Prambanan Jazz Café: Manifestasi Festival Musik atau Sebatas Jual Nama?

Prambanan Jazz Café: Manifestasi Festival Musik atau Sebatas Jual Nama? terminal mojok.co

Prambanan Jazz adalah festival musik tahunan yang digelar di kawasan Candi Prambanan yang lumayan bergengsi. Setiap tahun akan ada musisi-musisi pilihan baik dari luar maupun dalam negeri untuk tampil pada festival tersebut. Sayangnya, sekalipun mengusung konsep jaz, tidak semua musisi yang tampil adalah musisi jaz. Saya pernah mendiskusikan perihal ini dengan beberapa orang dan kami sepakat bahwa kebanyakan festival yang mengusung kata “jazz” tidak serta merta menampilkan musisi-musisi jaz.

Seperti, apakah Pamungkas itu musisi jaz karena ia tampil di Prambanan Jazz? Lantas, kalau banyak musisi yang bukan musisi jaz tampil di acara Prambanan Jazz atau semacamnya, kenapa acara tersebut masih mengusung kata “jazz”? Tapi ya sudahlah, mari lupakan polemik itu saat ini. Intinya, Prambanan Jazz adalah festival bergengsi yang selalu ditunggu setiap tahun.

Prambanan Jazz lantas menjelma menjadi bentuk lain. Ia tak hanya berupa festival musik tahunan, tapi juga menjadi sebuah café. Ketika mendengar eksistensi Prambanan Jazz Café untuk pertama kali, saya merasa terkejut sekaligus senang. Terkejut karena bagaimana bisa sebuah festival musik ditransformasikan menjadi sebuah kafe, sekaligus senang karena jika memang transformasi itu berhasil, Prambanan Jazz bisa dinikmati setiap saat tanpa harus menunggu setiap tahun.

Jadilah, pada 12 November 2021 saya berkunjung ke Prambanan Jazz Café. Tempatnya tidak berlokasi di kawasan Prambanan, melainkan Jl. Sidomukti No 17, Tiyosan, Condongcatur, Depok, Sleman. Lokasinya persis di sebelah kafe yang lumayan populer yaitu Marisini.

Saya berkunjung pada malam hari, kesan pertama yang saya rasakan adalah kafe tersebut tergolong elite. Kalau pada kafe pada umumnya lebih banyak terparkir motor daripada mobil, yang terjadi di area parkir Prambanan Jazz Café adalah sebaliknya. Lebih banyak mobil daripada motor.

Begitu saya memasuki bangunan dengan atap segitiga nan tinggi itu—yang saya asumsikan sebagai representasi siluet candi Prambanan—salah seorang pegawai langsung menemui dan memandu saya. Ia membantu memilihkan tempat duduk, mengambilkan menu, serta memberi rekomendasi menu apa saja yang favorit.

Saya memilih area indoor karena khawatir hujan akan turun malam itu. Sejujurnya tidak ada yang menarik dari area indoor. Hanya berisi tatanan meja dan kursi yang sangat standar ditemui di kafe lain. Barangkali dinding bercat abu-abu dan dipenuhi foto musisi yang pernah tampil di acara Prambanan Jazz digunakan sebagai penegas bahwa kafe tersebut layak disebut Prambanan Jazz Café. Namun, kafe mana pun bisa menghias dinding seperti itu juga. Sama sekali tidak ada kesan festival Prambanan Jazz selama berada di indoor Prambanan Jazz Café.

Selain itu, playlist yang terdengar dari soundsystem juga masih standar seperti kafe-kafe lain dengan beberapa lagu John Mayer, Pamungkas, dan entah bagaimana Luke Combs bisa masuk ke playlist tersebut. Ketika lagu “Beautiful Crazy” dari Luke Combs diputar, saya lumayan kaget. Sepemahaman saya, Luke Combs adalah musisi yang lebih condong ke genre country ketimbang jaz. Tapi entahlah, barangkali saya saja yang berharap terlalu banyak.

Akan tetapi, jika melihat ke area outdoor, nuansa Prambanan Jazz baru akan terasa. Tersedia area cukup luas dengan sebuah panggung yang cukup proper. Pada panggung itulah pada beberapa waktu akan diisi musisi—yang entah jaz atau bukan—yang tampil dari pukul lima sore sampai sembilan malam. Sayangnya ketika saya berkunjung, tidak ada penampilan apa pun di panggung itu. Lantas, berdasarkan informasi yang saya peroleh dari salah seorang pegawai, live music akan diadakan pada Sabtu, 13 November 2021.

Oke, tak masalah tak ada live music kala itu. Toh, saya masih bisa menikmati nuansa kafe yang sungguh menyenangkan. Ya, saya harus jujur, situasi di Prambanan Jazz Café sangat kondusif sekalipun hampir semua meja terisi. Saya kadang malas berkunjung ke kafe ketika banyak anak muda yang terlampau bersenang-senang sampai gaduh sehingga mengganggu pengunjung lain. Sudah beberapa kali saya berniat berkunjung ke sebuah kafe, dan ketika melihat tempatnya sudah dipenuhi dengan tipe pengunjung seperti itu, saya membatalkan niat dan memilih tempat lain.

Prambanan Jazz Café adalah tempat untuk menikmati hidangan. Ia tidak untuk nongkrong dan bercanda sampai gaduh. Pun tidak untuk melakukan aktivitas yang berkaitan dengan laptop. Datanglah ke Prambanan Jazz untuk makan malam yang agak fancy bersama orang terkasih, nikmati hidangannya, pun nikmati musik yang diputar sekalipun sekali lagi, tidak semuanya music jaz. Setidaknya, begitulah Prambanan Jazz di mata saya.

Baik, lantas bagaimana dengan hidangan di kafe tersebut? Apakah seenak itu? Pun, apakah semahal itu mengingat lebih banyak mobil yang terparkir daripada motor? Yah, saya harus jujur bahwa rasa baik makanan maupun minumannya tidak terlalu istimewa. Saya memesan Herbs Ice Coffee, yang merupakan perpaduan espresso, air, gula, dan campuran rempah-rempah, yang rasanya tidak terlalu istimewa. Saya pernah menemukan minuman serupa di tempat lain yang jauh lebih enak. Pun iced lychee tea yang dipesan pacar saya juga biasa saja, meski saya bisa maklum, apa yang bisa diharapkan dari perpaduan teh dan leci? Hampir semua kafe memiliki menu itu, dan hampir semuanya sama.

Untuk makanan, saya memesan Mushroom Soup dan Mac and Cheese. Satu hal yang pasti, Prambanan Jazz Café memiliki porsi makanan yang sangat tidak pelit dan otomatis mengenyangkan. Mushroom Soup mereka enak, sehingga ketika menyeruput satu suap, saya langsung memberikan simbol ok menggunakan jari, seperti meme Adam Drivers dari serial HBO berjudul Girls. Bagaimana dengan Mac and Cheese-nya? Tidak terlalu istimewa dan sedikit terlalu asin. Namun, secara keseluruhan hidangan di sana tidak ada yang mengecewakan.

Saya meninggalkan kafe ini ketika last order sekitar pukul 8.45 dengan kesan biasa saja. Tidak ada nuansa dari festival musik tahunan yang selalu ditunggu-tunggu itu. Barangkali karena tidak ada live music pada malam ketika saya berkunjung, sehingga nama Prambanan Jazz Café menjadi cukup aneh disematkan di kafe tersebut. Tidak di Prambanan dan tidak ada musik jaz. Lantas, kenapa bernama Prambanan Jazz Café?

Agar opini ini lebih valid, saya mencoba kembali berkunjung pada esok harinya untuk merasakan suasana Prambanan Jazz Café dengan live music mereka. Sialnya, hujan mengguyur pada sore hari sehingga saya harus menunggu hujan mereda sampai malam datang. Setelah memastikan bahwa live music tetap diadakan melalui DM Instagram mereka, saya berangkat ke sana. Gerimis kala itu, dan seperti malam sebelumnya, parkiran terisi lebih banyak mobil daripada motor.

Sialnya, meja telah penuh saat saya datang sehingga saya harus rela antre untuk menikmati bagaimana malam minggu di Prambanan Jazz Café lengkap dengan live music di sana. Saya mendapat meja tak lama setelahnya, tapi meja yang tersedia hanya meja untuk lima orang. Saya hanya berdua dan untuk menempati meja berkapasitas lima orang, saya harus melakukan order minimal dua ratus lima puluh ribu rupiah.

Sayangnya, saya tidak bisa berada di area outdoor, tempat di mana live music diadakan. Semua area outdoor dikosongkan waktu itu untuk mengantisipasi gerimis berubah menjadi hujan. Di area outdoor, hanya ada musisi yang tengah tampil di atas panggung yang telah dipasangi tenda seadanya. Sekali lagi, nuansa Prambanan Jazz gagal saya rasakan di kafe tersebut.

Saya memesan iced lychee tea, iced lemon tea, seporsi Gyoza, dan seporsi Beef Steak pada malam itu. Sekali lagi, tidak ada yang istimewa dari hidangan tersebut. Semuanya enak, hanya saja tidak terlalu istimewa. Lantas, bagaimana suasana Prambanan Jazz Café di malam minggu, dengan makanan enak, gerimis di luar, dan live music yang suaranya terdengar sayup-sayup? Well, sayang sekali masih tidak ada yang terlalu istimewa. Tidak ada nuansa Prambanan Jazz yang tercipta di sana.

Namun, bukan berarti tempat itu tidak saya rekomendasikan untuk dikunjungi, ya! Saya menikmati makan malam di sana, bahkan saya melakukannya dua malam berturut-turut. Semuanya pas pada porsinya masing-masing. Pelayanannya ramah, suasananya kondusif, hidangannya tidak mengecewakan, dan jelas sangat cocok untuk menghabiskan malam minggu kalian. Kalau kemudian ada yang mau dikomplain adalah, wifi yang cukup lambat dan belum bisanya kafe tersebut menerima pembayaran via QRIS.

Ya, Prambanan Jazz Café adalah tempat yang pas untuk menghabiskan malam minggu jika kalian mencari tempat yang agak fancy. Akan tetapi, entah saya yang memang kurang beruntung atau memang kurang paham, saya tidak bisa menemukan nuansa Prambanan Jazz sama sekali di sana.

Nama seperti Geeks Café barangkali lebih masuk akal untuk dipakai kafe tersebut, tetapi tentu saja mengusung nama Prambanan Jazz bakal membuat orang lebih mengantisipasi tempat tersebut.
Akan tetapi, dengan pengusungan nama Prambanan Jazz Café, saya lantas berandai-andai jika festival musik lainnya juga akan dijadikan inspirasi untuk sebuah kafe. Misal, Ngayogjazz Café? Mungkin konsepnya bakal di kawasan pedesaan atau malah di tepi sawah, dengan banyak jajanan kaki lima, kopi tubruk, wedang jahe, wedang ronde, nasi bakar, dan segala menu merakyat lainnya, dan tentu saja dengan musik jaz yang diputar atau dimainkan di beberapa lokasi.

Sumber Gambar: Gambar pribadi milih Riyanto

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version