Jika kita ngomongin tentang tempat makan murah khususnya di Jogja, mungkin banyak yang akan menjawab angkringan. Angkringan memang sudah dikenal oleh banyak orang sebagai pilihan murah kuliner di Jogja. Nasi kucing yang menjadi menu andalan, rata-rata cuma dua ribu rupiah per bungkusnya. Hingga saat ini angkringan masih sangat eksis, bahkan menjadi alasan wisatawan datang ke Jogja. Tapi, apakah benar angkringan masih menjadi pilihan dalam hal tempat makan murah dan hemat di Jogja? Hmmm, saya ragu.
Keraguan saya muncul ketika teman saya yang memiliki bisnis angkringan setiap hari mengeluh karena kedai angkringannya semakin sepi. Pelanggan yang datang bahkan itu-itu saja, padahal tempat berjualannya berada di pinggir jalan Wates yang cukup ramai dan dekat dengan lingkungan kampus. Saya cukup prihatin dengan keadaan teman saya karena akhir-akhir ini sering bertingkah aneh. Akhirnya saya memutuskan untuk membantu memecahkan masalah yang dialami teman saya. Terutama untuk menjawab misteri kenapa kedai angkringannya sepi. Pada akhirnya saya menemukan dugaan, yaitu karena kehadiran warmindo atau burjonan.
Untuk memberi pemahaman sedikit, warung burjo atau warmindo adalah sebuah tempat makan yang dulunya dikenal karena berjualan burjo atau bubur kacang ijo. Namun, pada 90-an banyak warung burjo yang mulai menjual menu lain, seperti mi instan, nasi goreng, orak-arik, mi dok-dok, dan varian makanan “effortless” lainnya. Konsep makanan minimalis inilah yang akhirnya membuat warmindo cukup berkembang pesat khususnya bagi para remaja ataupun mahasiswa dengan keadaan dompet pas-pasan.
Dengan alasan murah, mengenyangkan, variasi menu banyak, tempat cukup luas, dan dengan sentuhan wifi gratis, membuat orang-orang akhirnya mulai meninggalkan angkringan dan beralih ke warmindo sebagai alternatif tempat makan murah.
Riset secara mandiri saya lakukan untuk memperkuat dugaan saya. Saya menemukan beberapa alasan kenapa warmindo memiliki potensi mengudeta angkringan. Pertama,saya melakukan observasi terhadap beberapa warung warmindo dan angkringan. Jika dilihat dari hasil observasi, pelanggan yang datang ke warmindo mayoritas anak sekolahan, remaja kuliahan, dan mas-mas kaum urban menengah. Sedangkan untuk pelanggan angkringan, saya menemukan bahwa mayoritas pelanggannya yaitu bapak-bapak gabut dan mas-mas lajang usia 30-an ke atas.
Dari situ saya berasumsi bahwa untuk beberapa tahun ke depan ketika populasi bapak-bapak gabut dan mas-mas lajang sudah berkurang, warmindo akan mengudeta angkringan sebagai alternatif tempat makan murah.
Alasan kedua kenapa warmindo sangat berpotensi mengudeta angkringan yaitu karena budaya nongkrong saat ini sedang meningkat. Jika kita menilai dari bentuk tempatnya, warmindo memiliki meja yang lebih banyak dan luas sementara angkringan (yang tidak menerapkan sistem lesehan) hanya terdiri dari kursi sepanjang dua meter dengan hanya 30 cm bagian meja yang dapat digunakan untuk makan. Dengan alasan kenyamanan dan kelamaan untuk nongkrong, warmindo jelas unggul dari angkringan.
Alasan ketiga mengapa warmindo akan mengkudeta angkringan yaitu dilihat dari arah inovasi yang diambil antara keduanya. Perkembangan warmindo saat ini sangat pesat dan pertambahan tersebut juga diikuti dengan inovasi yang dilakukan oleh pemilik kedai. Kini telah banyak warmindo yang naik level, sudah banyak warmindo yang melakukan penambahan fasilitas pendukung, seperti wifi dan colokan. Dua hal sederhana itulah yang menjadi alasan kenapa warmindo lebih banyak dipilih orang-orang.
Berbeda dengan warmindo, saat ini tidak banyak angkringan yang menyediakan wifi dan colokan, alhasil orang-orang tidak lagi tertarik untuk nongkrong di angkringan.
Alasan terakhir yaitu penurunan kualitas dan kuantitas nasi kucing yang dijual oleh warung angkringan. Satu bungkus nasi kucing zaman sekarang sudah berbeda dengan dahulu, secara kuantitas, nasi kucing sekarang jauh lebih sedikit daripada dulu. Dahulu kita cukup makan dua bungkus nasi kucing dan sudah kenyang. Sekarang kita makan tiga bungkus sekaligus masih kurang.
Secara kualitas juga menurun, saya menilai hal ini dari lauk yang terdapat di dalam satu bungkus nasi kucing. Dulu lauknya bisa menyertai setiap suapan yang kita ambil, sekarang satu suap saja lauknya sudah habis. Dari sini saya menyimpulkan bahwa kualitas dan kuantitas nasi kucing sudah menurun dari “sego kucing” menjadi “sego cemeng” (anak kucing dalam bahasa Jawa).
Dari beberapa analisis dan riset yang saya lakukan bukan tidak mungkin kalau warmindo sangat berpotensi menggeser angkringan sebagai tempat makan murah. Pada akhirnya saya memberikan saran kepada teman saya untuk berhenti mengeluh, tetap berinovasi, menutup kedai angkringannya, dan berganti membuka kedai warmindo. Persaingan perihal tempat makan murah memang keras, Bos.
BACA JUGA Saya Bakul Angkringan dan Ini 6 Menu yang Paling Laris Tanpa Harus Diromantisasi dan tulisan Kuncoro Purnama Aji lainnya.