Sebagai orang kampung yang pindah tugas kerja ke Jakarta, saya harus belajar adaptasi dengan kemacetan dan kebisingan yang menjadi warna dominan di kehidupan ibu kota. Meski saya sudah terbiasa menapaki jalanan Jakarta menggunakan transportasi daring atau transportasi umum seperti MRT dan bus Transjakarta yang rapi, teratur, dan selalu tepat waktu, seenggaknya begitulah yang saya rasakan. Jadi, ketika saudara saya yang di Cileungsi mendesak, “Cobain bus AC70A, deh. Enak!”, saya langsung curiga.
Ya gimana, mana mungkin ada “enak” di rute Cileungsi-Tanah Abang, apalagi di jam-jam berangkat-pulang kantor?
Tapi, demi pekerjaan, saya putuskan untuk menantang takdir. Saya menunggunya di pinggir jalan di bawah flyover Cileungsi, berkawan dengan terik matahari pagi yang menyehatkan, tujuan saya kali ini adalah Sudirman.
Tepat jam 8 pagi, bus Mayasari Bakti yang dulu lebih beken dikenal M70 dan sekarang bertransformasi nama menjadi AC70A berangkat. Awalnya saya nggak begitu yakin dengan fasilitas Bus AC70A yang catnya dominan warna hijau ini.
“Apa iya AC-nya nyala? Apa iya kursinya empuk dan pegas-pegasnya masih terjaga?, kecurigaan saya sepanjang jalan terjaga.
Goyangan bus dan kemacetan meninabobokan sepanjang perjalanan
Bus mulai bergerak. Pelan, sangat pelan, seolah sedang berpikir ulang. Kami bergabung dengan barisan kendaraan yang sudah menumpuk di jalan raya, menciptakan sebuah koloni semut raksasa yang bergerak dengan kecepatan siput. Rasanya, mobil-mobil di samping kami jauh lebih bahagia. Mereka punya AC yang dingin, musik yang enak, dan tidak perlu berbagi ruang dengan puluhan orang asing.
Namun, di tengah kemacetan yang seolah tak berujung, keajaiban itu terjadi. Saya mulai merasa nyaman. Suara bising dari luar dan klakson yang tak henti-hentinya menjadi latar belakang yang monoton. Goyangan bus AC70A yang pelan dan konstan terasa seperti ayunan raksasa. Aroma yang tadinya asing, kini menjadi familiar, bahkan menenangkan, AC nya pun berfungsi normal.
Satu per satu, penumpang di sekitar saya mulai tumbang. Ada yang bersandar di jendela, ada yang tidur dengan kepala di tas, dan ada yang tertidur dengan mulut sedikit terbuka. Saya pun perlahan-lahan menyusul, mata saya terasa berat. Otak saya menyerah pada kemacetan dan kenyataan.
Saya membiarkan diri saya hanyut dalam gelombang kebosanan yang memabukkan itu, dan entah sejak kapan, saya sudah tertidur.
Bus AC70A nggak hanya solusi kemacetan, tapi menawarkan tidur di jalan
Saya terbangun saat bus mengerem mendadak. Kepala saya membentur sandaran kursi di depan dengan suara “duk” yang lumayan nyaring. Kami sudah berada di tengah kota. Rupanya, selama beberapa jam terakhir, saya telah menempuh perjalanan jauh, bukan dengan mata yang waspada, melainkan dengan pikiran yang sedang berlibur.
Saya sadar, Bus AC70A ini bukan hanya menawarkan transportasi, ia menawarkan sebuah solusi. Solusi bagi mereka yang lelah, yang ingin kabur dari realitas Jakarta sejenak, meskipun hanya dalam alam mimpi. Ia mengubah kemacetan yang menyebalkan menjadi waktu tidur yang tak ternilai harganya. Ia membuat perjalanan yang seharusnya menjadi siksaan, menjadi sebuah sesi terapi tidur dadakan.
Fasilitas yang sulit didapat jika dibandingkan dengan bus Transjakarta
Nggak kerasa jam setengah 10 saya tiba di Stasiun MRT Astra, Sudirman, saya turun tepat di titik itu. Kalau dipikir-pikir saya jadi mengerti kenapa saudara saya begitu menyukai bus ini. Bus AC70A bukan hanya membawa kita dari Cileungsi ke Sudirman, tapi juga membawa kita dari kesadaran penuh ke alam bawah sadar, dari kegaduhan ke ketenangan, dan dari rasa lelah ke rasa… yah, setidaknya lebih baik.
Pengalaman pertama saya dengan AC70A adalah bukti nyata bahwa di tengah kemacetan Jakarta yang tak berkesudahan, ada sebuah bus tua yang menawarkan ketenangan sebagai fasilitas unggulnya. Harganya memang relatif lebih mahal dibanding bus Transjakarta punya pemerintah. Tapi di bus AC70A saya menemukan sebuah ketenangan yang nggak saya temukan di bus Transjakarta yang penuh sesak dan harus berdiri sepanjang jalan, bikin kaki kesemutan.
Untuk itu, saya akan selalu berterima kasih. Mungkin suatu hari, jika saya merasa butuh tidur yang berkualitas, saya akan kembali.
Penulis: Dodik Suprayogi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Naik Bus Transjakarta Jadi Nggak Nyaman karena Banyak Penumpang Aneh
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















