Sejak mengemukanya berita tentang pledoi Mantan Mensos Juliari Batubara dalam sidang bansos Corona pada 9 Agustus 2021 lalu, yang meminta dirinya dibebaskan dari segala tuntutan kepada majelis hakim, Solikin jadi uring-uringan.
Maklum, mahasiswa yang sedang meledak-ledak semangatnya ini sudah lebih dari setahun tidak turun ke jalan berunjuk rasa.
Majelis di warung Yu Marmi bernuansa tegang malam ini. Kanapi dan Pardi yang membelokkan topik pembicaraan tak berkutik ketika dituduh “tidak peka sosial” oleh Solikin.
***
“Lha ini, akhirnya datang juga…” Kanapi menepuk paha girang, ketika motor butut Cak Narto berbelok ke arah warung Yu Marmi.
“…Kopi, Yu. Pahit…” Kanapi memesan untuk Cak Narto, “…Sampean duduk sini, Cak. Biar Solikin ndak ngomel-ngomel terus…hehehe.” Kanapi terkekeh menggeser posisi duduknya.
Kecut muka Solikin.
“Opo maneh sih, Kin?” Cak Narto mengatur duduk, bertanya sembari mengusap pelan punggung Solikin.
“Sampean ‘kan sudah baca berita tho, Cak? Ini yang dari kemarin aku khawatirkan akhirnya kejadian. Mau dibawa ke mana nasib bangsa ini, kalau para politisinya tidak punya rasa malu begini?” Solikin menggebu.
“Sik tha la, pelan-pelan. Satu-satu. Kekhawatiran apa? Kejadian gimana? Nasib bangsa mana?” Cak Narto menyesap kopi yang masih mengepul dari lepek.
“Mantan Mensos, Pak Juliari Batubara itu, Cak. Dia minta dibebaskan dari semua tuntutan. Padahal sudah terbukti dia korupsi duit bansos buat kita-kita ini.”
“Ooo… terus maksudmu khawatir itu tadi?”
“Iya itu. Kemarin waktu ada mantan jaksa yang dapat korting hukuman dari hakim, aku sudah khawatir hal itu akan jadi inspirasi buat koruptor lain meminta belas kasihan serupa, Cak. Dan benar saja sekarang, kan?” Solikin terengah menjelaskan.
Cak Narto, Pardi dan Kanapi beradu pandang, lantas tersenyum.
“Mbok ya kamu jangan terlalu mengkhawatirkan sesuatu di luar jangkauanmu, Kin. Nggak bagus itu buat imun.” Cak Narto menjeda, membakar kretek. “Kalau semua-mua kamu khawatirkan, ya bisa tambah nggrantes hidupmu, Kin.”
Solikin bergeming. Pardi dan Kanapi saling menyenggol paha. Tersenyum melihat air muka sang aktivis.
“Lagian, Kin. Terlepas dari semua kekonyolan, itu kan hak Pak Juliari Batubara sebagai warga negara, Kin.”
“Hak apa, Cak?”
“Hak membela diri, tho. Makanya namanya sidang pembelaan. Pledoi. Semua warga negara punya hak serupa di persidangan. Urusan diterima atau tidak, dikabulkan atau tidak, itu terserah majelis hakimnya, tho?”
Solikin tercenung.
“Gini, Kin. Daripada kamu mengkhawatirkan ini semua. Coba kamu liat sisi positifnya. Coba dilihat dari sudut pandang lain. Pak Mantan Menteri itu bisa saja menjadi pembuka pintu gerbang humanisme penegakan hukum di Indonesia, lho.” Cak Narto terkekeh pelan.
“Maksudnya, Cak?” Pardi penasaran.
“Lha, korting hukuman dengan dalih kemanusiaan buat mantan-jaksa-yang-juga-seorang-ibu kan sudah, tuh. Siapa tahu, kali ini pembelaan dari Pak Mantan Menteri bakal dikabulkan juga dengan jenis pertimbangan kemanusiaan yang lain. Pertimbangan nasib tumbuh kembang anak-anak tanpa kehadiran sosok ayah.”
“Tolong yang fokus, Cak. Terus maksud pembuka pintu gerbang tadi apa?” Solikin semakin resah.
“Ya, gitu. Setelah ini, di masa depan, majelis hakim harus pula mempertimbangkan nasib istri para koruptor. Nasib istri simpanannya. Nasib supirnya. Nasib terapis langganannya. Dan nasib orang di sekitarnya. Maka dengan itu, pintu gerbang humanisme penegakan hukum telah terbuka.”
“…Dan itu akan sampai pada level selanjutnya. Nanti sebelum divonis, maling sendal juga boleh mengajukan pembelaan yang serupa. Gembong narkoba juga boleh. Bromocorah juga boleh. Siapa saja juga, boleh. Ini urusan kemanusiaan, jé. Harus adil, tho.” Cak Narto terpingkal.
“Wooo yo selak ra mungkin, Cak!” Kanapi mecucu.
“Lho, jangan salah. Di sini tidak ada yang tidak mungkin, Ndes.” Cak Narto menyeka air mata tawa. “Lagian, Ndes, terlepas adanya kemungkinan ‘positif’ itu tadi, sudah semestinya kita mendorong dikabulkannya pembelaan Pak Mantan Menteri itu.”
“Nggak usah bikin statemen aneh-aneh, Cak. Wong pembelaan absurd gitu kok didukung, lho.” Protes Solikin.
“Lha daripada kita masuk ke babak baru drama penegakan hukum. Babak marah-marah. Babak sakit hati. Kayak yang sudah-sudah!” Tukas Cak Narto berteka-teki. Solikin mengernyitkan dahi.
“Gini, lho. Apa kamu nggak tambah sakit hati kalau seandainya, beberapa tahun setelah di penjara, Mbak Najwa Shihab liputan ke rutan, bawa kamera, terus pas disorot kamar sel Pak Mantan Menteri itu ternyata lebih mewah ketimbang kamarmu, Kin? Ada AC-nya. Ada kulkasnya. Ada air pancuran panas-dingin juga. Hehehe.”
“Atau…” belum selesai rupanya khayalan Cak Narto, “…apa kamu ngga marah kalau nanti ada foto candid wajah bapak itu pakai rambut palsu ala kadarnya sedang nonton pertandingan tenis. Atau tertangkap CCTV bandara sedang plesir ke luar negeri, misalnya. Atau lebih jauh lagi, nanti beberapa tahun lagi, selepas keluar dari penjara ternyata dia diangkat jadi komisaris BUMN, misalnya.”
“Hayooo… apa nggak tambah sakit hati kamu. Tambah nggrantes, tho. Makanya harus kita dukung terkabulnya pembelaan beliau. Daripada kamu harus menanggung sakit hati yang sudah terprediksi begitu.” Cak Narto menggigit bibir. Menahan tawa.
“Oooo…aku ngerti, Cak. Maksud Sampean kalau mau edan nggak usah nanggung-nanggung gitu kan? Di-pol-kan sekalian gitu, tho?” Kanapi tergelak.
“Lha iya, tho. Untuk sampai pada anti-klimaks, sebuah lakon harus melewati fase klimaks dulu. Maka, ngga perlu kamu terlalu memusingkan semua drama ini. Biarkan segala ke-absurd-an ini terwujud paripurna. Biarkan kekonyolan-kekonyolan dipertontonkan di atas sana. Biarkan sirkus politik digelar di atas hamparan mayat rakyat. Nanti bangsa ini akan mencapai anti-klimaksnya sendiri.”
Kalimat Cak Narto meluncur begitu saja. Datar. Berkelindan dengan rasa marah dan keheranan. Ia menggeleng. Tersenyum, meski kecut.
***
Bulan purnama malam ini tertutup kabut. Di sudut pemakaman desa, burung hantu dan serangga malam bersahutan. Tak ada yang dapat menafsir dialog mereka.
Di dalam kandang, induk sapi menyuruh sang anak menutup mata, “Tidur lah, Nak. Tak perlu kau pikirkan. Besok masih ada bentuk ke-absurd-an yang lain.”
Segala keheranan, rasa marah dan kecewa tersimpan rapi di antara embun malam yang mengembang di daun pohon bambu.
BACA JUGA Mentertawakan Permohonan Bebas Juliari Batubara, si Paling Menderita dan tulisan Suwatno lainnya.