“Aku malu, ini aib.”
Kurang lebih itu garis besar ungkapan yang sering saya lihat di salah satu akun Instagram yang sering menampung cerita-cerita pengalaman perempuan. Saya scroll lebih jauh ternyata pernyataan sikap begitu masih ada dalam benak beberapa orang perempuan korban pelecehan hingga kekerasan seksual loh.
Saya jadi teringat beberapa bulan lalu sempat menulis di blog pribadi soal opini saya sebagai korban dalam melihat sebuah kasus pelecehan dan kekerasan seksual. Saya sengaja menyebarkan tautan blog pribadi secara massif dan meminta tanggapan beberapa teman yang sudah membaca dengan tujuan tidak lebih dari mengedukasi dan mengajak pembaca untuk melihat bagaimana pelecehan dilihat dari perspektif korban. Beberapa dari mereka ada yang mendukung pandangan saya namun ada juga sebagian orang dengan latar belakang agama yang sangat kuat justru menganggap tulisan saya membuka aib sendiri.
“Maaf ya, Sis. Tapi bukannya cerita pelecehan yang kamu alami itu aib diri sendiri ya? Kenapa diumbar, Sis? Sekali lagi maaf ya—sekadar mengingatkan.”
Waduh bayangin pemirsa, saya seorang korban yang ditegur karena membuka masalah yang bisa dialami oleh semua orang dan dianggap aib.
Rasanya mbatin banget saya tuh saat melihat dengan nyata kalau nggak sedikit orang di negara ber-flower ini di tahun 2019 masih menganggap kejadian yang dialami korban pelecehan pun kekerasan seksual itu aib.
Saya jadi bertanya-tanya ya—pertanyaan biasa sih tapi tetap menyebalkan. Lah kalau korban harus menutupi apa yang terjadi pada dirinya karena aib, terus pelaku itu bisa biasa aja karena menganggap korban yang memancing dia untuk melakukan pelecehan begitu? Karena pakaian korban menaikkan libidonya? Haduh~ Inilah alasan paling tepat mengapa Thanos ingin memusnahkan umat manusia.
Begini pemirsa yang baik hatinya, sekarang sudah tahun 2019 dan banyak sekali perempuan yang sudah menutup auratnya dengan syar’i tapi masih mendapatkan pelecehan. Lagian coba deh kita pikir pakai logika, kita hidup di sebuah sistem masyarakat yang masih sangat kental dengan kultur kesopanan. Perempuan yang pakai celana pendek, rok pendek ketat, bikini, dan segala macam pakaian seksi lain yang dianggap menaikkan libido itu masih kalah jauh sekali jumlahnya dari para perempuan yang pakai jilbab atau baju lain yang penampakkannya biasa banget buat orang-orang pada umumnya.
Miris ya. Tanpa kita sadari dan sepertinya dengan sukarela selama ini otak kita diatur sedemikian rupa oleh stigma yang dibentuk oleh sebuah tatanan sosial yang cukup diskriminatif. Selama ini kita dengan mudah terbawa arus ke sesuatu yang dapat mewajarkan, menyalahkan, dan menjustifikasi apa yang terjadi sama korban lewat sudut pandang pelaku. Dan sialnya masih banyak dari masyarakat kita yang belum bisa beralih sudut pandangnya untuk bisa berdiri di posisi korban.
Saya menghargai setiap keputusan para perempuan kuat di luar sana yang pada akhirnya hanya berbagi cerita tentang apa yang ia alami kepada orang-orang yang ia percaya. Saya paham bahwa keputusan untuk membuka jati diri atas sebuah kasus pelecehan seksual tidak bisa di sama ratakan. Tapi, saya mohon sama kamu untuk berhenti menyalahkan diri sendiri dan menganggap pelecehan yang terjadi adalah sebuah aib untukmu.
Saya juga bisa memahami mungkin ada banyak konsekuensi yang kamu terima saat dengan berani terbuka ke orang-orang kalau kamu seorang korban. Tekanan-tekanan itu memang tidak mudah bahkan sering buat penat kepala dan jiwa hingga berakhir stres dan menyalahkan diri sendiri—saya pernah ada di situasi macam itu.
Tapi coba lihat posisi kita sekarang. Mereka—beberapa laki-laki dungu dikendalikan nafsu penis menjijikkan itu—yang harusnya merasa apa yang ia lakukan adalah aib. Seseorang yang kehilangan akal ketika melihat lawan jenis berjalan sendirian itu harusnya merasa malu atas apa yang ia lakukan setelahnya.
Mau sampai kapan kita (korban) merasa apa yang terjadi pada diri adalah aib. Dengan sugesti yang terus kita percaya selama ini pada akhirnya memberikan legitimasi yang sangat kuat dan tidak ada yang berubah dari nilai-nilai sosial kita soal bagaimana selama ini masyarakat pada umumnya memandang perempuan.
Betapa cukup menyebalkannya lingkungan sosial kita yang masih terus menetapkan banyak kesalahan pada perempuan. Hal terakhir yang membingungkan saya adalah kenapa banyak jokes bahwa “perempuan selalu benar” masih bisa ada di unggahan akun penganut aliran receh-isme saat situasi yang ada sebenarnya terus menyalahkan perempuan.
Ah, semoga adik-adik saya baik laki-laki pun perempuan tidak akan mendapat sebuah tatanan sosial yang diskriminatif di masa depannya. Amiin.