Ketika saya bangun tidur di suatu senin yang malas, tetiba saja saya keinget pengalaman menjadi Satpol PP. Jangan sampai ketika saya menyebut singkatan itu, kalian tanya, apa sih Satpol PP itu? Tetapi jika kalian ngeyel atau memang tidak tahu beneran, sudah dipastikan kalian termasuk golongan orang-orang yang disebut-sebut dan diabadikan di dalam Al-Quran yaitu termasuk ashabul kahfi.
Em tapi alangkah baiknya saya menjawab saja pertanyaan kalian, selain bisa menambah kata-kata di tulisan ini, saya juga bisa mendapatkan amal jariyah. Lumayanlah siapa tahu ada siswa yang mencari apa singkatan dari Satpol PP dan muncullah tulisan saya, Kan bisa jadi amal jariyah.
Ini nih singkatannya, Satuan Pamong Praja yang memiliki tugas sangat mulia di dalam semboyannya “bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban umum” (saya juga kasih semboyannya biar kalian setidaknya masih mempunyai prasangka baik untuk mereka) tetapi tingkah lakunya sangat tidak mulia yaitu menertibkan dengan kekasaran dan menggusur pedagang-pedagang kecil seenaknya.
Karena saya teringat, saya jadi kepengen membagi pengalaman saya saat menjadi anggota Satpol PP. Oh iya sebelum membaca terlalu jauh saya mengingatkan kalau saya hanya akan membagi pengalaman dukanya saja.
Loh kenapa? (misalnya kalian tanya begitu) karena orang lebih bahagia melihat penderitaan orang lain ketimbang melihat kebahagiaannya. Nggak percaya? Coba tanya tetangga kalian, bahagia mana antara melihat kalian beli motor baru atau kehilangan motor?
Sudah, sudah mari kembali ke pembahasan. Ngomongin lambene tetangga malah bikin kita emosi nantinya. Disyukuri saja jika mendapat tetangga yang sering iri dan dengki, (maksud saya disyukuri sambil diracun. Ckckck kejam amat ya?) baiklah, dan berikut pengalaman duka saat jadi Satpol PP.
1. Dianggap sebagai penindas rakyat kecil
Sebenarnya ketika ada orang yang mengatakan ini, jujur hati saya terasa teriris. Bagaimana tidak, siapa sih yang suka dianggap sebagai penindas rakyat kecil? Semua tidak suka. Toh saya sendiri juga rakyat kecil.
Kejadian penerimaan sabetan gelar penindas rakyat kecil itu saya dapatkan ketika saya ditugaskan menertibkan pedagang kaki lima di salah satu trotoar. Seperti biasa dan seperti di dalam sinetron-sinetron Indosiar, jika ada suara sirine atau ada mobil Satpol PP, para pedagang langsung kocar-kacir, lari tunggang langgang, atau apa saja yang menggambarkan kepanikan.
Lah saat itu ada satu pedagang yang ketinggalan. Pedagang itu sudah agak tua, eh sebenarnya mau bilang tua, tapi takut nanti dikira kurang ajar, makanya saya sebut saja agak tua. Beliau terburu-buru menata dagangannya. Melihat itu, sebenarnya saya berniat membantu ibu itu menata barang dan meloloskannya dari patroli kami.
Tetapi ketika saya berdiri dengan jarak satu meter di depan lapaknya. Astaga, bukannya menyapa saya atau meminta maaf, beliau malah meniru-niru ibunya malin kundang. “Kamu nggak tahu bagaimana susahnya mencari uang. Kamu nggak bayangin apa susahnya cari duit? Bayangin ha kalau ini ibumu lalu kamu gropyok?” beliau terus mengomel sambil menata dagangannya.
Dan akhirnya, seperti yang saya katakan tadi, ibu itu meniru-niru ibunya malin kundang. “Kamu dan teman-temanmu yang suka menindas rakyat kecil seperti saya ini, saya sumpahi hidup melarat 7 keturunan” andaikan adegan ini merupakan adegan di film Mahabarata maka suara yang timbul setelah kutukan itu muncul adalah suara sambaran petir, DERRR!
Bayangin saja, sudah dikatakan penindas rakyat kecil, didoakan buruk lagi. Sampai-sampai dikutuk segala. Padahal saya punya niat baik sebelumnya. Ya seperti itulah orang-orang di dunia ini, mudah menyimpulkan sesuatu tanpa mencari tahunya terlebih dulu.
2. Pemutus rezeki orang
Yang kedua ini masih ada sangkut pautnya dengan nomor satu, masih seputaran dengan pedagang kaki lima. Ada lagi nih di suatu kasus.
Saya lagi patroli ke lapak-lapak pedagang kaki lima. Eh ada orang yang mengatai saya, “Satpol PP itu pemutus rezeki orang. Orang lagi nyari rezeki pakai digropyok segala. Memangnya banci.” Saya mendapat gelar lagi. Andaikan ucapan-ucapan para pedagang kaki lima itu dijadikan pita kayak di dada-dada tentara atau polisi, mungkin di seragam saya waktu sudah banyak tempelan-tempelannya.
3. Diancam Dibunuh
Kejadian ini terjadi ketika saya ditugaskan patroli di daerahnya preman-preman. Waktu saya menegur beberapa orang yang membuka tambal di sepanjang jembatan. Saya menegur karena hal itu mengganggu. Bukannya digubris saya malah diancam akan dibunuh. Mendapati hal itu, seketika nyali saya ciut. Semenjak itu pula saya berhenti. Bukan karena takut, tetapi karena saya ingin bisa seperti puisi Chairil Anwar: hidup seribu tahun lagi.
BACA JUGA Bagaimana Polisi Seharusnya Menangani Aksi Demonstrasi dan tulisan Muhammad Khairul Anam lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.