• Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
Terminal Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
    • Game
    • Fesyen
    • Otomotif
    • Olahraga
    • Cerita Cinta
    • Gadget
    • Hewani
    • Personality
    • Nabati
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Acara TV
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
    • Game
    • Fesyen
    • Otomotif
    • Olahraga
    • Cerita Cinta
    • Gadget
    • Hewani
    • Personality
    • Nabati
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Acara TV
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
  • Pojok Tubir
  • Kampus
  • Hiburan
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
Home Featured

Persebaya Bukan AC Milan, Surabaya Bukan Napoli

Oryza A. Wirawan oleh Oryza A. Wirawan
20 Juni 2020
0
A A
persebaya

Persebaya Bukan AC Milan, Surabaya Bukan Napoli

Share on FacebookShare on Twitter

Sepak bola Indonesia dan Italia ada kemiripan. Sama-sama ada skandal pengaturan skor. Suporternya sama-sama keras kepala dan berisik. Juga tak pernah bisa bersih dari politik. Profesionalisme sepak bola di Italia bertautan kepentingan dengan oligarki politik. Sementara itu di Indonesia sebagian besar petinggi sepak bola adalah pejabat pemerintah atau politisi.

Asal-usul sepak bola di Italia, menurut sejarawan dan jurnalis John Foot, bahkan dipolitisasi. Awalnya, kosa kata bahasa Inggris ‘football’ digunakan sebagai bagian dari nama federasi sepak bola Italia, yakni Federazione Italiana Football. Masuknya elemen bahasa Inggris tak lepas dari sejarah pengaruh Britania dalam pembentukan klub di sana. Konon klub sepak bola pertama di Turin dibentuk oleh Edoardo Bosio sepulangnya bekerja dari pabrik tekstil di Nottingham, Inggris.

Namun semangat nasionalisme menolak pengaruh Inggris itu. Kata ‘calcio’ dipilih menggantikan ‘football’ untuk menunjukkan bahwa sepak bola sudah ditemukan di Italia ratusan tahun sebelumnya. Rezim fasis Benito Mussolini memperkuat politik nasionalisasi sepak bola tersebut. Saking kuatnya identifikasi politik dengan sepak bola, klub-klub pun diidentifikasi dengan ideologi tertentu: Lazio identik dengan politik sayap kanan, sementara Inter Milan didukung fans sayap kanan dan banyak suporter berideologi sosialis.

Nasionalisme dan sepak bola juga saling berkaitan di Indonesia. Sepak bola diperkenalkan oleh orang-orang Belanda. Namun, sejarah menunjukkan, klub-klub sepak bola lokal amatir lahir untuk melawan politik diskriminasi dan segregasi di lapangan hijau, sekaligus mengukuhkan identitas kebangsaan. Surabaya memainkan peran penting di dalamnya, termasuk dalam pembentukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.


Jika pada awal 1900 hingga 1940-an, politik sepak bola di Indonesia dan Italia lebih diarahkan pada penguatan nasionalisme, maka setelah perang dunia berakhir dan negara bangsa yang merdeka terbentuk hingga saat ini, sepak bola lebih banyak dimanfaatkan untuk politik elektoral.

Achille Lauro, seorang pengusaha kapal, menguasai klub Napoli untuk memperbesar pengaruh politiknya pada dasawarsa 1950-an. Jargonnya: Un grande Napoli per una grande Napoli. Naples untuk Napoli Raya. Tahun 1952, dia mendapatkan dukungan 117 ribu suara dan menjadi wali kota pada dekade 1950-1960.

Nama lain yang memanfaatkan sepak bola untuk kepentingan politik elektoral adalah Silvio Berlusconi, seorang ‘media tycoon’. Dia beli AC Milan pada 1986, setelah sebelumnya sempat berniat membeli rival sekota Inter Milan. Dia memanfaatkan Milan untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitasnya bersama partai Forza Italia.

Itu semua bukannya tanpa kesengajaan. “Setelah riset panjang, para penasihat Berlusconi datang dengan membawa kesimpulan bahwa satu-satunya bahasa yang bisa menyatukan orang Italia adalah sepak bola. Separuh dari pemilih mengaku sebagai fans sepak bola,” kata Foot.

Berlusconi pun mentransfer trio Belanda (Gullit, Rijkaard, Van Basten) untuk mendaratkan trofi di AC Milan. Setelah itu, dalam kampanye politiknya dan setelah menguasai kursi perdana menteri, dengan simpel dia berkata: saya akan bikin Italia seperti Milan. Dan orang-orang pun paham: Milan sinonim dengan kesuksesan dan kejayaan. Namun saat kekuasaan Berlusconi berakhir dengan diwarnai skandal seks, berakhir pula kejayaan AC Milan dalam sepak bola domestik dan internasional.

Di Indonesia, politisasi sepak bola juga dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan negara. Selama masa Orde Baru, politisi dan kepala daerah akan habis-habisan mendukung kejayaan klub sepak bola perserikatan dengan anggaran negara. Terbentuknya kompetisi Liga Sepak Bola Utama (Galatama) yang semi profesional sempat membawa harapan bahwa klub sepak bola bisa mandiri tanpa urusan politik dan dibiayai negara. Namun harapan itu segera kandas, setelah Galatama justru dililit penyakit suap dan berkurangnya kekuatan ekonomi pemilik klub.

PSSI kemudian memang menyatukan satu model kompetisi dengan menyatukan klub-klub perserikatan dan Galatama dalam satu payung. Namun itu tidak mengubah kebiasaan politisasi sepak bola hingga saat ini. Kendati pemerintah sudah melarang penggunaan anggaran negara untuk membiayai klub sepak bola profesional, sepak bola tetap menggiurkan bagi para politisi dalam momentum pemilihan, terutama di kota-kota besar yang memiliki klub kuat dengan suporter besar seperti Surabaya dan Persebaya.

Beruntung, Persebaya hari ini sudah benar-benar profesional dan lepas dari pendanaan negara. Klub ini dihidupi dengan uang tiket yang dibeli Bonek, hasil penjualan merchandise yang memiliki harga relatif tinggi dibandingkan merchandise resmi klub lain, dan sponsor yang berdatangan karena tertarik dengan magnet fanatisme pendukung Persebaya. Siapa pun yang duduk di kursi parlemen atau balai kota, Persebaya tetap akan hidup selama Bonek dan takdir Tuhan menghendakinya.

Namun, ada yang tidak berubah. Setiap kali tiba musim pemilihan umum legislatif dan pemilihan kepala daerah, selalu ada sejumlah politisi yang mengenakan syal maupun jersey Persebaya dan datang langsung ke stadion. Mereka ikut menonton di tribun VVIP, melambaikan tangan saat ada penonton lain yang mengambil foto lewat ponsel, dan ikut bersorak saat Persebaya mencetak gol. Saya tidak tahu apakah mereka hapal dan ikut menyanyikan Song for Pride.

Persebaya adalah Surabaya. Para politisi ini berusaha mengidentifikasikan diri dengan Persebaya, karena ingin menunjukkan kepada para pemilih bahwa mereka adalah bagian dari Surabaya. Tak peduli apakah sebelum musim pemilihan tiba mereka lebih banyak mengurusi bisnis di Jakarta atau ke luar negeri daripada bertemu warga di kampung atau perumahan mereka sendiri.

Identifikasi diri memang cara paling mudah untuk memikat pemilih. Politik pencitraan. Politik artifisial. Politik yang memamerkan citra diri yang kasat mata. Dangkal-dangkal saja. Tidak butuh keseriusan. Politik citra diri hanya ingin membuat pernyataan kepada publik: bahwa saya adalah bagian dari kalian, bagian dari masyarakat, dan dalam konteks Persebaya dan Surabaya, saya adalah bagian dari warga Surabaya yang cinta Persebaya. Ia ingin menggugah sisi primordial dan emosional pemilih: solidaritas identitas.

Politik citra diri seperti ini tak ubahnya jebakan bagi pemilih untuk tidak mempertanyakan lebih jauh lagi kapasitas dan kualitas politisi. Jebakan emosional dalam bungkus kesamaan identitas sebagai penggemar Persebaya, bisa membuat pemilih tak kritis untuk bertanya: apa yang bisa dilakukan si politisi untuk masyarakat Surabaya jika terpilih; dan jaminan apa yang bisa diberikan, jika saat terpilih, Persebaya maupun Bonek akan benar-benar mendapatkan manfaat.

Tak ada yang bisa menjamin seseorang akan menepati janji politik. Tak ada konsekuensi hukum pula bagi seseorang yang mengingkari janji politik. Itulah kenapa setiap kali pemilihan berakhir dan pemenang diumumkan, bulan madu selalu berjalan singkat. Saat pencitraan berakhir dan polesan bedak sudah dihapus dari wajah, yang tersisa hanyalah kekecewaan pemilih. Dan pemilih dengan susah payah harus membangun kepercayaan diri untuk menumbuhkan harapan dalam pemilihan lima tahun berikutnya.

Sejarah di Italia menunjukkan bahwa saat politik dan sepak bola bertemu, maka politik lebih diuntungkan dan karenanya masyarakat yang dirugikan, fans dikecewakan. Sukses Achille Lauro di bidang politik berbanding terbalik dengan sukses Napoli di lapangan hijau. Dia berhasil menjadi wali kota, namun jangankan meraih juara Serie A, Napoli justru terdegradasi ke Serie B dua kali pada 1961 dan 1963. Politik tak bisa menyelamatkan klub itu. Napoli justru dibangkitkan bukan oleh politisi dan jargon, namun oleh talenta seorang pemain Argentina bernama Maradona dua dekade kemudian.


Pelajaran pentingnya: biarlah kemiripan di dunia sepak bola berhenti sampai di sini. Indonesia bukan Italia. Persebaya bukan AC Milan. Surabaya bukan Napoli.

BACA JUGA Persebaya 93 Tahun, Menerjemahkan Rivalitas Sebagai Aktualisasi Diri, Bukan Sekadar Cinta dan Benci dan tulisan Oryza A. Wirawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 20 Juni 2020 oleh

Tags: italiapersebayaSepak BolaSurabayaulang tahun persebaya
Oryza A. Wirawan

Oryza A. Wirawan

Jurnalis, Bonek, dan Penulis Buku Drama Persebaya

Artikel Lainnya

Grand Heaven Surabaya, 'Hotel Jenazah' dengan Fasilitas Mewah Terminal Mojok

Grand Heaven Surabaya, ‘Hotel Jenazah’ dengan Fasilitas Mewah

27 Juni 2022
Lamongan (Unsplash.com)

Lamongan Tak Butuh Diromantisasi, Apalagi Dibandingin Sama Jogja

23 Juni 2022
5 Rekomendasi Mi Ayam Dekat Kampus UNESA Ketintang, Wajib Disikat!

5 Rekomendasi Mi Ayam Dekat Kampus UNESA Ketintang, Wajib Disikat!

19 Juni 2022
4 Tempat Wisata Malam di Surabaya yang Ramah Kantong

4 Tempat Wisata Malam di Surabaya yang Ramah Kantong

13 Juni 2022
Mengenal Sell-on Percentage dan Efeknya untuk Klub-klub Kecil

Mengenal Sell-on Percentage dan Efeknya untuk Klub-klub Kecil

11 Juni 2022
5 Alasan Banyak Pemain Asal Jepang Memilih Berkarier di Liga Indonesia

5 Alasan Banyak Pemain Asal Jepang Memilih Berkarier di Liga Indonesia

7 Juni 2022
Pos Selanjutnya
beli laptop second

Beli Laptop Second Bisa Super Worth it kalau Kamu Ngikutin Panduan ini

Terpopuler Sepekan

Jangan Nyinyirin Megawati yang Tak Mau Punya Menantu Tukang Bakso

Jangan Nyinyirin Megawati yang Tak Mau Punya Menantu Tukang Bakso

24 Juni 2022
4 Oleh-oleh Khas Solo yang Sebaiknya Jangan Dibeli

Kota Solo, Sebaik-baiknya Kota untuk Menetap

24 Juni 2022
persebaya

Persebaya Bukan AC Milan, Surabaya Bukan Napoli

20 Juni 2020
Stasiun Cipeundeuy Beneran Sakti Atau Keselamatan Harga Mati Terminal Mojok

Stasiun Cipeundeuy: Beneran Sakti Atau Keselamatan Harga Mati?

21 Juni 2022
6 Budaya Kerja Jepang yang Bikin Geleng-geleng Kepala Terminal Mojok

6 Budaya Kerja Jepang yang Bikin Geleng-geleng Kepala

25 Juni 2022
5 Toko Lumpia Paling Enak di Semarang Terminal Mojok

5 Toko Lumpia Paling Enak di Semarang

29 Juni 2022
Saran untuk Warga Jawa Tengah yang Daerahnya Mulai Diserbu Pabrik

Saran untuk Warga Jawa Tengah yang Daerahnya Mulai Diserbu Pabrik

28 Juni 2022

Dari MOJOK

  • Menanti Prambanan Jazz Festival 2022 yang Penuh Kolaborasi
    by Hammam Izzuddin on 30 Juni 2022
  • PPDB SMA/SMK Ditutup, Sekolah Pinggiran di DIY Kekurangan Murid
    by Yvesta Ayu on 30 Juni 2022
  • Teror Spirit di Puncak Bogor Hingga Makassar: Antara Keriaan dan Kemarahan yang Tak terjawab
    by Billy Soemawisastra on 30 Juni 2022
  • Sambangi Sultan, KPK Pastikan Kembangkan Kasus Haryadi Suyuti
    by Yvesta Ayu on 30 Juni 2022
  • Kritik Thomas Doll: Ini Lapangan atau Ladang Angon Sapi?
    by Ali Ma'ruf on 30 Juni 2022

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=GzeZNzywPSE&t=45s

Subscribe Newsletter

* indicates required

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
DMCA.com Protection Status

© 2022 Mojok.co - All Rights Reserved .

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
    • Cerita Cinta
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Hewani
    • Kecantikan
    • Nabati
    • Olahraga
    • Otomotif
    • Personality
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Acara TV
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2022 Mojok.co - All Rights Reserved .

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In