Pesantren dan Romantisme Hidup Santri Saat Hafalan Wazan Fa, ‘A, La

Mempertanyakan Mengapa Santri Dilarang Punya Rambut Gondrong terminal mojok.co

Mempertanyakan Mengapa Santri Dilarang Punya Rambut Gondrong terminal mojok.co

Sebelum berbicara tentang dunia pesantren dengan segala tetek bengeknya, terlebih dahulu saya ingin minta maaf kepada seseorang di masa lalu. Saya ingin minta maaf pada diri sendiri yang dulu tidak mandi saat masuk kelas, minta maaf karena pura-pura BAB demi sembunyi di lemari karena tidak salat subuh, tertidur saat pengajian, selalu mengambil saf belakang karena tidak mau disuruh baca kitab, ketiduran di ruang imam padahal orang sedang salat subuh, menggoyangkan lemari teman karena tahu di dalamnya ada makanan, ikut pengajian orang meninggal karena ingin dapat amplop, memakai sandal pembina tanpa izin, mencuri odol, bolos pesantren untuk menonton El Clasico, dan berani mendekati santriwati senior yang kakaknya adalah juara MTQ Nasional. Untuk diri saya yang dulu, saya ingin mengatakan, kamu adalah bajingan yang menyenangkan dan suatu saat kamu akan jadi orang hebat, percayalah!.

Mondok, atau lebih tepatnya dipaksa oleh kedua orang tua masuk pesantren dan menjadi santri, merupakan privilese yang tidak semua anak pernah rasakan. Saya masih cukup ingat hari di mana nenek harus pamit pergi setelah mengantarkan saya untuk mondok di hari pertama.

Saat itu, saya harus berpura-pura tegar demi menjaga kewibawaan saya sebagai seorang lelaki, terutama di hadapan santri senior. Sesaat sebelum pergi kembali ke kampung, nenek sedikit merapikan pakaian dan sarung yang ada di lemari. Saat itu pun tiba, nenek pamit, “Nenek pulang ya, Nak.” begitu kira-kira yang dia katakan, dia menyodorkan tangan untuk saya cium, dilanjutkan mengusap kepala saya, dan membaca sebaris dua baris doa. Entah apa yang dibacanya, sesaat dada saya yang sebelumnya bergejolak, menjadi lebih tenang, air mata yang harusnya sudah tumpah, berhasil saya tahan.

Syukurlah, bukan semata-mata karena saya malu, tapi agar nenek bisa lebih tenang meninggalkan saya di pesantren. Saya pun melepas nenek pulang dengan memalingkan muka, bergegas ke kamar, seolah ada kesibukan, padahal sebenarnya tidak.

Apa yang harus terjadi akhirnya terjadi, air mata saya tumpah bagai tanggul jebol. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasakan sakitnya ditinggalkan oleh orang yang paling saya sayangi. Saking sedihnya, saya bahkan bisa merasakan air mata keluar melalui hidung, air mata atau sebenarnya ingus, entahlah.

Seorang anak yang baru saja lulus SD, sudah harus pergi meninggalkan kampung, keluarga, teman-teman dan Tamiya kesayangannya. Saya bahkan meneteskan air mata hanya karena mengingat perbedaan WC jongkok di rumah dan di pondok.

Minggu pagi yang biasanya dimulai dengan menonton Super Yoyo di Indosiar diakhiri dengan Ben10 pada pukul satu siang, kali ini harus diisi dengan kegiatan berfaedah, kajian subuh Tafsir Jalalain, dilanjutkan pelajaran sekolah pagi hingga siang. Belum lagi dengan tugas hafalan Al-Quran yang harus disetor ba’da asar, sabar dan tetap tegar, habis zuhur langsung hajar, anjay mabar. Pesantren bagi saya adalah penjara yang suci.

Cukup sampai di situ? Tidak semudah itu, Harmoko! Saya tak tahu bagaimana dengan pondok lain, di pesantren saya, bagi santri baru biasanya akan terkena wabah penyakit gatal, berair dan bernanah. Sebagian guru percaya, bahwa itu pengaruh air yang tidak bersih, ditambah kuman di baju dan handuk karena santri tidak mencucinya dengan bersih. Tapi, pembina dan ustaz biasa mengaitkan penyakit ini dengan aspek spiritual.

Menurut mereka, ini adalah bentuk pengguguran dosa setelah memasuki pesantren, sebuah alasan yang terdengar setimpal, mengingat penderitaan yang kami rasakan akibat gatal-gatal itu luar biasa, belum lagi rasa malu saat dilihat santriwati. Alasan yang belakangan saya pertanyakan kembali. Kira-kira dosa macam apa yang telah diperbuat oleh anak yang baru lulus SD sampai mereka harus dihukum dengan penyakit seperti itu? Ah sudahlah!

Tradisi menghafal menjadi prinsip yang dipegang teguh oleh pondok pesantren tradisional, mulai dari tahfiz Al-Quran, hadis, kitab Nahwu Sharaf, hingga Alfiyah Ibnu Malik yang berisi bait syair, sudah menjadi makanan pokok sehari-hari bagi santri di pondok.

Itulah mengapa seorang santri tulen pasti memiliki kemampuan berakrobat kata-kata dan beretorika di atas rata-rata. Itu semua karena kami terbiasa dengan tradisi menghafal dan bersyair, terkecuali untuk alumni Ppsantren kilat yang hanya hafal “kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnaar”.

Yang menjadi kunci dari kemampuan membaca dan menerjemah bahasa Arab santri tradisional adalah hafalan wazan “fa, ‘a, la”, selain hafalan dhamir, inilah salah satu yang “paling mudah” untuk diingat. Saking lancarnya me-wazan, kami bahkan bisa lebih cepat dari rapper di lagu tema Kera Sakti.

Ustaz yang bertugas untuk menguji kemampuan me-wazan atau menimbang kosa kata Arab biasanya akan menyodorkan satu kata untuk ditimbang, mulai dari fi’il madhi, mudhari’, mufrad, mutsanna, jamak, isim makan dan zaman, fa’il dan maf’ul, itulah yang bisa saya ingat.

Untuk mengelabui ustadz saat tes, saya biasanya akan melafalkan secepat dan semampu saya, jika ditemukan kesalahan, Ustadz tidak akan segan-segan mengayunkan tongkat (sepertinya) dari ranting pohon jambu biji yang sudah dia siapkan, didahului dengan “bismillah”, wuunggg… TAAAK! Tongkat itu pun mendarat tepat di paha luar, meninggalkan bekas yang biasanya bertahan tiga hari sampai satu minggu. Sambil menahan air mati, saya melanjutkan hafalan dengan suara parau. Mungkin itulah alasan mengapa hafalan “wazan fa, ‘a, la” menjadi kemewahan terakhir saya yang tersisa sebagai santri, di saat hafalan Qur’an dan Hadis, mulai menghilang karena terlalu banyak dosa.

Mengingat romantisme hidup di pesantren adalah sebuah momen menyenangkan. Terlebih pada Oktober kita kembali merayakan Hari Santri Nasional. Ah, jadi kangen kawan-kawandi pondok dulu. 

BACA JUGA Kaum yang Beli Motor Trail Cuma buat Gaya, Kapan Tobat, Bos? dan tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version