Beberapa bulan yang lalu, dunia dihebohkan oleh demo besar para ilmuwan. Peristiwa ini terjadi di Los Angeles, Amerika Serikat, tepatnya di depan gedung JP. Morgan Chase. Mereka menuntut kita semua penghuni bumi untuk lebih peduli kepada masalah perubahan iklim. Bahkan mereka menyebutnya dengan istilah “krisis iklim”.
Melansir IPCC (Intergovernmental Panel On Climate Change), kita harus bisa menekan peningkatan emisi gas rumah kaca dalam 3 tahun ke depan. Jika gagal, masalah perubahan iklim akan berubah dari isu lingkungan menjadi krisis sosial.
Suara para aktivis lingkungan yang diabaikan
Menurut Peter Kalmus, seorang ilmuwan dari NASA yang ikut dalam demo, beberapa dekade yang lalu, para ilmuwan sebetulnya sudah memberi peringatan kepada dunia. Namun, pemerintah-pemerintah di dunia mengabaikan suara mereka.
Peter Kalmus sendiri meniatkan diri demo di depan gedung JP. Morgan untuk sebuah alasan yang jelas. Menurutnya, bank milik JP. Morgan menjadi salah satu pendonor banyak proyek terkait pembaharuan energi fosil di dunia. Proyek yang menyumbang emisi gas rumah kaca.
Beberapa aktivis perubahan iklim di dunia melakukan aksi serupa. Salah satunya di Inggris. Para ilmuwan dan aktivis dari Extinction Rebellion (XR) menggelar demo di depan kantor pusat Shell. Para aktivis bahkan menghentikan mobil-mobil besar yang sedang mengantarkan minyak. Selain Inggris, aktivis perubahan iklim di dunia menggelar demo di Jerman, Meksiko, dan Spanyol.
Sebuah kejadian mengejutkan, sekaligus mengecewakan, terjadi di tengah wawancara Good Morning Britain. Respons dari pembawa acara seolah memojokan bintang tamu bernama Miranda Whelehan yang sedang membahas krisis iklim. Dia adalah aktivis lingkungan dari organisasi bernama Just Stop Oil.
Si pembawa acara bahkan sempat mengolok nama organisasi Just Stop Oil. Menurutnya, nama organisasi itu sangat kekanak-kanakan.
Tidak berhenti sampai situ, si pembawa acara bahkan menyerang pakaian yang dikenakan Miranda Whelehan. Katanya, untuk mengangkut pakaian yang dikenakan Miranda, tentu butuh kendaraan. Kendaraan yang pastinya mengonsumsi energi fosil.
Padahal, di acara tersebut, Miranda hanya ingin mengajak kita semua di dunia untuk bersama-sama mengurangi ketergantungan akan energi fosil. Ancaman perubahan iklim itu sangat nyata, tapi warga dunia masih tutup mata. Mencari sumber energi baru adalah masalah urgent.
Potensi bencana untuk Indonesia
Mengutip data IPCC, negara yang paling banyak memproduksi emisi gas rumah kaca adalah negara-negara Eropa, Amerika Utara, dan Asia terutama Cina. Negara yang akan menerima dampak dari bahayanya perubahan iklim pertama kali adalah negara tropis. Iya, benar, salah satunya, Indonesia.
Masalah terbesar dari dari semua ini adalah banyak dari kita masih menganggap perubahan iklim sebatas isu lingkungan. Bahkan bagi banyak orang, krisis iklim itu bahasan basi. Seakan-akan, krisis iklim cuma terjadi sekali di masa lalu, lalu selesai, dan tidak layak dibahas karena sudah out of date. Padahal, krisis iklim semakin mengkhawatirkan.
Kelak, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, masalah perubahan iklim akan berubah jadi krisis sosial. Ketika hal itu terjadi, saya rasa, semuanya sudah terlambat.
Dampak perubahan iklim
Berikut beberapa kemungkinan yang akan terjadi apabila selama dalam waktu dekat tidak ada niat serius menangani perubahan iklim.
#1 Bencana alam
Perubahan iklim yang terlalu ekstrem, salah satunya, mengakibatkan suhu bumi naik signifikan. IPCC mencatat bahwa jika kita gagal menekan emisi gas rumah kaca, permukaan air laut akan naik secara drastis. Sudah begitu, es kutub ikut mencair. Siap-siap saja kita semakin sering melihat banjir terjadi di daerah yang sebelumnya aman-aman saja.
#2 Kelangkaan bahan pangan
Perubahan iklim yang sudah terlambat ditangani akan menyebabkan gagal panen dalam skala besar. Saya rasa, sektor pertanian yang akan menderita paling besar dan paling parah.
Ingat, Indonesia adalah negara agraris (konon, sih, masih begitu). Oleh sebab itu, petani yang sudah menderita saat ini, akan merasakan dampaknya lebih keras dibanding kita semua.
#3 Kejenuhan ekonomi
Seiring gagal panen dalam skala besar dan terjadi di banyak lini, harga bahan pokok sudah pasti melonjak. Hal ini akan berdampak ke kualitas ekonomi sebuah negara. Jelas, salah satunya adalah Indonesia. Mereka yang miskin sudah pasti menjadi “korban pertama”. Selebihnya, tinggal menunggu waktu saja.
#4 Kemunculan penyakit baru
Perubahan iklim secara ekstrem mempunyai potensi memicu timbulnya berbagai penyakit infeksi. Apalagi ketika terjadi pemanasan berkepanjangan dan ketidakstabilan Iklim. Konon, perkembangan hampir semua agen infeksius (virus, bakteri, parasit) dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat.
Ingat, mencairnya es kutub sudah membuka banyak virus kuno nan berbahaya yang lama “tertidur di dalam es”. Ini berita yang sangat penting, tapi telinga-telinga kita tak mau menggubrisnya.
Nah, itulah 4 risiko berbahaya dari perubahan iklim yang tidak tertangani. Kita semua sudah merasakan efeknya, kok. Misalnya, kenaikan harga bahan pangan, terutama hasil pertanian.
Yang sudah dan akan kita rasakan
Rata-rata harga cabai rawit sudah menyentuh harga Rp87.000 per kilogram. Mengutip data dari Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP), harga cabai rawit sempat menyentuh Rp148.750 per kilogram untuk Kabupaten Bangka Belitung.
Soal keberadaan virus dan penyakit baru, saya curiga Covid-19, cacar monyet, dan Penyakit Kuku dan Mulut (PMK) terjadi karena perubahan iklim yang tak kita gubris selama ini. Semoga kecurigaan saya salah.
Nah, salah satu upaya yang bisa kita lakukan adalah mencari bahan bakar terbaru untuk menggantikan bahan bakar energi fosil. Cepat atau lambat, mau tidak mau, kita tidak bisa menghindar dari benih yang akan berkembang menjadi badai besar dan merusak dunia yang kita kenal.
Semuanya tinggal menunggu waktu….
Penulis: Muzadi Yazid
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Takut Mati, Alasan Utama Orang Denial tentang Isu Perubahan Iklim.