11 tahun belakangan, saya bergaul begitu intensif dengan anak-anak di penjuru negeri. Mulai dari Sumatra hingga Papua. Saya bisa begitu karena berkesempatan menjadi sukarelawan guru di lembaga yang bergerak di bidang pendidikan untuk masyarakat adat dan kaum marjinal.
Dari sana, alih-alih menjadi guru pengajar bagi anak-anak yang tinggal di tempat saya bertugas, saya malah banyak belajar dari masyarakat, terutama dari anak-anak rekan belajar saya di wilayah tempatan. Dari sekian banyak hal yang saya pelajari dari anak-anak di penjuru negeri, ada dua yang ingin saya garis bawahi, ini karena ada kaitannya dengan beasiswa bulutangkis PB Djarum yang kabarnya selesai hingga tahun ini saja. Dan saya sedih.
Pertama, dari anak-anak, saya belajar bagaimana cara paling mudah dan cara paling menyenangkan untuk bisa berbahagia. Hal-hal kecil tak terduga, dengan begitu indah mereka jadikan perkakas untuk meraih bahagia. Batu, kayu, sungai, ranting, apa saja, bisa mereka jadikan perkakas. Keterbatasan, tidak terlalu menjadi halangan bagi anak-anak untuk meraih bahagia. Mereka begitu mudahnya meraih itu, bersenang-senang dan berbahagia. Tentu saja saya iri dibikin mereka.
Pada dua kesempatan berbeda, di dua desa, satu di Jawa Tengah, satu di Jawa Timur, saya pernah melihat anak-anak asyik bermain bulu tangkis tanpa raket memadai. Mereka mengganti raket dengan tripleks yang dipotong sedimikian rupa. Bersenang-senang dengannya.
Saya lantas sempatkan diri mengajak mereka berbincang. Ada enam anak yang saya ajak berbincang. Mereka lantas menceritakan impian-impian yang hendak mereka raih kelak. Dua di antaranya, ingin jadi atlet bulu tangkis.
Pelajaran kedua yang saya dapat dari anak-anak, setelah cara mudah mereka meraih bahagia, adalah bagaimana mereka merumuskan mimpi-mimpi yang hendak mereka raih di masa depan.
Berbeda dengan poin pertama, bagaimana anak-anak mencari kebahagiaan cepat dengan mudah, yang nyaris tanpa hambatan berarti, untuk mengejar impian itu bisa terwujud, ada beberapa hal yang menjadi kendala anak-anak meraih impiannya. Kendala-kendala itu: 1. Faktor geografis 2. Faktor ekonomi 3. Faktor waktu luang.
Ada anak-anak yang terkendala meraih mimpinya karena mereka berada pada wilayah geografis yang kurang menguntungkan. Di negeri ini, ada banyak profesi yang menjadi impian anak-anak yang cara untuk meraihnya, cuma bisa di tempat-tempat terbatas saja. Kendala kedua, dan ini menjadi kendala yang paling banyak menjadi penghalang mereka meraih mimpinya, adalah faktor ekonomi yang kurang menguntungkan mereka. Mereka berasal dari keluarga yang pas-pasan saja. Sedang ada banyak impian yang dicita-citakan anak-anak, sayangnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk itu.
Faktor ketiga, adalah kurangnya waktu luang yang tersedia untuk anak-anak dalam mengejar mimpi mereka. Ini terutama untuk anak-anak yang memiliki minat khusus semisal ingin jadi atlet olahraga, musisi, seniman, dll yang kurang diakomodasi sekolah formal. Waktu mereka tersita hampir seluruhnya untuk belajar di sekolah. Ada sedikit waktu luang, kurang terlalu maksimal karena anak-anak sudah kelelahan di sekolah.
Namun begitu, ada segelintir orang baik yang berusaha mengakomodasi anak-anak agar impian mereka bisa terwujud. Anak-anak terbantu oleh mereka yang rela menyediakan ragam bentuk fasilitas agar anak-anak bisa meraih cita-citanya.
Satu dari segelintir itu, adalah apa yang sudah dilakukan oleh PB Djarum pada program beasiswa bulutangkis. Sudah bertahun-tahun PB Djarum mengucurkan dana untuk membentuk atlet-atlet berprestasi di bidang bulutangkis. Mendekatkan anak-anak beberapa langkah dengan mimpi mereka. Bukan satu, bukan dua, namun PB Djarum memangkas ketiga faktor penghambat anak-anak dalam meraih mimpi mereka. Tiga faktor yang sudah saya tulis di atas.
Mereka membangun asrama dan pusat pelatihan bulutangkis terbaik di Indonesia. Anak-anak peraih beasiswa, gratis mendapat pelayanan terbaik di asrama dan memanfaatkan fasilitas terbaik di sana. Uang saku ada, dan bermacam dana lainnya disediakan sehingga orang tua anak-anak itu sama sekali terbebas dari memikirkan biaya yang mahal. Pendidikan formal juga disediakan. Sehingga anak-anak yang mendapat beasiswa bulutangkis juga wajib sekolah formal. Pihak PB Djarum yang mengatur jadwal belajar di sekolah dan latihan bulutangkis. Kendala waktu luang, dengan ini juga teratasi.
Dari keberadaan PB Djarum, anak-anak era 70an macam Lim Swie King, hingga era 2000an macam Kevin Sanjaya, terbantu meraih mimpinya menjadi atlet nasional bulu tangkis yang mengharumkan nama negara. Selain dua nama yang mewakili generasi paling awal dan paling akhir dari PB Djarum yang berhasil mengharumkan nama Indonesia, masih ada banyak nama lagi. Ada Alan Budikusuma, Haryanto Arbi, Ahsan, beberapa di antaranya.
Ada ribuan anak-anak yang bermimpi bisa menjadi atlet bulutangkis, dan sudah belasan tahun ribuan anak itu mengharap impian mereka bisa terwujud lewat beasiswa bulu tangkis PB Djarum. Mereka berlatih tekun dan keras agar bisa meraih kuota yang masuk program beasiswa bulutangkis PB Djarum. Sayangnya, dan saya sedih untuk ini. Beasiswa itu berakhir di tahun ini. Tahun depan, sudah tak ada lagi beasiswa bulutangkis PB Djarum yang membantu banyak anak sekaligus mengharumkan prestasi bulutangkis negeri ini di kancah Internasional. Ini terjadi karena ulah aneh KPAI yang memprotes beasiswa ini dengan alasan eksploitasi anak. Aneh. Kalian sungguh aneh, KPAI. (*)
Sebagai penutup, saya cuma berharap, #PBDjarumJanganPamit Agar anak-anak yang memang membutuhkan bantuan, masih bisa mengejar mimpinya.
BACA JUGAÂ Djarum Itu Rokok atau Alat Menjahit? atau tulisan Fawaz Al Batawy lainnya. Follow Twitter Fawaz Al Batawy.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.