Datang ke hajatan, entah itu pernikahan atau arisan pengajian, adalah hal menyenangkan bagi saya di masa kecil. Selain bisa makan hidangan yang jarang ada di rumah seperti sate gulai atau rawon dan membawa pulang berkat, saya juga senang menonton hadrah dan qasidah yang biasanya mengisi acara. Tapi, itu tidak berlaku lagi saat saya beranjak dewasa dan dianggap pantas untuk mewakili orang tua datang hajatan. Datang ke hajatan untuk pertama kalinya merupakan hal yang mengkhawatirkan, apalagi bagi saya yang jarang bersosialisasi di lingkungan rumah dan seorang overthinker ulung.
Saya sendiri termasuk orang yang sangat gugup untuk bersosialisasi dengan tetangga sekitar rumah. Entahlah, mungkin karena pengalaman masa kecil. Hingga kelas 4 SD, saya adalah anak rumahan yang rajin dan teratur. Pagi pergi sekolah, sore mengaji TPQ, lanjut mengulang membaca iqro’ sehabis salat magrib, kemudian belajar dan tidur. Tidak ada acara main di sungai, mencari jangkrik di bukit, dan apatrol (membangunkan sahur) bersama teman-teman. Bahkan, sampai kuliah pun, saya masih belum bisa menerbangkan layangan. Ya boleh dibilang hingga kelas 4 SD saya cupu. Dan tentu, anak cupu jadi sasaran anak-anak yang tidak cupu. Apalagi saya adalah cucu seorang ajjhi (Haji) sekaligus imam dan guru ngaji anak-anak tidak cupu tadi. Perlu diingat, guru ngaji adalah musuh bebuyutan anak-anak nakal itu. Artinya, cucunya juga otomatis dimusuhi. Maka, hilanglah sebagian masa kecil saya untuk berbuat kenakalan yang wajar dilakukan waktu itu.
Tapi beruntung, saat kelas 5 SD, seorang teman sekolah pindah ke daerah tempat tinggal saya. Namanya Iqbal. Dia ternyata gampang berteman dengan bocah lain. Dialah yang menjadi perantara saya untuk bergaul. Sejak saat itu, saya mulai bisa melakukan kenakalan khas bocah seumuran saya. Mandi di sungai, mencuri mangga masjid untuk dirujak dengan Masako saat Tarawih, menyumat petasan di rumah orang dengan modus apatrol, main bola di alun-alun saat minggu pagi, dan sudah tentu acarok.
Sayangnya, masa kecil yang menyenangkan itu hanya berlangsung dua tahun, hingga akhirnya saya memutuskan untuk mondok saat SMP. Setelah lulus SMP, saya tidak mondok lagi dan masuk SMA Negeri. Walau begitu, saya sudah tidak bergaul lagi dengan teman kecil saya atau tetangga rumah. Saya justru bergaul dengan teman SMA. Begitu juga saat sekarang berkuliah.
Barangkali, pengalaman itulah yang membuat saya selalu gugup saat pertama kali mewakili orang tua datang ke hajatan atau arisan pengajian di sekitar rumah. Ini tentu berbeda dengan teman-teman lain, yang bahkan sejak SMP sudah terbiasa datang pada acara-acara seperti itu.
Hal yang pertama saya khawatirkan, bahkan sejak masih di rumah, adalah bagaimana saya harus menghadapi orang-orang yang datang pada hajatan itu. Saya selalu overthink orang-orang akan mengomentari kehadiran saya. “Oh, ini yang ndak pernah bergaul sama orang-orang”, “Mahasiswa kok gak memasyarakat”, dan komentar-komentar lain yang semacam itu. Tentu saya sadar itu hanya pikiran saya dan tidak mungkin orang-orang akan berbicara seperti itu.
Selain itu, saya juga termasuk orang yang sangat kaku dan kikuk untuk berinteraksi kembali dengan orang yang dulu pernah akrab, tapi kemudian tidak pernah berkomunikasi lagi. Maka, hal selanjutnya adalah bagaimana harus menyapa kembali teman-teman kecil saya, bagaimana saya harus memulai obrolan dengan mereka.
Saya juga khawatir asing di antara orang-orang, khawatir tidak bisa nimbrung perbincangan basa-basi sebelum atau setelah acara. Bingung mau memulai obrolan bagaimana dengan orang yang sudah persis duduk di sebelah, apalagi yang duduk pas di depan berhadapan. Saya juga bingung saat bersalaman dengan tuan rumah yang biasanya menyambut di kanan dan kiri. Saya harus menyalami yang mana dulu. Bahkan, saya juga bingung mau membungkuk penuh atau setengah bungkuk saat bersalaman. Atau sekadar harus mengeluarkan gumaman atau tersenyum bagaimana sembari bersalaman, saya pun bingung.
Belum lagi kalau ada bacaan yang tidak familier dengan saya dibaca oleh ustaz. Saya pasti akan hanya bergumam tidak jelas untuk menghilangkan tengsin. Dan sudah barang tentu, sebagai overthinker ulung, saya juga akan berprasangka orang-orang berkata dalam hatinya, “Oh, ini orang baru. Dasar!” Nah, itu adalah hal yang juga saya takutkan, dianggap orang baru. Entahlah, mungkin aneh. Tapi setidaknya itu yang saya rasakan.
BACA JUGA Pengalaman Masa Kecil: Memburu Keberadaan Markas PKI dan tulisan Ahmad Maghroby Rahman lainnya.