai oleh anak muda yang distigma “jawir” dan “ndeso” itu.
Tidak perlu ada pemaksaan budaya. Biarkan Bantul tetap menggeliat dengan caranya. Rungkat dijogeti, ambyar disenggaki. Biarlah bekas Pyramid Cafe jadi pengingat untuk semua investor. Percuma kalian iming-imingi pemuda Bantul untuk berpesta ala klub malam. RX King dan jathilan sudah cukup menghibur mereka.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya