Seorang teman, sebut saja Jahe (seorang pria) curhat mengenai kelakuan anak gadisnya yang mulai mengenal pria. Anaknya baru masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), tapi sudah main yang-yangan. Ia takut anaknya akan berkenalan dengan pria yang salah, pria yang suka memanfaatkan wanita bukan secara finansial tapi yang lainnya.
Jahe takut karena dia sendiri adalah seorang penjahat kelamin (PK) ketika muda dulu. Penjahat kelamin adalah seorang pelaku tindak kejahatan yang melakukan kejahatan terhadap seorang perempuan tanpa melibatkan manipulasi finansial tapi manipulasi yang lainnya. Jahe adalah seorang penjahat kelamin dengan rekam jejaknya terlalu menakjubkan untuk anak baru masuk SMA.
Rekam jejak Jahe ini sampai membuat teman saya lainnya, Ableh bersumpah kalau ia kenalan dengan perempuan maka yang pertama ia tanyakan apakah perempuan ini kenal Jahe atau tidak. Kalau kenal akan ditanyai seberapa dekat? Jika cukup dekat apalagi diketahui pernah menjalin hubungan, mau ada status atau tanpa status pun akan membuat Ableh segera memutus hubungan dan ganti nomor. Zaman itu masih main SMS-an dan ganti nomor tidak serepot sekarang.
Hampir separuh anak SMA di kota Mataram, ibu kota NTB yang kenal Jahe akan mikir beribu-ribu kali untuk menjalin hubungan dengan perempuan yang pernah jalan dengan Jahe. Saking semua tahu kehebatan Jahe dalam mengambil keuntungan dari para perempuan. Untuk dipertegas sekali lagi bukan keuntungan finansial tapi keuntungan lainnya.
Pernah seorang teman lainnya lagi bernama Budi sudah jalan cukup lama kenal dengan seorang perempuan, SMS-an sih belum ketemuan. Tidak lama ia memilih untuk berhenti berkomunikasi dan meninggalkannya karena perempuan ini diketahui pernah menjalani sebuah hubungan tanpa status dengan Jahe. Betapa sial nasib perempuan itu dan betapa brengsek otak para lelaki.
Para lelaki yang mikirnya selangkangan pasti takut karena Jahe sangat terkenal bahkan separuh perempuan di kota Mataram telah barhasil ditaklukannya. Kalian pasti berpikir: Ah, itu hiperbola. Mungkin saja, tapi kalau kalian mengenal Jahe mungkin kalian tidak akan berpikir ini berlebihan. Wajahnya memang cukup tampan, tubuh lumayan atletis, keturunan Arab, tipikal laki bangetlah. Tapi yang bikin perempuan takluk itu sebenarnya adalah mulutnya, bahkan mulut buaya sekalipun kalah bahaya dibandingkan mulut Jahe.
Tapi itu dulu sebelum negara api menyerang, kini Jahe sudah hijrah total. Ke mana-kemana dia pakai gamis. Kini ia menjadi aktivis Islam garis keras, melakukan debat politik di media sosial adalah aktivitas sehari-harinya selain berdakwah. Saat ini Jahe sedang keras-kerasnya mengkampanyekan tetap solat berjamaah di masjid, mengacuhkan fatwa MUI dengan logikanya yang luar biasa, “hanya takut Allah”.
Saya juga takut Allah sih, itu no debat buat saya. Tapi mendahului untuk menghindari keburukan daripada melakukan kebaikan ya tidak ada salahnya juga, bahkan ada hadisnya. Boleh saja tidak takut tapi tetap harus waspada. Bukannya perintah Allah itu ikhtiar dulu baru pasrah, bukan sebaliknya? Kalau saya melihat sosok seperti Jahe ini mirip dengan karakter-karakter pehijrah yang digambarkan oleh Kalis Mardiasih dalam bukunya Hijrah Jangan Jauh-Jauh-Jauh Nanti Nyasar.
Jahe menjadi pehijrah kejauhan total yang mendalami agama secara kaffah ini mengalami turning point setelah kelahiran anak keduanya yang adalah seorang perempuan menyusul kakaknya yang juga perempuan. Jahe memang menikah muda sebelum lulus SMA, makanya di saat teman-teman seumurannya baru punya anak, anak-anak Jahe sudah besar.
Kenakalan Jahe saat remaja terhenti ketika ia terpaksa harus nikah muda karena suatu kesalahan amatir, telat cabut. Ternyata untuk seorang pro dengan jam terbang tinggi, ia masih bisa melakuan kesalahan yang sangat fundamental. Selamatlah para wanita di kota Mataram, setelah korban terakhirnya menghentikan langkah Jahe karena dia harus bertanggung jawab.
Meski menikah muda, saya salut dengan Jahe, ia gesit bekerja dan tidak pilih-pilih. Ia menghentikan segala pertualangannya dan menjadi family man. Ia seorang penurut dan tidak pernah main belakang, tidak kepada istrinya. Ia ingin keluarganya jauh dari masalah. Meski pernah suatu ketika ia meminta izin untuk berpoligami untuk menyelamatkan seorang janda kembang cantik yang baru saja bercerai, tapi karena istrinya tidak menyetujui ia pendam saja niatnya.
Mungkin para pembaca bertanya, apa tidak takut Jahe membaca tulisan saya? Tenang saja, Jahe sekarang menganggap bid’ah semua hal yang muncul di internet, kecuali yang ada huruf hijaiyahnya. Bagi dia huruf pun bisa kafir. Untuk ibadah saya akui dia, untuk logika saya tidak habis pikir.
Saat ini Jahe sedang gelisah-gelisahnya, ia tidak bisa tidur. Ia takut anaknya akan berkenalan dengan pria yang suka memanfaatkan wanita. Lagi-lagi tidak secara finansial, tapi yang lainnya. Seperti halnya dia dulu.
Ia ingin anaknya mampu membedakan mana pria dan mana buaya. Lantaran sudah buntu, dia datang kepada saya. Bukan karena kami dekat, karena dia menganggap saya pintar dan bijak (sekali-sekali promosi diri bolehlah hahaha).
Saya berpikir keras untuk menjawab kegelisahannya tanpa menyinggung. Akhirnya saya akui saya tidak bisa tidak menyinggung.
“Sudah begini saja, tinggal jelaskan kalau buaya itu dengan ciri-ciri karakteristikmu dulu. Masih ingat kan?”
“Masih dong,” jawabnya bangga.
“Ya sudah kamu buat daftar untuk perkataan para buaya dari pengalamanmu.”
“Okey,” jawabnya masih dengan nada bangga.
Saya kadang terheran-heran dengan pria seperti Jahe ini, setobat apa pun mereka tetap saja merasa bangga dengan dosa-dosanya terhadap perempuan dulu. Kenakalan remaja yang dilakukan laki-laki dan perempuan, sering kali menjadi kebanggaan kaum adam dan menjadi cela untuk kaum hawa. Tapi begitu mereka sudah dewasa, berkeluarga, mendapati dirinya punya anak perempuan, orang-orang seperti ini pasti akan sangat takut dan paranoid. Apakah semua penjahat kelamin yang kalian kenal seperti itu?
BACA JUGA Saling Jaga dari Penjahat Seksual di Konser Musik Adalah Tugas Kita Semua atau tulisan Aliurridha lainnya.