Saya yakin masih banyak orang Indonesia merasa inferior ketika berhadapan dengan bule. Sekalipun batas-batas negara kian samar dengan perkembangan teknologi dan akses transportasi, bule masih terasa seperti makhluk yang berbeda. Mereka kerap dianggap lebih baik, pintar, rupawan dan berbagai kelebihan lain.
Secara sederhana, inferior merupakan perasaan rendah diri terhadap sesuatu yang kita yakini lebih baik dari apa yang menjadi bagian dari diri kita. Dalam konteks ini, inferiority complex atau kompleks inferioritas di kalangan warga +62 tampak masih mengakar apabila sedang berhadapan dengan para bule. Hal ini bisa dilihat dari kebiasaan meminta swafoto dengan turis mancanegara, tidak hanya di tempat wisata, namun juga ketika tak sengaja bertemu di tempat umum.
Beberapa ahli melihat fenomena ini lebih dari sekadar euforia melihat seseorang yang berbeda dan asing, namun juga sebagai bentuk mindset post-kolonialisme yang masih bersemayam di diri sebagian besar penduduk Indonesia, pun juga penduduk negara Asia bekas jajahan negara barat, seperti India. Disadari atau tidak, kita melihat para bule itu ada di strata yang lebih tinggi dari kita.
Rasa inferior hilang ketika berkunjung ke Eropa
Apakah benar begitu? Meski tak mau menyebutnya keras-keras, saya pun termasuk salah satu orang yang mengamini sekaligus mempraktikkan perilaku inferior itu. Saya grogi tiap kali bertemu bule di bus jurusan Jogja-Borobudur atau di mana saja (termasuk platform daring). Seandainya kebetulan harus berinteraksi, saya memilih tidak banyak bicara karena takut kapasitas intelegensi saya kalah dengan mereka.
Akan tetapi, saya cukup beruntung karena kini telah terbebas dari perasaan inferior itu. Pengalaman berkunjung langsung ke tanah para bule, daratan Eropa, menyadarkan akan banyak hal. Saya mulai belajar untuk berhenti merasa kecil dan tertinggal dari para bule. Saya beri tahu beberapa alasannya.
Baca halaman selanjutnya: Eropa juga punya …