Banyak pengalaman unik yang saya alami selama tinggal di kos LV Jogja.
Mencari kos itu kurang lebih mirip dengan cari jodoh. Cocok-cocokan. Kalau ada satu kelebihan yang kamu cari di orang yang baru, ada sesuatu yang rasanya lebih sreg saat bersama yang lama. Ketika orang baru punya sesuatu yang kamu nggak suka, kamu akan berkompromi untuk menerima saja karena dia mungkin punya sesuatu yang nggak berhasil kamu temukan di orang lama. Oh, tapi ini bukan tentang jodoh. Ini tentang kos-kosan murah di Yogyakarta.
Tepat setahun yang lalu, saya pindah dari kosan lama di Karangmalang ke sebuah kos-kosan murah di dekat Terminal Condongcatur. Harganya yang relatif murah dan sirkulasi udara yang bagus membuat saya langsung deal dan transfer uang tiga bulan pertama ke rekening bapak kos.
Kebetulan kos-kosan ini tidak memiliki penjaga dan saya tidak ngeh bahwa ternyata penghuni kos bisa menerima tamu lawan jenis. Artinya, kos ini termasuk dalam jajaran kos LV. Kos LV (Las Vegas) Jogja adalah istilah sarkas atau candaan yang sering dipakai untuk menyebut kos bebas, merujuk pada suasana Las Vegas di Amerika yang identik dengan kehidupan malam, hiburan bebas, dan aturan yang longgar.
Yogyakarta sebagai kota pelajar memang menawarkan banyak pilihan kos, tetapi beberapa di antaranya justru terlalu bebas, tanpa aturan jelas, dan minim pengawasan. Bagi mereka yang ingin tetap taat aturan, tinggal di lingkungan seperti ini bisa menjadi tantangan tersendiri—tidak hanya karena suasana yang cenderung longgar, tetapi juga karena tekanan sosial dari sesama penghuni. Berikut hal-hal yang saya rangkum sebagai keresahan selama menghuni kos-kosan bebas dan murah di Jogja.
Dianggap aneh adalah hal yang biasa
Kebanyakan orang mengincar kos LV Jogja karena kebebasan yang ditawarkan. Saya yang memilih kos LV murni karena harganya yang murah jadi dipandang aneh. Beberapa teman laki-laki memang pernah mampir ke kos, tapi saya memiliki batasan yang jelas dalam menerima tamu. Teman lawan jenis mampir untuk alasan-alasan yang jelas saja, seperti menjenguk ketika saya sakit atau meminta bantuan yang benar-benar urgent.
Bukannya ingin jadi polisi moral yang suka mengotak-ngotakan mana yang “baik” dan “buruk”, tapi sulit dimungkiri, prinsip yang tegas soal tamu lawan jenis membuat saya seperti “anak baik-baik” di kos ini. Bahkan, seseorang pernah bertanya alasan saya memilih kos bebas padahal saya nggak punya pacar. Mendengar itu, saya sebenarnya sedikit geli. Seolah-olah ngekos di Kos LV seperti ini otomatis harus diiringi dengan agenda tersembunyi: membawa pasangan, menikmati kebebasan tanpa batas, atau setidaknya ikut dalam gaya hidup yang mereka anggap normal.
Sementara itu, saya yang hanya ingin tempat tinggal murah, nyaman, dan fungsional malah dianggap aneh. Seolah keberadaan saya yang stay single ini terasa seperti anomali. Menanggapi pertanyaan itu, jujur saya hanya bisa menjawab, “Memangnya salah ya ngekos di sini murni karena harganya murah saja? Tanpa embel-embel niat terselubung, tanpa motivasi lain selain sekadar mencari tempat istirahat yang nyaman?”
Baca halaman selanjutnya: Bapak kos …




















