Perkara yang Membuat Sebagian Orang Abangan Nggak Respek Sama Kiai – Terminal Mojok
  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
Terminal Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Gaya Hidup
    • Game
    • Fesyen
    • Otomotif
    • Olahraga
    • Kuliner
    • Cerita Cinta
    • Gadget
    • Hewani
    • Personality
    • Nabati
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Acara TV
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Politik
  • Media Sosial
  • Nusantara
  • Luar Negeri
  • Gaya Hidup
    • Game
    • Fesyen
    • Otomotif
    • Olahraga
    • Kuliner
    • Cerita Cinta
    • Gadget
    • Hewani
    • Personality
    • Nabati
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Acara TV
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Politik
  • Media Sosial
  • Nusantara
  • Luar Negeri
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Gaya Hidup
  • Hiburan
  • Pojok Tubir
  • Kampus
  • Politik
  • Media Sosial
  • Nusantara
  • Luar Negeri
Home Artikel

Perkara yang Membuat Sebagian Orang Abangan Nggak Respek Sama Kiai

Aly Reza oleh Aly Reza
24 Mei 2020
0
A A
kejawen islam sufistik sufisme abangan kiai MOJOK.CO

kejawen islam sufistik sufisme abangan kiai MOJOK.CO

Share on FacebookShare on Twitter

Selain model ritual ibadah yang agak nyeleneh—sedikit melawan arus utama fikih-syariat masyarakat muslim pada umumnya—orang-orang abangan, setidaknya dari yang saya jumpai, juga punya sentimen tertentu terhadap beberapa oknum kiai. Seperti misalnya yang saya ulik dari Pandi (bukan nama asli), salah seorang penganut abangan yang sejak semester lalu sering diskusi sama saya.

Sebelum melangkah jauh ke pokok bahasan mengenai alasan mereka agak sensi sama beberapa kiai, izinkan saya menjelaskan sesuatu.

Begini, sebagai penganut abangan sejak lahir, Pandi mengaku sudah diberi pemahaman oleh lingkungannya sesama orang abangan bahwa bumi itu adalah kakak dari manusia. Sebab, jika ditarik dari alur sejarahnya nih, ya, secara kronologis bumi itu diciptakan sebelum Adam (manusia) diciptakan. Bumi sudah ada jauh-jauh hari sebelum Adam “diadakan” oleh Pengeran (bahasa orang abangan untuk menyebut Tuhan).

Kenapa disebut kakak? Karena dalam proses selanjutnya, Pengeran “menitipkan” Adam ke bumi dan bumi merawatnya dengan baik dan memberikan apa pun yang dia punya; oksigen, air, dan bentang alam dengan manfaat yang berlimpah, sampai hari ini. Ini adalah gambaran fitrah seorang kakak yang berkewajiban merawat adiknya dengan sebaik-baiknya. Dalam konteks ini adalah bumi merawat manusia.


Ada dua sudut pandang yang unik dari bagian ini. Pertama, orang abangan memilih menggunakan kata “menitipkan” ketimbang “mengusir” atau “menurunkan” (seperti yang kita gunakan selama ini) untuk kasus Nabi Adam.  “Mengusir itu terlalu kasar, Mas. Sementara Pengeran itu welas asih. Kalau menurunkan, rasa-rasanya juga kurang pas karena seolah surga lebih tinggi kedudukannya dari bumi. Padahal keduanya setara; sama-sama makhluknya Pengeran, hanya beda fungsinya saja,” tutur Pandi.

Jadi, “menitipkan” adalah istilah yang menurutnya paling cocok karena pada prinsipnya manusia di dunia memang titipan. Kelak pasti bakal diambil lagi sama yang punya (Pengeran) alias mati.

Sebenernya bagian ini juga menarik, sih, karena biasanya kita berpandangan bahwa yang jadi titipan itu bumi dan seisinya. Mangkanya dalam doktrin agama kita dianjurkan buat jangan terlalu mengejar-ngejar dan menuruti hasrat duniawi karena sifatnya hanya titipan.

Kalau kata orang Jawa, aja kedonyan. Sama orang abangan logikanya dibalik; yang titipan itu kita (manusia). Dititipin ke bumi dan sewaktu-waktu pasti disuruh kembali ke tempat asal (Pengeran).

Baik, kita coba lanjut yang kedua, orang abangan memiliki pemahaman bahwa sebagai kakak, bumi sudah dengan sangat bertanggung jawab kepada kita, adiknya. Mulai dari masa Bapa Adam sampai saat ini, loh.

Sudah berapa ribu tahun bumi menghidupi kita? Maka dari itu mereka punya keyakinan; harus menghargai dan senantiasa berterimakasih kepada bumi melalui ritual slametan dan membalas jasa bumi dengan merawatnya balik; nggak merusak seenak jidat, nggak mengeksploitir secara ugal-ugalan.

“Logikanya gini tho, Mas. Sampeyan punya kakang yang ngerawat sedari kecil. Terus pas udah gede, tiba-tiba sampeyan lupa dan nggak pernah ngasih penghargaan sama sekali ke kakang sampeyan, minimal terima kasih. Kira-kira gimana perasaan kakang sampeyan? Apalagi kalau sampeyan sampai tega menguliti kakang sampeyan sendiri. Sudahlah nggak tahu diuntung, kejem juga iya,” begitu Pandi memaparkan.

“Ya kurang lebih sama dengan bumi, Mas. Sebagai sesama makhluk, saya percaya kalau bumi juga punya perasaan,” tambahnya.

Orang abangan—dalam hal ini adalah Pandi—mengakui ketidakberdayaannya membalas jasa atas segala yang pernah bumi berikan. Sebab kenyataannya, makin ke sini, manusia kian rakus dengan terus menggerogoti dan memamah potensi alam secara tidak terkendali.

Untuk itu, satu-satunya hal yang bisa dilakuin orang abangan adalah mencoba terus berterima kasih dan memberi penghargaan kepada bumi. Tujuannya, biar bumi nggak marah sama adik-adiknya (manusia) yang durjana ini.

Ungkapan terima kasih itu mereka salurkan lewat tradisi slametan dengan menyuguhkan sesajen di tempat tertentu dan dalam momen tertentu pula. Misalnya, menjelang atau sehabis panen. Umumnya sih, kalau nggak di sawah-sawah langsung, melarung sesajen ke laut, kadang juga di pohon-pohon beringin desa yang bagi mereka merupakan simbol kesuburan.

Nah, sayangnya, ada seorang kiai di desa Pandi—menurutnya—terlalu menelan mentah-mentah dogma agama. Sudah sejak awal 2000an praktik semacam itu dilarang di desa mereka. Alasannya syirik lah, apa lah, sesat lah. Padahal si kiai—lagi-lagi menurut Pandi—nggak tahu persis apa yang diniatkan orang-orang abangan dalam melakukan tradisi tersebut.

“Istilahnya gini, Mas, kami ngasih sesajen ke laut itu ya wujud syukur kami karena laut sudah ngasih kami (para nelayan) penghidupan dari sana. Begitu juga hubungan antara sawah dan petani. Emang bener rejeki itu dari Pengeran, tapi kan ada perantaranya, Mas. Perantaranya itu ya alam,” terang Pandi dengan nada agak ditekan.

“Bersyukur kepada Pengeran itu pasti, mas. Tapi berterima kasih kepada kakang kita sendiri ya tetep harus. Ibaratanya gini, saya sakit terus periksa ke dokter. Nah, yang ngasih kesembuhan kan emang Gusti Pengeran, Mas. Tapi yang saya kasih imbalan kan tetep saja si dokter yang ngasih saya obat. Sebab perantara kesembuhannya dari situ. Kalau Pengeran mestinya nggak butuh dikasih imbalan, ha wong kita ini malah nggak bisa apa-apa tanpa Dia, kok,” pungkasnya kemudian.


Bagi Pandi (yang di desanya beberapa masih menganut abangan) oknum kiai kayak gini sangat lancang dan nggak tahu diri. Narasi “menghapus praktik syirik” lewat forum-forum ngaji berhasil memengaruhi sebagian besar masyarakat. Imbasnya, nggak cuma berhenti dari aktivitas slametan, kadang kalau masih ada orang abangan melakukan ritual tersebut, pasti sesajennya dibuang oleh mereka yang melihatnya.

“Sudah belasan tahun di desa ini nggak ada slametan, mas. Jadi sampeyan tahu kenapa desa ini terkenal sangat panas dan paling susah buat ditandur (ditanami) macem-macem tumbuhan. Panen sering gagal, hujan jarang turun. Padahal loh, Mas, di desa sebelah subure puoll. Beda dengan masa belasan tahun silam pas tanah di sini masih subur-suburnya, “ keluh pandi, “saya kira bumi, kakang kita, sudah jengah sama adik-adiknya yang nggak tahu diuntung ini, Mas.”

Jadi, ketidakcocokan orang abangan di sini hanya kepada kiai yang fundamentalis; oknum kiai yang menolak tradisi warisan leluhur. Terlebih jika praktik slametan pure dilakukan tanpa disentuh unsur-unsur keagamaan seperti yang dilakukan Wali Songo. Ada sih orang abangan yang menerapkan konsep akulturasi semacam ini. Namun, khusus Pandi (selaku informan saya), ada di posisi tidak memasukkan unsur agama di dalamnya.

“Jadi, kalau ada kiai yang luwes dan longgar, sampeyan apa bisa respek ke mereka?” Tanya saya.

“Oh tentu, Mas, kalau itu. Kami hanya nggak suka sama kiai yang sok ngatur dan ngelarang ritual ibadah kami, padahal nggak paham maksud sebenernya.”

Nb: ada di pihak manakah Anda sekalian? Lagi-lagi adalah tanggung jawab Anda masing-masing. Tulisan ini tidak punya otoritas membenarkan atau menyalahkan pihak mana pun. Tabik.

BACA JUGA Cari Kerja Itu Tidak Susah dan tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

 

 

Terakhir diperbarui pada 24 Mei 2020 oleh

Tags: abaganislamkiaislametansyirik
Aly Reza

Aly Reza

Muchamad Aly Reza, kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Penulis lepas. Bisa disapa di IG: aly_reza16 atau Email: [email protected]

Artikel Lainnya

Kiamat Sudah Dekat Adalah Sinetron Deddy Mizwar Paling Genuine Terminal Mojok.co

Kiamat Sudah Dekat Adalah Sinetron Deddy Mizwar Paling Genuine

18 April 2022
Bagi Pria Madura, Songkok Hitam Tak Sekadar Penutup Kepala

Bagi Pria Madura, Songkok Hitam Tak Sekadar Penutup Kepala

16 April 2022
Membedah Alasan Adegan Doa di Sinetron Indonesia Selalu Dilakukan secara Islam terminal mojok

4 Alasan Adegan Doa dalam Sinetron Selalu Dilakukan secara Islami

8 Desember 2021
Begini Rasanya Jadi Orang Islam di Jepang terminal mojok

Begini Rasanya Jadi Orang Islam di Jepang

21 Oktober 2021
musik haram backST 12 indonesian idol menyanyi konser mojok

Bebas Mau Bilang Musik Haram atau Tidak, yang Penting Jangan Jotos-jotosan

17 September 2021
konflik ahmadiyah minoritas dihina mojok

Masjid Ahmadiyah Dibakar, Prosesi Ibadah Agama Lain Dihina, Selanjutnya Apa Lagi?

7 September 2021
Pos Selanjutnya
cermin lelaki, toxic relationship MOJOK.CO

Dear Love, Jangan Pernah Takut Bilang Cukup Untuk Toxic Relationship, Kamu Berhak Bahagia

Terpopuler Sepekan

Warga Ibu Kota, Nggak Perlu Nyinyir kalau Orang Daerah Antre Mie Gacoan Terminal Mojok.co

Warga Ibu Kota, Nggak Perlu Nyinyir kalau Orang Daerah Antre Mie Gacoan

18 Mei 2022
4 Alasan Surabaya Nggak Bisa Diromantisasi Layaknya Jogja Terminal Mojok.co

4 Alasan Surabaya Nggak Bisa Diromantisasi Layaknya Jogja

19 Mei 2022
Sebagai Orang Magelang, Saya Menuntut Adanya Malioboro di Kota Ini Terminal Mojok.co

Sebagai Orang Magelang, Saya Menuntut Adanya Malioboro di Kota Ini

16 Mei 2022
10 Lagu Bahasa Inggris dengan Lirik yang Mudah Dihafal dan Dinyanyikan Terminal Mojok

10 Lagu Bahasa Inggris dengan Lirik yang Mudah Dihafal dan Dinyanyikan

2 Januari 2022
Transportasi Publik di Surabaya Dibuat Sekadar untuk Gimik Politik Terminal Mojok

Transportasi Publik di Surabaya Dibuat Sekadar untuk Gimik Politik

15 Mei 2022
Cara-cara Starbucks Membuat Pembeli Mengeluarkan Uang Lebih Banyak

Cara Starbucks Membuat Orang Tertarik Beli meski Tahu Harganya Mahal

13 Mei 2022
Rekomendasi 5 Drama Korea Makjang Terbaik Sepanjang Masa Terminal Mojok

Rekomendasi 5 Drama Korea Makjang Terbaik Sepanjang Masa

17 Mei 2022

Dari MOJOK

  • Mie Ayam Om Karman, Filosofi Meja Terisi, dan Semangat Perantau Wonogiri
    by Hammam Izzuddin on 22 Mei 2022
  • Jelang Pilpres 2024, Jokowi Minta Projo Jangan Kesusu Munculkan Nama
    by Yvesta Ayu on 21 Mei 2022
  • Rumah Hantu Malioboro dan Alasan Orang-orang Suka Sesuatu yang Horor 
    by Brigitta Adelia Dewandari on 21 Mei 2022
  • Melintasi Pantura Bersama Roda Lusuh Bus Sinar Mandiri
    by M. Mujib on 21 Mei 2022
  • Syaeful Cahyadi: Menceritakan Makam Untuk Menggali Konteks Kesejarahan
    by Ali Ma'ruf on 20 Mei 2022

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=GwazDvZPZ_Q&t=619s

Subscribe Newsletter

* indicates required

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
DMCA.com Protection Status

© 2022 Mojok.co - All Rights Reserved .

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Gaya Hidup
    • Cerita Cinta
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Hewani
    • Kecantikan
    • Kuliner
    • Nabati
    • Olahraga
    • Otomotif
    • Personality
  • Hiburan
    • Acara TV
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Politik
  • Media Sosial
  • Luar Negeri
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2022 Mojok.co - All Rights Reserved .

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In