Tok! RUU Kesehatan telah disahkan. Setelah beberapa bulan diperdebatkan, akhirnya DPR mengesahkan RUU bermasalah ini sebagai produk hukum. Suara kekecewaan jelas lantang terdengar. Terutama dari para nakes yang menolak RUU Kesehatan sejak awal. Semuanya menyalahkan DPR yang tidak mendengar suara rakyat, terutama suara para ahli. Tapi apa benar pengesahan RUU ini murni dosa DPR?
Bagi saya, DPR tidak sepenuhnya salah. Justru kita, rakyat, yang bertanggung jawab lebih besar. Rakyat yang membuat RUU kejar tayang ini bisa disahkan. Alasannya sederhana: rakyat lupa siapa penguasa sesungguhnya negara ini! Kita lupa siapa yang memegang kendali negara ini! Atau mungkin bukan lupa, tapi memang tidak mau untuk menjadi pemilik Indonesia.
Mungkin terdengar ironis, mungkin Anda tidak sepakat. Tapi izinkan saya membuka mata Anda pada realitas, sekaligus mengingatkan siapa pemilik negeri yang katanya makmur ini.
Daftar Isi
Sejarah terulang dengan memuakkan
Ketika geger RUU Kesehatan berkobar, harusnya Anda tidak perlu kaget. Karena yang terjadi tidak lebih dari pengulangan sejarah. Bahkan sejarah yang baru berusia setahun. Benar, ketika UU Ciptaker disahkan, undang-undang yang disebut Omnibus Law juga ini juga disahkan dengan situasi yang hampir mirip.
Pertama, RUU kontroversial dipublikasikan. Lalu muncul penolakan dari rakyat. Penolakan ini berujung pada aksi massa. Pembahasan RUU ini menjadi molor, seolah mendengarkan tuntutan rakyat. Namun pada akhirnya, UU Ciptaker disahkan juga, mempecundangi rakyat yang dari awal melawan UU yang juga penuh masalah ini.
Pola ini sebelumnya juga terjadi saat pengesahan KUHP baru. Bahkan demonstrasi yang dilakukan lebih besar. Maklum, RKUHP sudah bermasalah sebelum pandemi, di mana kita semua masih bebas berkegiatan dan berinteraksi. Namun dengan tekanan besar dari rakyat, toh RKUHP yang digadang “menghapus hukum warisan kolonial” ini disahkan, berikut bersama pasal-pasal bermasalah di dalamnya.
Satu pasal baik RUU Kesehatan bukan berarti layak disahkan
Sebelum saya makin jauh menyalahkan Anda (dan saya sendiri), ada yang harus disoroti. Setiap pembahasan produk hukum bermasalah, muncul suara membela satu dua pasal di dalamnya. Dalam geger RKUHP, jargon antikolonial jadi isu utama. RUU Ciptaker dibela karena pasal yang mempermudah investasi. Dan di sisi lain, RUU Kesehatan dipuja karena pendidikan dokter makin efisien.
Masalahnya, banyak yang menganggap sebuah RUU baik karena memuat satu dua pasal positif. Apakah mereka lupa rasanya sekolah? Satu dua jawaban benar bukan berarti seluruh soal menjadi benar. Jika Anda cuma benar 5 dari 100 soal, ya nilainya hanya 5 dan bukan seratus. Ini logika paling sederhana lho.
Kenapa banyak yang mengikhlaskan tumpukan pasal bermasalah karena satu pasal mulia? Padahal, rakyat berhak menuntut agar seluruh isi RUU yang diajukan ini baik. Simpel tho? Kok tidak dilakukan? Dan setelah rakyat menuntut, kenapa DPR tetap pongah?
Jangan lupa, rakyat adalah bos
Jika anak kecil ditanya siapa penguasa negara ini, pasti akan dijawab presiden. Bahkan orang tua sekalipun juga sering menjawab sama. Di berbagai kesempatan, kita akan menyebut pemerintah sebagai “penguasa.” Sebuah budaya nggatheli yang terus terpelihara di negara yang mulai tua ini.
Padahal sistem negara kita menempatkan pemerintah sebagai penerima mandat rakyat. Dari zaman Soekarno sampai Jokowi, tidak ada yang berubah. Bahkan Soeharto yang tiran militer saja masih mengamini gagasan ini. Berarti semua masih sama, rakyat yang berkuasa. Pemerintah dan jajarannya adalah abdi rakyat.
Anda saja akan takut setengah mati ketika bos merasa hasil kerja belum sempurna. Anda akan nurut sambil minta maaf ketika mendapat koreksi, bahkan rela lembur demi hasil kerja sesuai target. Tapi ketika Anda menjadi bos negara ini, kok malah injah-injih saja?
Konsep ini sebenarnya agak muluk-muluk. Di satu sisi, rakyat memang pemilik negara ini. Tapi sering kali yang mendapat mandat malah melakukan tindakan represif pada suara kontra. Kultur biadab ini bahkan sering dipandang sebagai kewajaran. Tapi bukankah lucu, ketika si bos malah diatur-atur oleh abdinya? Ketika pihak yang mengangkat wakilnya malah nurut dan takut?
Kalau belum kesenggol, belum bergerak
Ketika UU Ciptaker masih digodok dan disebut Cilaka, suara kontra sudah terdengar. Tapi terlewat lirih, karena sangat kecil. Kelewat mini jika dibandingkan dengan total populasi rakyat Indonesia. Tapi tidak perlu kaget, karena kalau belum kesenggol, maka sulit bagi kita untuk mau bergerak. Kalau belum menyenggol hajat hidup paling krusial, mulut belum mau bersuara lantang.
Tapi kalau penistaan agama atau urusan moral, baru muncul kemauan untuk melawan. Karena mereka yang berontak merasa terusik. Lucu sih, karena kesadaran macam ini tidak diterapkan pada kasus yang lebih besar.
DPR memang pongah, tapi sering kali rakyat lebih pongah, karena sudah terbentuk untuk hidup gamau ribet. Tapi ketika UU Ciptaker mulai mengganggu seperti urusan pesangon, baru mulai bersungut-sungut. Bahkan setelah muncul kemarahan dan ingin berontak, letupannya sebentar saja. Sebab, lebih baik jadi pekerja yang dicurangi daripada berurusan dengan pemerintah. Lebih baik dipermainkan perusahaan daripada harus berhadapan dengan abdi dan wakil suaranya.
Kalau tidak percaya pada negara, lalu mau apa?
Akhirnya banyak yang bilang kalau tidak percaya pada negara. Tidak percaya pada aparat dan orang-orang pemerintahan. Tentu karena kecewa dan jengah. Tapi setelah tidak percaya, lalu mau apa? Pihak yang tidak dipercaya lagi ini masih bebas membentuk produk hukum yang menyebalkan. Anda masih diatur oleh apa yang katanya sudah tidak dipercayai itu.
RUU Kesehatan yang baru jadi UU hanyalah satu dari sekian produk yang ditolak rakyat, tapi tetap diresmikan. Dan nanti pasti akan banyak produk hukum yang juga nggapleki. Hampir pasti produk hukum bermasalah di kemudian hari tetap disahkan. Lalu apa Anda masih berani berpikir kalau penak turu ora meksiko?
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA RUU Kesehatan yang Begitu Tergesa-Gesa: Apa Itu Proses? Apa Itu Asas Keterbukaan?