Ketika pertama kali bertemu dengan guru Biologi SMA, beliau memberikan satu pertanyaan “Siapa di sini yang mengkonsumsi alkohol?” Dengan cepat saya mengangkat tangan. Ternyata saya adalah satu-satunya siswa yang mengangkat tangan untuk pertanyaan itu, diiringi tatapan curiga dari teman-teman sekelas.
Namun saya tidak sendirian, guru kami pun ikut mengangkat tangannya. Mungkin beliau terkesan melihat hanya saya yang memiliki kejujuran sebesar itu, atau kasihan melihat tatapan sinis yang ditujukan oleh teman-teman pada saya. “Dasar alkoholik!”
Agar suasana tidak semakin canggung (saat itu saya mulai salah tingkah saat menyadari ada yang berbeda dengan tatapan teman-teman), guru kami bertanya alkohol jenis apa yang saya konsumsi. “Peuyeum, Bu,” jawab saya. Peuyeum adalah cara orang daerah Bandung dan sekitarnya untuk menyebut tape singkong.
“Sama, ibu juga makan peuyeum,” sahut ibu guru kami sambil tersenyum. Sementara itu seisi kelas mulai berkasak-kusuk menyadari kesalahan mereka.
Seorang anak laki-laki memberanikan diri, “Saya minum tuak, Bu.” Haiyah, bukankah tuak ini justru lebih “mantap” kandungan alkoholnya dibandingkan sekedar tape singkong ya?
Pelajaran Biologi pun dimulai dengan gembira. Saya lupa apa yang menjadi pembahasan Biologi bab pertama di kelas 1 SMA (kalau sekarang kelas 10) itu. Namun, pertanyaan pembuka yang juga menjadi ajang perkenalan dengan Bu Nenden, guru Biologi kami tidak pernah terlupakan. Demikian pula kenyataan bahwa di tahun yang sama adalah kali pertama (dan sampai sejauh ini baru satu-satunya) saya mengalami yang namanya mabuk alkohol.
Sebenarnya menuliskan pengalaman ini cukup memalukan, sebab sama sekali tidak keren ataupun luar biasa. Apa sih kerennya mabuk? Nggak ada. Tantangannya? Nggak ada juga.
Salah-salah saya malah disangka menjadi penganjur konsumsi minuman beralkohol pada anak sekolah yang jelas menyalahi hukum di Indonesia. Namun, saya merasa hal ini tetap perlu dituliskan agar menjadi bahan masukan pada generasi muda (dan tua) untuk menghindarinya di kemudian hari. Yah, meskipun tidak semenantang pengalaman menggembel sehari atau selucu pengalaman diseruduk sapi.
Para ulama pasti geleng-geleng kepala ketika mengetahui ada anak berusia lima belas tahun yang mabuk-mabukan. Tapi saya harus memberitahu mereka bahwa yang membuat saya mabuk bukanlah salah satu minuman yang dimasukkan dalam khamar. Bukan anggur, arak, tuak, bir, champagne, atau lainnya, tapi peuyeum. Ya, peuyeum si tape singkong yang sudah saya sebutkan di awal artikel ini.
Jadi ceritanya begini: Ibu saya menemukan tukang peuyeum yang membawa peuyeum yang enak banget menurut keluarga kami. Manis dan berair. Sayangnya, barang jualan tersebut masih banyak saat tukang tersebut sampai di rumah kami. Memang, orang Sunda lebih menyukai peuyeum yang manis tapi kesat. Itu sebabnya pedagang peuyeum di daerah Cianjur menggantung dagangannya, menunjukkan bahwa tape singkong buatannya kesat.
Karena kasihan, ibu membeli dua kilogram peuyeum. Rencananya akan dicampur dengan tepung terigu dan digoreng. Dibuat suguhan bagi dua orang tukang yang sedang memperbaiki rumah kami. Peuyeum yang terbungkus dalam daun singkong itu pun dimasukkan ke dalam kulkas.
Lalu datanglah saya. Saya yang berusia lima belas tahun dan selalu lapar, mencari-cari kudapan untuk menemani membaca buku yang saya pinjam dari perpustakaan tempat les bahasa Inggris. Buku yang saya pinjam berbahasa Indonesia, kalau pakai bahasa Inggris bisa-bisa enam bulan belum selesai saya baca. Sudah menjadi kebiasaan saya untuk makan sambil membaca, eh mungkin lebih tepatnya membaca sambil makan. Kurang pas rasanya kalau baca buku tidak diiringi dengan mengunyah sesuatu.
Maka terjadilah, saya mengambil sedikit peuyeum dan mengunyahnya sambil membaca. Habis, saya balik lagi dan ambil lagi. Begitu seterusnya sampai buku saya selesai dibaca. Yang saya ingat hanyalah rasa tapenya benar-benar enak: manis dan dingin.
Keesokan harinya saya terbangun di kamar dengan kepala berat dan perut tidak enak. Mual sekali. Saya berlari ke kamar mandi dan muntah. Di tengah-tengah perasaan tidak enak itu saya teringat pada seseorang: Kogoro Mouri, detektif payah yang merupakan ayah dari Ran Mouri, pacar Shinichi Kudo alias Conan. Hal-hal yang terjadi pada saya persis seperti yang terjadi pada Mouri sehari setelah mabuk-mabukan.
Saya menyampaikan temuan saya pada ibu. Ibu saya mengecek peuyeum yang kemarin dibelinya, sisa sedikit sekali. Bisa dikatakan hampir dua kilogram tape singkong itu saya makan sendirian. Ibu saya pun menyadari bahwa malam sebelumnya saya tidur jauh lebih cepat dari biasanya.
Hari itu saya tidak sekolah karena kondisi badan tidak memungkinkan. Hang over sama sekali tidak sesuai untuk belajar di sekolah. Seharian saya hanya tidur sambil merutuki kerakusan saya menghabiskan peuyeum di kulkas. Gara-gara pengalaman mabuk ini, sampai lulus SMA saya sama sekali tidak tertarik untuk makan peuyeum lagi. Kapok. Begitu ceritanya.
BACA JUGA Minuman Beralkohol dan Betapa Noraknya Cuitan Anya Geraldine dan tulisan Maria Kristi Widhi Handayani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.