Dalam tulisan berjudul sama pada seri sebelumnya, saya udah maparin alasan orang abangan—yang diwakili informan saya bernama Pandi—nggak respek sama kiai. Dalam tulisan tersebut utamanya sih perihal budaya. Orang abangan nggak suka kalau ada kiai yang ngelarang adanya praktik budaya leluhur seperti, selametan, sedekah bumi, larung sesaji, dan sejenisnya yang masih berkembang di tengah masyarakat. Apalagi mereka secara sepihak menganggapnya sebagai bentuk syirik tanpa mau tahu maksud dan makna filosofis dalam setiap tradisi yang dipegang teguh oleh kelompok abangan.
Kali ini saya mohon izin buat maparin hasil diskusi saya sama Kang Andri (30 tahun), bapak dua anak asal Pamotan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, yang ngakunya juga masih merupakan bagian dari kelompok abangan. Nggak jauh berbeda dengan Pandi (informan pada tulisan sebelumnya), Kang Andri diam-diam juga memendam rasa nggak sreg kalau itu hubungannya sama kiai. Baginya, banyak kiai yang ngerasa yak-yak o, paling bener dan paling tahu sendiri kalau ngomongin soal agama, ibadah, dan Tuhan. Padahal, menurut Kang Andri, beberapa kiai nyata-nyata tak ubah tong kosong berbunyi nyaring.
Bukannya nuduh sembarangan ya. Kang Andri ngaku ke saya kalau dia sering gitu adu mulut sama beberapa kiai. Aspek kejawen yang masih dia pegang teguh sampai hari ini sering dipermasalahin sama kiai dan santri-santrinya. Kata si kiai, doa atau wirid dalam bahasa Jawa yang masih dipraktikin Kang Andri dan orang abangan pada umumnya itu salah kaprah. Menurut pandangan si kiai, yang namanya doa atau wirid itu ya pakai bahasa Arab. Kalau pakai bahasa Jawa, selain menyimpang dari tata cara Nabi Saw., juga kemungkinan kabulnya sangat minim.
Kang Andri meresponsnya enteng saja. Dalam pandangannya, doa atau wiridnya Kanjeng Nabi pakai bahasa Arab itu kan karena kebetulan saja beliau diturunkan di Arab. Lah, seandainya Kanjeng Nabi orang Jawa, kemungkinan besar malah pakai bahasa Jawa, loh. Itu kalau ngomongin tata cara doa dan wirid Kanjeng Nabi. Kemudian, gimana bisa doa pakai bahasa Jawa kecil kemungkinan buat diterima?
“Begini, yang nyiptain bahasa dan suku itu kan Gusti Allah sendiri. Ayatnya juga ada kok yang tentang manusia diciptain bersuku-suku. Lah saya ini diciptain jadi orang Jawa dan ditakdirin berbahasa Jawa. Maka yang saya lakukan adalah cukup jadi orang Jawa yang taat,” terang Kang Andri. “Jadi nggak ada yang salah. kalau mau doa atau wirid pakai bahasa Jawa atau yang lain. Lagian, kamu itu loh masiho pakai bahasa alien sekalipun, Gusti Allah tetep paham karepmu, kok. Hla wong Dia yang nyiptain bahasa.”
Berikutnya, Kang Andri berkomentar soal inkonsistensi beberapa kiai—lebih khusus yang pernah dia temui. Ada kiai yang kalau ceramah kayak-kayak dia udah yang paling paham sama maksud apa yang dia sampaiin. Tapi kalau dicecar, sebenernya mereka nggak paham-paham amat.
Contoh dari Kang Andri adalah ketika dia diskusi sama salah seorang kiai yang katanya ahli ibadah, rajin salat malam. Hal sederhana yang ditanyain Kang Andri ke sang kiai yaitu, “Apakah jenengan paham maksud dari penggalan kalimat takbiratul ihram?” Sang kiai tentu mantap menjawab, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah buat Allah.”
“Yang lucu, nyatanya pas saya tanya tarif ngundang ceramah dia, ternyata dia ngasih patokan harga. Pas saya tanya salat buat apa? Katanya biar dapet pahala dan masuk surga. Loh mana? Katanya ibadahku hanya buat Allah? ” gugat Kang Andri. “Pas saya minta sebagian aset yang dia punya, nyatanya masih mikir-mikir. Malah saya dituduh rampok. Padahal katanya tadi hidup-mati buat Allah. Itu namanya belum paham ngaku paham.”
Bagi Kang Andri, jika ngakunya ahli ibadah, harusnya bisa memahami maksud (dalam artian juga ngamalin) dari kalimat tersebut. Di mana setiap apa yang kita lakukan adalah buat Allah semata. Sepi ing pamrih marang sak liyane (tanpa pamrih terhadap yang selain Allah). Kalau kata Syekh Siti Jenar, ibadah itu harus apa pun yang didasari buat Allah saja, titik, tanpa embel-embel lain. Bahkan ngorok saja bisa bernilai ibadah kalau tidurnya diniati memenuhi hukum Allah.
Akhirnya, yang terjadi adalah ceramah tanpa mematok tarif, salat tanpa mengharap pahala dan surga karena tujuannya bukan itu, tapi Allah, suka berderma karena sadar hartanya bukan miliknya, dan ora kedonyan (tidak tamak dunia). Dalam tradisi sufisme kejawen, ini adalah konsep dasar dari mati sajeroning urip (mati dalam kehidupan), alias menyapih dunia, atau istilah Arab-nya zuhud. Sebuah fase untuk menuju manunggaling kawula Gusti (penyatuan diri dengan Ilahi).
“Sekarang jelas, tho, siapa yang Islam-nya cuma KTP?” celetuk Kang Andri sambil ketawa.
Selanjutnya, Kang Andri mengeluhkan banyaknya kiai yang hobinya memonopoli kebenaran; mensyiarkan bahwa apa yang dia sampaikan adalah sebenar-benarnya risalah dan mengklaim yang lain dari dia itu salah. Kiai model begini—menurut Kang Andri—adalah kiai yang arogan dan hanya GR saja ngerasa sudah dekat sama Tuhan.
Buktinya, Kang Andri pernah bertanya kepada salah seorang kiai, “Siapa Anda?” Si kiai dengan mantap menjawab, “Kawulane (hamba) Allah.” Jawaban yang sontak membuat Kang Andri tertawa. Pertanyaannya, udah pantaskah diri ini disebut sebagai hamba Allah? Hamba itu tugasnya melayani. Dan nyatanya kita saja belum pernah bisa melayani Allah dengan sebaik dan setulus-tulusnya. Contohnya ya soal pamrih dalam ibadah tadi. Banyak dari kita yang tekun salat nyata-nyata lebih karena pengin dapet surga, kok. Nyata-nyata kita ngehindarin maksiat lebih karena biar nggak masuk neraka, kok. Bukan murni karena Allah. Gitu ngakunya hamba Allah?
Kata Kang Andri, jawabannya adalah, “Sejatiningsun ora ana (sejatinya aku tidak ada).” Ya, karena hanya berkat welas asih Tuhan lah kita ada. Kalau udah tahu hakikat bahwa diri kita ini nggak ada, otomatis kita nggak bakal bersikap arogan dengan ngerasa paling bener.
“Yang paling bener itu cuma Allah. Dan kita hanya mencakup setitik saja dari kebenaran-Nya. Jadi, nggak pantes ngerasa paling bener dan nyalah-nyalahin yang lain. Yang berhak gitu cuma yang punya kebenaran sejati: Dia,” ucap Kang Andri.
Demikian sih hasil ngobrol santuy tapi berat antara saya sama Kang Andri, akhir Juni kemarin. Untuk kesekian kali saya tegaskan, tulisan ini hanya berada pada wilayah menampung opini dari informan, bukan membenarkan atau menyalahkan pihak mana pun.
BACA JUGA Perkara yang Membuat Sebagian Orang Abangan Nggak Respek Sama Kiai (1) dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.