Beberapa hari lagi, kita akan memasuki bulan Ramadan. Bulan penuh yang seringkali dikenali sebagai bulan yang penuh diskonan ampunan yang dinanti umat muslim se-dunia. Selain itu bulan Ramadhan juga merupakan bulan, setidaknya bagi saya, yang sekaligus menghadirkan kenangan-kenangan menyenangkan dari masa ke masa.
Kemarin, seorang kawan lama menelpon saya, sebut saja Indra. Kami dulu mondok bareng di sebuah pesantren, di Jombang, Jawa Timur. Sekarang dia bekerja di sebuah peternakan ayam dan saya baru saja rampung kuliah. Walaupun udah lama nggak ketemu, tapi hubungan kami masih sangat baik. Dia membicarakan banyak hal tentang pesantren.
Jujur, sehabis ngobrol sama dia, saya jadi kangen berat sama suasana pesantren saat Ramadan.
Bagi saya, dan mungkin sebagian besar alumni pesantren semi-salaf (atau yang salaf tulen) lainnya, spirit menyambut Ramadan bukan hanya ditampilkan dalam corak budaya seperti keliling masjid demi berburu takjilan plus buka puasa gratis atau membangunkan orang sahur dengan memukul bedug dan kentungan. Spirit Ramadan kami adalah, bagaimana caranya melalui “ngaji kilatan” dengan sukses dan bisa pulang ke rumah, paling nggak, sehari setelah memperingati Nuzululquran.
Tentu ngaji kilatan ala pesantren beda sama pesantren kilat di sekolah-sekolah formal. Sepemahaman saya, ngaji kilatan berarti kegiatan mempelajari satu atau lebih kitab klasik (bisa kitab kontemporer sih, konon, tapi saya seringnya klasik) dan mengkhatamkannya pada pertengahan Ramadan. Walaupun, kadang ada juga yang sampai menjelang lebaran. Metodenya, kiai atau ustaz akan membacakan isi kitab yang dipelajari beserta maknanya. Sementara para santri cuma mendengarkan dan mencatat tafsir yang dituturkan sang kiai atau ustaz tersebut. Santri mencatat maknanya langsung di bawah baris tulisan arab gundul dalam kitab, sesuai kata per kata.
Ngaji kilatan di pesantren biasanya terbuka untuk umum. Siapa saja boleh ikut. Tapi khusus santri reguler, hukumnya wajib dan mereka yang nggak full ikut kilatan plus catatan maknanya bolong-bolong, bisa nggak dibolehin mudik sama pengurus pesantren.
Tapi sekalipun kedengarannya monoton, ketat, dan gampang bikin bosan, sebenarnya ada hal-hal yang sangat bermanfaat dalam ngaji kilatan. Berikut ini beberapa di antaranya :
- Melatih kesabaran
Nah ini barangkali salah satu faktor kenapa lulusan pesantren orangnya cenderung penyabar. Sebab, dia emang udah dibekali kesabaran dari sejak ikut ngaji kilatan. Lha gimana nggak sabar? Kadang, dalam mencatat tafsir yang dituturkan kiai atau ustaz, kita mesti ngikut intonasi beliau. Salah seorang ustaz yang saya ikuti pengajiannya dulu, misalnya, kalau baca kitab cepetnya masyaallah. Mungkin karena saking fasihnya beliau. Tapi saya malah jadi nggak bisa bedain beliau lagi baca kitab atau kumur-kumur. Dan kalau frustasi nggak bisa ngikutin intonasi beliau, saya biasanya memilih tidur daripada kesal sendiri.
Selain intonasi, biasanya kita juga mesti menyesuaikan ketahanan pengampu dan ketebalan kitabnya. Kalau pengampunya tahan lama dan kitabnya tebel banget, terus kita mesti selesai dalam dua minggu, bisa dibayangkan secepat dan selama apa beliau akan membaca. Itu pun masih ditambah godaan kipas angin masjid yang perlahan berusaha melelapkan mata.
- Menambah wawasan
Oh, ini jelas. Ada banyak hal yang bisa dibahas kitab-kitab klasik. Fiqih, tafisir jalalain, hikayat, dan lain sebagainya. Salah satu favorit saya dkk adalah ikut kajian Qurratul ‘Uyun. Ini kitab yang penting banget buat yang mau nikah. Dulu saya belajar ini supaya bisa menyenangkan istri kelak, hehehe.
- Menjauhi maksiat
Walaupun Prabowo Subianto bisa saja melakukan deklarasi sampai 10 kali dan bikin orang-orang geregetan, kemudian menjelek-jelekkan dia, saya kira santri yang ikut ngaji kilatan di pesantren nggak akan peduli soal itu. Atau kalau misalnya, Mia Khalifa tiba-tiba memutuskan bikin video baru, juga nggak akan ada santri yang punya waktu luang buat mengunduhnya. Lha gimana? Wong tiap hari mesti nambal catatan tafsir kitab supaya bisa mudik. Habis itu, mereka juga nggak boleh telat ikut ngaji kilatan. Nyatet sambil ngikutin intonasi ustad yang kelewat cepat plus usaha nahan ngantuk pas ngaji aja udah susahnya luar biasa.