Kementerian Agama meresmikan PMA PPKS. Sebuah langkah yang patut dirayakan.
Setahun belakangan ini berbagai kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan keagamaan muncul ke permukaan. Yang paling menggemparkan mungkin kasus kekerasan seksual yang menimpa belasan santri di Bandung dengan terdakwa Herry Wirawan. Kasus serupa juga menjerat Bechi di Jombang, yang mana pengusutan kasusnya cukup alot karena ada campur tangan tokoh-tokoh pesantren yang sangat dihormati masyarakat. Nggak cuma di lembaga pendidikan Islam, pelecehan seksual juga terjadi di institusi keagamaan milik agama lain.
Dua kasus tersebut—dan kasus-kasus lain yang nggak terekspos media—adalah contoh potret fenomena gunung es kekerasan seksual di satuan pendidikan keagamaan. Kewajiban mematuhi guru menjadi dalih yang digunakan pelaku untuk menjerat korban yang nggak berdaya. Kasus kekerasan seksual banyak menyasar institusi pendidikan model asrama seperti pondok pesantren karena lemahnya pengawasan orang tua. Pelaku merasa punya kuasa penuh terhadap korban. Hal ini tentunya menjadi ironi lantaran pelaku adalah orang yang berwawasan agama yang semestinya paham soal dosa dan neraka.
Maraknya kasus pelecehan ini tentunya memancing respons keras dari masyarakat. Keresahan masyarakat dan urgensi penanganan isu kekerasan seksual dijawab oleh Kementerian Agama dengan meresmikan PMA No. 73 tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada tanggal 6 Oktober 2022.
PMA PPKS ini diberlakukan di seluruh satuan pendidikan formal, non-formal, maupun informal yang menginduk ke Kementerian Agama seperti madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan agama lainnya. Hal yang menjadikan regulasi ini cukup progresif dan layak diapresiasi adalah upaya memasukkan rayuan, lelucon, siulan, dan menatap tanpa izin dengan nuansa seksual ke dalam kategori kekerasan seksual. Langkah ini menjadi pertanda bahwa pemerintah telah mendefiniskan kekerasan seksual secara holistik hingga ke ranah yang paling subtil.
Anehnya, kabar baik soal pengesahan PMA PPKS masih diwarnai dengan komentar kontra dan tanggapan sinis dari berbagai pihak. Saya rasa, kelompok kontra ini bisa dibagi jadi 2 golongan lagi.
Pertama, golongan yang malas membaca. Golongan ini dengan mudahnya kegocek headline berita Kementerian Agama Menetapkan Menatap sampai Bersiul sebagai Kekerasan Seksual tanpa membaca isi beritanya. Padahal di dalam beritanya sudah dijabarkan dengan jelas detail aturannya kalau mereka terlalu malas mencari manuskrip aslinya. Orang-orang seperti ini bahaya juga karena mudah termakan hoaks. Nggak heran kalau indeks membaca di Indonesia masih rendah, salahkan saja orang-orang semacam ini.
Kedua, golongan yang sudah baca detail regulasinya tapi masih nggak setuju. Saya curiga kalau mereka dulunya di sekolah—atau mungkin sampai sekarang—adalah pelaku catcalling di tongkrongan yang sakit hati karena nggak bisa lagi melancarkan aksinya. Kalaupun bukan, bisa jadi mereka kelompok yang suka suka victim blaming.
Ada juga yang menganggap PMA PPKS ini nggak penting dan berpotensi jadi pasal karet. Orang yang punya pemikiran semacam ini agaknya picik sekali, seolah menganggap korban—yang mayoritas perempuan—akan selalu menyalahgunakan hukum untuk kepentingan pribadi. Kalau nggak mau terjerat aturan ini, ya nggak usah catcalling atau ngelempar tatapan mesum lah. Sudah jelas bahwa perintah menjaga hawa nafsu termaktub di dalam kitab suci agama apa pun. Terlepas dari standar moralitas buatan manusia, menjaga hawa nafsu adalah perintah Tuhan. Jadi semua agama telah melarang tindakan amoral yang berujung pada pelecehan dan kekerasan seksual.
Lagi pula, PMA PPKS diberlakukan di satuan pendidikan, yang mana harusnya tindakan urakan yang tak beradab itu nggak dilakukan oleh seorang yang terpelajar. Sudah saatnya kita berpihak pada korban, nggak usah banyak alasan!
Selama ini kekerasan seksual dimaknai sebatas tindakan pemerkosaan saja. Bahkan meraba dan kontak fisik lainnya dengan nuansa seksual masih menjadi hal yang dinormalisasi di masyarakat kita. Sehingga kalaupun korban melapor atau cerita ke pihak ketiga pasti jawabannya cenderung sama, “Ah cuma digituin aja kok, nggak diperkosa. Jangan-jangan cuma perasaanmu aja kali. Siapa tau orangnya nggak sengaja. Nggak usah memperpanjang urusan lah.”
Sangat jelas bahwa di masyarakat kita yang patriarki ini, kepedulian pada korban sangat amat minim, baik kepada korban bergender perempuan maupun laki-laki. Bahkan masyarakat cenderung menyalahkan korban entah karena penampilannya, kegagalannya membela diri selama dilecehkan, atau kecemasannya yang dianggap berlebihan. Padahal banyak kasus pelecehan yang menyasar orang-orang berbaju tertutup dan sopan. Begitu sulit menerima kenyataan bahwa kesalahan ada di otak pelaku yang terlampau mesum dan gagal mengendalikan syahwatnya. Ujung-ujungnya jalan damai menjadi akhir penyelesaian yang klise dan memuakkan, bahkan membuat pelaku nggak jera.
Masyarakat cenderung menilai bahwa kekerasan seksual itu layak diproses kalau ada kerugian fisik, semisal hilangnya keperawanan dan korban jadi hamil atau luka-luka. Kerugian psikologis yang diderita korban nggak pernah masuk dalam perhitungan yang serius.
Pengabaian kerugian psikologis juga mengakibatkan kasus-kasus pelecehan lain semacam catcalling dan kontak fisik non-penetrasi nggak pernah mendapat perhatian masyarakat. Padahal kondisi tersebut bisa membuat korban trauma seumur hidup.
Buat kalian para pelaku, mungkin catcalling adalah tindakan sepele yang kalian anggap bercanda. Tapi dalam sudut pandang korban lain cerita, apalagi kalau kejadian semacam itu sering dialami di masa kecil. Bisa jadi korban akan cenderung nggak nyaman berjalan sendirian di tempat umum karena nggak merasa aman, bahkan hingga usianya menginjak dewasa. Jangan pernah menganggap berlebihan kalau kalian nggak pernah merasakan. Lagi pula tindak pelecehan seksual yang lebih besar bersumber dari hal-hal kecil semacam catcalling, lelucon, dan memandang bernuansa seksual yang terus-menerus dinormalisasi masyarakat. Pembiaran ini membuat pelaku semakin ngelunjak.
Regulasi baru yang progresif ini sangat layak disambut dengan sukacita. Semoga eksekusinya di lapangan dapat berjalan dengan lancar dan dipatuhi seluruh pihak tanpa terkecuali. Sehingga nggak ada lagi peserta didik yang merasa nggak aman dalam institusi pendidikan tempatnya menuntut illmu.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Menatap hingga Bersiul, Ini Daftar 16 Tindakan Kekerasan Seksual dalam Aturan Kemenag.