Nama Payaman Magelang sempat viral bulan Oktober lalu gara-gara vibes Jepangnya. Bunga tabebuya yang tumbuh di sepanjang jalan Dusun Ngletoh, Desa Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, menyedot kedatangan banyak pengunjung dari daerah sekitar dan bahkan luar daerah. Kebanyakan orang ingin berfoto dan membuat konten di sini. Jalanan dusun mendadak ramai hingga akhirnya diperlengkapi dengan spot foto seperti mobil antik.
Sekalipun bunga tabebuya kini sudah rontok dan jalan dusun kembali sepi saat saya kunjungi, Payaman tetap menjadi magnet. Siapa lagi yang datang ke sini kalau bukan para peziarah. Kebetulan di daerah sini terdapat makam ulama Magelang. Orang-orang yang hendak berziarah datang dari berbagai kota di Indonesia.
Lantaran ramai dikunjungi para peziarah ditambah letaknya yang strategis di jalur provinsi dan hanya selemparan batu dari batas Kota Magelang, Payaman tentu sangat diuntungkan. Setelah saya menikah dan meninggalkan kampung halaman di kaki Gunung Andong sana, saya memiliki ekspektasi bahwa tinggal di Payaman lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Akan tetapi, meskipun Payaman terbilang strategis dan indah karena bunga tabebuyanya, desa ini cukup problematik. Saya mencatat setidaknya ada tiga hal menyebalkan yang kerap saya jumpai di sini.
#1 Sering macet di Kauman
Payaman Magelang memiliki situs bersejarah, yakni Masjid Agung Payaman dan makam Kiai Siradj di belakang masjid. Masjid Agung Payaman didirikan tahun 1937. Sementara kiai yang terkenal dengan dakwah dan karomahnya pada masa kolonial, KH Siradj Abdurrasyid, menjadi pemangku masjid. Beliau meninggal pada tahun 1959. Kiai yang sering dipanggil Romo Agung oleh Belanda karena menepis awan panas letusan Merapi di Magelang itu dimakamkan di belakang masjid. Lebih istimewanya lagi, daerah ini merupakan daerah pondok pesantren.
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, keistimewaan inilah yang akhirnya menarik para peziarah dari berbagai daerah datang ke Payaman Magelang. Sepanjang tahun, terutama menjelang Ramadan, bus besar maupun kecil memenuhi bahu jalan. Maklum, tak ada area parkir di sekitar masjid. Maka tak usah heran kalau di sekitaran masjid kerap terjadi kemacetan.
Saya sering kepikiran kenapa tak ada solusi untuk permasalahan parkir di Masjid Agung Payaman ini. Misalnya, desa membuat semacam BUMDes dan membuat lahan parkir terpadu, jadi ada kerja sama antara desa dan pemilik lahan. Nantinya di area parkir tersebut bisa dilengkapi pusat kuliner, jajanan, hingga toilet. Padahal dari pengamatan saya, tak jauh dari masjid ada lahan yang bisa dijadikan area parkir. Seandainya lahan parkir berada jauh dari masjid pun, pihak berwenang dan terkait bisa menyediakan kendaraan shuttle untuk mempermudah para peziarah sekaligus meminimalisir kemacetan di sepanjang jalan menuju masjid.
Baca halaman selanjutnya: Pasar sepi dan jam operasional singkat…