Saya adalah sales di salah satu platform pendidikan, bahasa kerennnya adalah konsultan pendidikan. Tugas saya adalah mengunjungi sekolah-sekolah yang ada di Jakarta Utara untuk melakukan sharing session mengenai strategi belajar kepada siswa-siswi SMA dan SMP.
Oleh karena pekerjaan inilah akhirnya saya sedikit bisa membedakan karakter siswa di sekolah yang menengah ke bawah. Mari kita sebut sebagai sekolah 1 dan menengah ke atas atau sekolah 2 di Jakarta Utara. Sebagaimana yang kita tahu bahwa daerah Jakarta Utara dikenal dengan area dengan kesenjangan sosial yang amat tinggi.
Selama menjalankan tugas saya menyadari bahwa pendidikan formal dari SD-SMA/SMK amat perlu diperhatikan. Dan perhatian saya tertuju pada karakter siswa. Karakter siswa perlu digaris bawahi karena di beberapa sekolah 1 saya seringkali tersenyum tipis dan mengelus dada. Saya merasa kewalahan dalam mengontrol mereka, padahal hanya satu kali pertemuan.
Saya tidak bisa membayangkan betapa beratnya menjadi seorang guru dengan keharusan untuk mendidik murid yang sulit dikontrol. Bayangkan saja, saat saya melakukan presentasi terkait pentingnya pendidikan, para murid sibuk sendiri focus memiringkan gadget masing-masing. Bahkan ada yang membawa sound speaker besar dan mereka izin untuk menyetel lagu.
Sekali lagi, sebagai seorang yang hanya mampir sekali ke sana, saya hanya bisa mengizinkan daripada saya harus berkonflik dengan mereka.
Daftar Isi
Bingung memilih, karena tak punya pilihan
Selain itu, mereka juga asik ngobrol dengan teman lainnya seolah tidak ada yang berbicara. Namun saya sempatkan untuk mengahampiri mereka satu per satu sebagai jalan terakhir untuk menanyakan rencana mereka perihal pilihan mereka untuk kuliah atau kerja di masa depan.
Saya memang lebih sering mengunjungi sekolah-sekolah SMA. Dan mayoritas sekolah yang berlokasi di daerah padat penduduk, mereka memang memilih untuk bekerja dengan alasan ketidakmampuan ekonomi meski mereka mau kuliah dan sudah malas untuk belajar. Ada beberapa juga yang masih bingung memilih.
Namun, masih ada beberapa siswa yang memiliki motivasi tinggi untuk belajar di sekolah 1. Tetapi, mereka terlihat pendiam dan cenderung menyendiri. Dia hanya bisa pasrah dengan kondisi kelas yang tidak kondusif, berisik, dan panas. Hal tersebut ia sampaikan melalui kertas yang saya bagikan di kelas dan kebanyakan dari mereka memilih untuk mengikuti kelas tambahan atau les di luar sekolah untuk meningkatkan pemahaman.
Lantas apa yang menyebabkan mereka memiliki karakter dan perilaku tersebut? Dan tanggung jawab siapa?
Mereka yang bertanggung jawab
Selain sistem pendidikan atau kurikulum yang selalu berubah-ubah setiap pergantian kepemimpinan menteri, sekolah, guru, lingkungan sekitar sekolah dan rumah mencakup teman bermain, dan yang terpenting adalah diri sendiri, harus bertanggung jawab atas keruwetan pendidikan di Indonesia terkhusus di daerah-daerah padat penduduk.
Belumlah sekolah memahami detail K-13 dan melihat hasil dari kurikulum tersebut, pemerintah dengan tak berdosanya mengganti begitu saja dengan Kurikulum Merdeka. Butuh proses yang amat lama bagi sekolah di seluruh negeri ini untuk mencerna secara merata kurikulum yang diterapkan. Alhasil, sekolah mengalami kebingungan untuk menjelaskan kepada wali murid tentang kurikulum yang baru. Sekolah yang merupakan lembaga pendidikan disibukkan dengan hal-hal administratif daripada mendidik muridnya.
Guru hanya sibuk “menasihati” murid nakal dan pemberontak dibanding membina dan mendidik siswa. Lebih dari itu, guru memposisikan dirinya sebagai manusia yang tak perlu belajar dan murid adalah manusia yang harus belajar demi meningkatkan nilai, mendapatkan prestasi, dan bisa bekerja di masa depan. Padahal, guru juga harus bisa memposisikan dirinya sebagai pelajar yang belajar dari murid-muridnya.
Pada akhirnya, guru menjadi pesimis dan merasa apa yang mereka lakukan menjadi sia-sia dan tidak penting. Guru menjadi sadar bahwa beratnya profesi ini tidak diimbangi dengan upah yang ia dapatkan, alih-alih menjadi semangat mengajar, guru menjadi kehilangan minat menjadi seorang pendidik. Menjadi guru hanyalah untuk bertahan hidup semata daripada menganggur di tengah sulitnya mencari pekerjaan.
Fokusnya pada perut pejabat, bukan pendidikan
Kritik besar diarahkan kepada negara yang memiliki cita-cita besar untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Ironisnya, pada saat ini fokus mereka malah memperkaya pejabat-pejabatnya dan menghamburkan uang untuk hal-hal yang tak perlu. Seperti menyewa mobil senilai jutaan demi menghebohkan upacara kemerdekaan di IKN, memotong anggaran pendidikan untuk proyek infrastruktur daripada mengalokasikan anggarannya untuk gaji guru dan fasilitas sekolah yang rusak.
Negara juga tidak mampu menciptakan lingkungan yang aman di daerah marjinal sehingga anak-anak terlibat dalam kekerasan dan narkoba. Budaya yang tercipta dalam lingkungan tersebut akhirnya terbawa ke sekolah. Otomatis, itu memengaruhi yang lain sehingga membentuk karakter pemberontak, perusuh, dan nakal yang mengakibatkan sekolah dan guru kesulitan untuk memberikan treatment yang pas untuk menghilangkan gejala-gejala tersebut.
Fenomena ini bagaikan benang kusut yang amat sulit untuk diperbaiki. Bahkan butuh waktu yang lama untuk memperbaiki situasi pendidikan di daerah padat seperti Jakarta Utara. Yang jadi mengerikan adalah, jika Jakarta, yang merupakan pusatnya Indonesia saja kesusahan, bayangkan yang lain, yang jauh dari jangkauan pemerintah pusat?
Membayangkan saja tak mampu.
Penulis: Zainul Fikri
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tak Ada yang Lebih Tabah dari para Pejuang KRL