Bisa dibilang saya jenis perempuan yang nggak suka memakai aksesori seperti gelang, kalung, dan sebagainya. Mau itu emas atau imitasi, saya nggak terlalu suka. Palingan cuma jam tangan yang bisa dimaklumi oleh tubuh saya. Selebihnya saya risih dan merasa ribet kalau harus pakai aksesori emas-emasan seperti itu.
Mungkin banyak perempuan di luar sana yang suka memakai perhiasan emas atau paling nggak yah mengoleksinya sebagai tabungan. Nggak salah, sih, selera orang mah terserah saja, bebas. Tapi kalau saya sendiri kurang suka. Untuk investasi, jujur saya lebih suka jenis investasi yang bergerak, ketimbang menimbun emas. Sedangkan untuk perhiasan sendiri, sejak kecil saya nggak pernah pakai perhiasaan karena memang nggak punya. Eh, setelah dewasa ternyata jadi nggak terbiasa dan risih kalau pakai perhiasan. Makanya saya pakai cincin kawin itu cuma bisa dihitung jam saja, hanya buat gaya-gayaan foto nikah habis itu dimuseumkan.
Setelah tinggal di kota, saya sering bepergian sendiri naik kendaraan umum ke luar kota. Menurut saya, memakai perhiasaan bikin perjalanan nggak nyaman saja gitu. Merasa was-was dan malah mengundang bahaya penjambretan. Makanya nggak pakai perhiasaan kayak gitu adalah pilihan paling solutif menurut saya ketika kita berpergian.
Saya kira tentang ketidaksukaan saya memakai perhiasaan ini nggak akan menimbulkan masalah atau merugikan orang lain, namun saya salah. Setelah menikah, ternyata arti sebuah perhiasaan itu sangat berarti di mata orang lain. Gara-gara saya nggak memakai cincin kawin contohnya, saya sering sekali mendapat ribuan pertanyaan. Padahal apa hubungannya cincin sama status pernikahan coba? Apa karena saya nggak pakai cincin terus artinya saya belum menikah? Aneh.
Gara-gara saya nggak pernah pakai perhiasaan, tiap kali pulang kampung saya selalu dipandang menyedihkan oleh keluarga besar suami. Bapak mertua saya yang sudah berusia 90 tahun itu sampai memandang saya iba. Dikira anak lelakinya itu nggak kuat beliin saya emas-emasan. Beliau sampai ngomong berulang kali ke suami buat beliin istrinya perhiasaan. Bapak saya itu orang zaman dulu, sehingga masih menganggap bahwa perempuan itu sudah seharusnya pakai emas-emasan sebagai bentuk tabungan. Saat tahu menantunya nggak pakai emas, Bapak menyangka bahwa anak lelakinya bekerja bertahun-tahun itu nggak menghasilkan apa pun. Hehehe.
Belum lagi saudara-saudara suami yang notabene semua perempuan. Di keluarga besar suami itu rata-rata semua pakai perhiasan emas sampai berkilauan, sehingga saya yang polosan kayak gini nampak banget berbeda tiap kali kumpul keluarga. Saya cuma mesam-mesem tiap kali semua orang menyerang suami gara-gara nggak mampu beliin istrinya perhiasaan. Padahal aslinya, suami sudah menawari saya berkali-kali, tapi saya lebih suka dihadiahi buku atau pakan kucing ketimbang perhiasaan.
Ternyata gara-gara nggak suka pakai perhiasaan gini imbasnya yang kena suami. Mertua ataupun keluarga suami juga merasa tertekan gara-gara dikira nggak sanggup menyenangkan anak orang. Meski kedengarannya lucu, tapi fakta di lapangan kayak gitu adanya. Kesuksesan lelaki itu ternyata kalau di kampung suami bisa dilihat dari seberapa gemerlapnya perhiasan yang dipakai istrinya.
Nggak hanya di kampung suami, sih, di kampung saya ya gitu juga. Tiap kali kondangan saya polosan nggak pakai perhiasaan gitu, orang mah memandangnya dari atas sampai bawah. Mereka nggak peduli baju, tas, atau sandal yang dipakai branded atau nggak, yang penting pakai emas atau nggak. Semakin krincing-krincing kayak toko emas berjalan, maka semakin santun orang ngomong sama kita.
Di dunia persembakoan saja lah. Saya beberapa kali disepelekan waktu kulakan di gudang sembako gitu. Penjualnya itu ngomongnya ketus banget, basan sama ibu-ibu yang gelangnya kayak artis India, eh, kok ramahnya bukan main. Bukannya berburuk sangka, tapi ini sudah kejadian di banyak tempat, makanya saya bisa ngomong kayak gitu. Di sini, image pemilik sembako atau juragan sembako itu rata-rata emas-emasan yang dipakainya banyak. Jadi sekali lihat bisa tahu, dia punya uang atau nggak.
Percaya atau nggak, tiap kali saya jaga warung pasti orang yang beli selalu tanya, “Yang punya mana, Mbak?” Nggak salah juga, sih, soalnya saya melihat kios sembako itu rata-rata pemiliknya itu pakai emas-emasan semua. Kalau tampang kayak saya gini paling banter dikira penjaga warungnya, makanya saya maklum saja. Soalnya wajah juga nggak mendukung, sih.
Pernah juga ya ada mas-mas semacam rentenir gitu datang ke warung saya buat menawarkan pinjaman. Saya langsung menolak baik-baik, eh si masnya malah bilang, “Saya nggak nawarin Mbaknya, saya itu mau nawarin yang punya warungnya!” Asem, kok!
Kadang nggak masuk akal saja, di zaman modern kayak gini orang masih memandang orang lain kok dari perhiasan yang dipakai. Tapi ya memang gitu kenyataannya. Saya beberapa kali mendengar pergibahan di antara emak-emak, ternyata penggunaan perhiasaan kayak gini tuh masih ramai dan semarak diperbincangkan.
Meski begitu, saya mah tetap masa bodo. Ya kali ngalahin pakai perhiasaan tapi menyiksa diri sendiri. Kalau ditanyain tentang mas-masan, paling saya dengan santai jawab, “Sudah punya e-mas tuh 65 kilo, mas bojo!”
BACA JUGA Perihal Perempuan yang Nggak Suka Pakai Perhiasan Emas Berikut Alasannya dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.