PMM Memang Bikin Guru Pintar, tapi sekaligus Bikin Siswa Bodoh karena Terlalu Sering Diabaikan

PMM Memang Bikin Guru Pintar, tapi sekaligus Bikin Siswa Bodoh karena Terlalu Sering Diabaikan

PMM Memang Bikin Guru Pintar, tapi sekaligus Bikin Siswa Bodoh karena Terlalu Sering Diabaikan (Pixabay.com)

Saya sepakat dengan tulisan Mas Hammam di Mojok tentang manfaat besar PMM untuk guru, karena di dalamnya berisi banyak materi dan ilmu tentang Kurikulum Merdeka. Namun, ketika platform PMM dijadikan tuntutan wajib untuk semua guru, saya justru melihat ironi baru dari hadirnya Kurikulum Merdeka.

Kebetulan hari ini ada pelatihan pengisian PMM secara serentak di sekolah tempat saya mengajar. Lagi-lagi, agenda Kurikulum Merdeka memangkas waktu guru mengajar, hampir seharian. Malahan, hari ini nyaris semua kelas jam kosong, karena gurunya sibuk ngurus PMM.

Menjadi semakin ironis ketika proses pelatihan berlangsung, sembarang keluhan keluar dari mulut para guru, “Duhh kapan ngajarnya kalau terus dituntut ini dan itu”, “Ganti menteri, nanti ganti kebijakan lagi, guru lagi yang jadi percobaan dan korbannya”, “Dulu E-Kinerja, E-Kinerja belum selesai, sekarang sudah ganti PMM”. Keluh para guru. Sungguh kurikulum yang problematis.

PMM menyeret guru agar seperti dosen

PMM merupakan singkatan dari Platform Merdeka Mengajar. Tak seperti namanya, saya melihat platform ini justru dijadikan alat kontrol oleh Kementerian Pendidikan. Pasalnya, Mas Menteri menargetkan setiap guru untuk dapat tuntas minimal 32 poin perencanaan kegiatannya dalam 1 semester mengajar. Kontrol, kan?

Selain itu, tuntutan-tuntutan yang diberikan pun di luar aktivitas mengajar di kelas. Misalnya guru dituntut ikut seminar, mengadakan seminar, dan mengikuti berbagai pelatihan di luar sekolah. Saya curiga, kalau guru ingin disamakan dengan dosen yang dituntut melakukan banyak hal di luar aktivitas mengajarnya.

Kalau kecurigaan saya benar, maka saya hanya ingin bilang ke para ahli di Kementerian Pendidikan bahwa guru dan dosen memang sama-sama pendidik, tapi sasaran manusia yang dididik jauh berbeda. Kalau dosen, yang dididik adalah mahasiswa. Mahasiswa dianggap sebagai orang yang sudah dewasa. Sehingga secara teori belajar, mahasiswa dapat diberi pendekatan pembelajaran orang dewasa. Artinya, mahasiswa bisa saja sering ditinggal dan diberi tugas mandiri, kendati pun penjelasan dari tugasnya tidak terlalu detail.

Sedangkan siswa berbeda dengan mahasiswa. Siswa perlu penjelasan satu per satu secara detail dan konkret. Siswa perlu perlu ketelatenan seorang guru. Itu pengalaman saya mengajar siswa SMA. Apalagi dengan siswa SMP dan SD.

Apa mungkin para ahli pembuat Kurikulum Merdeka ini nggak pernah turun gunung untuk mengajar siswa ya? Kalau belum, cobain dulu, Pak/Bu. Jangan ujuk-ujuk bikin program dan aturan saja. Apalagi hanya berdasarkan pada instruksi menteri yang nggak pernah jadi guru.

Murid terbengkalai

Secara tegas saya bisa bilang kalau PMM ini memang bikin guru pintar, tapi bikin siswa bodoh karena sering diabaikan. Misalnya, gurunya sibuk ikut seminar dan pelatihan di waktu yang seharusnya KBM berlangsung, maka siswanya sudah pasti jam kosong. Semakin banyak guru yang ikut program PMM, semakin banyak kelas yang kosong tanpa proses belajar. Semakin sering jam kosong, semakin jadi apa siswa-siswi generasi bangsa kita?

Benar bahwa siswa perlu diajarkan belajar mandiri. Tapi apakah dibiarkan mandiri tanpa bimbingan guru? Saya rasa tidak demikian. Belajar mandiri yang dimaksud harusnya dalam bimbingan intensif guru. Artinya, guru harus terus berada di kelas sebagai fasilitator aktif.

Menurut saya, belajar mandiri yang ideal itu begini. Siswa diberi instruksi untuk mempelajari suatu materi. Biarkan saja mereka menelusuri dan mempelajarinya secara mandiri tanpa diberi ceramah. Pasti di tengah mereka belajar ada kesulitan yang ditemukan. Ketika menghadapi kesulitan itu, mereka mencari guru untuk bertanya dan berdiskusi. Maka terjadilah pembelajaran interaktif.

Bukan malah ngasih tugas ke siswa, siswanya mengerjakan mandiri, lalu gurunya lari ngerjain PMM. Yaaa ambyar. Kalau ketika di tengah mengerjakan mereka menemukan kesulitan, harus tanya ke siapa? Google? Kalau gitu, mending profesi guru dihapuskan saja sekalian.

Ingat! Tugas utama guru itu dekat dengan siswa, sehingga memahami siswanya dengan baik dalam belajar. Dengan kata lain, guru harus lebih sering bertemu siswa. Bukan malah ruwet dengan beban birokrasi yang aneh-aneh dari atas itu.

PMM bukan bikin guru belajar ilmu, tapi malah obsesi mengejar poin

Parahnya lagi, PMM ini juga terkesan tidak berniat mengajarkan ilmu dengan tulus. Buktinya, ada poin-poin yang harus dipenuhi. Jadinya para guru hanya sibuk memburu poin. Bukan memburu ilmunya. Mengapa demikian? Sebab, energi guru sudah habis mendidik siswa.

Kalau para ahli kurikulum merdeka belum pernah ngajar, cobain dulu deh ngajar siswa SMA seminggu penuh saja. Kira-kira masih kuat kah mengejar tuntutan-tuntutan PMM tanpa kecurangan. Saya yakin tidak.

Dari sini, saya menilai kok ya Kurikulum Merdeka dan platformnya justru semakin menekan guru dengan tuntutan ini dan itu. Semakin menjauhkan kata merdeka bagi para guru. Merdekanya di mana ini, Mas Menteri?

PMM jualan sertifikat

Sejak PMM mulai menarget poin untuk guru dan mengusik status kepegawaian ASN, maka sejak itu pula sertifikat-sertifikat pelatihan online itu laku keras. Saya yakin bahwa penyelenggara webinar dan pelatihan online itu sadar kalau pesertanya hanya mengejar sertifikat. Sehingga, diberi tarif tanpa tugas yang berat. Hasilnya, ilmu baru nggak dapat, uang malah habis untuk ikut pelatihan.

Kalau pun ada pelatihan dan webinar yang gratis dari PMM-nya, saya yakin sebagian besar guru yang ikut tidak benar-benar menyimak. Lagi-lagi mereka letih setelah mengajar. Atau, mereka sedang sibuk mengajar siswanya di kelas.

Guru Indonesia itu perlu baca buku, bukan pelatihan mengajar dan platform-platform administrasi baru

Saya yakin bahwa PMM ini adalah bagian dari upaya kementerian untuk meningkatkan kualitas guru. Tapi menurut saya PMM yang sekarang ini nggak solutif blas. Justru malah terkesan memperkeruh suasana hati guru.

Kalau saya ditanya, apa yang dibutuhkan guru agar bisa meningkatkan kompetensinya? Sebagai guru muda, saya dengan tegas menjawab BUKU. Buku bacaan ya. Bukan buku paket. Kalau buku paket, saya yakin para guru sudah khatam berkali-kali.

Saran saya, PMM dialokasikan jadi platform yang menyediakan buku bacaan saja. Buku bacaan yang beragam tentang segala hal ya. Nggak melulu soal cara mengajar. PMM perlu menyediakan novel, sastra, cerpen, dan kumpulan puisi karya penulis-penulis kondang.

Modul-modul mengajar tetap perlu, tapi jangan terlalu banyak. Perbanyak buku bacaan dari penerbit-penerbit besar di Indonesia yang sudah jelas reputasinya, seperti Gramedia, Mizan, Cantrik, Basabasi, Pustaka Pelajar, Bukune, Buku Mojok, dan sejenisnya. Jadi guru bisa lebih terbuka dengan informasi yang akurat. Sebab kalau dilihat-lihat, SDM guru rendah bukan karena kurang pelatihan, tapi kurang bacaan.

Menurut saya, rendahnya kualitas guru bukan karena keterampilannya dalam mengajar, tapi mindsetnya dalam berpikir. Maka dari itu, solusinya bukan pelatihan, tapi buku bacaan yang beragam dan berkualitas untuk menghasilkan guru berkualitas.

Untuk membacanya, para guru bisa dipancing dengan pemberian reward bagi guru yang rajin membaca. Ukuran penilaiannya bisa video review hasil bacaan. Kalau yang belum membaca, yaa diberi motivasi dan arahan. Jangan dipaksa-paksa dan ditekan. Tugas guru sudah banyak dan berat, Pak/Bu. Biarkan guru eksplore dirinya sendiri untuk bertumbuh dari membaca buku. Sekian.

Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Meratapi Ironi Kurikulum Merdeka: Siswa Belajar Mandiri, Guru Sibuk Sendiri

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version